Ketua DPRD SUMSEL Siap Menerima Draft PERDA AMAN

Sekjen AMAN, Abdon Nababa, saat menyampaikan materinya dalam seminar legislasi pengakuan masyarakat hukum adat merujuk MK 35, UU Desa dan Permendagri nomor 52Palembang/9/2/2015 – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Selatan, HM Giri Ramanda N Kiemas, menyatakan siap menerima draft Peraturan Daerah (Perda) pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat Sumsel yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Menurut Gir, sapaan akrabnya, apa yang diusulkan oleh AMAN akan menjadi pertimbangan yang baik dan harus diperhatikan dahulu. Misalnya soal SK penghapusan sistem marga harus dicabut kembali. Kami akan memasukan 6 bulan sekali kedalam Prolegda di Sumatera Selatan.

“kita siap menerima draf nya dan akan kita jadikan agenda legislasi antara lain melalui Hak Inisiatif, agar diikuti oleh DPRD – DPRD Kabupaten di Sumatera Selatan ini. Dengan perda provinsi kita menjadikannya payung, kemudian nanti bisa juga dilakukan peraturan daerah untuk wilayah-wilayah ataupun peraturan yang lebih kecil, misalnya marga, atau desa,” ujar Giri sebagai salah satu narasumber dalam Seminar Legislasi Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Merujuk Keputusan MK Nomor 35 Tahun 2012, Undang-undaang Desa Nomor 6 Tahunn 2014 dan Permendagri Nomor 52 Tahun 2015 yang diselenggarakan oleh AMAN Sumsel, Senin (9/2/2015) bertempat di Hotel Peninsula, Palembang.

Sementara itu Sekjen AMAN, Abdon Nababan dalam menyampaikan materinya mengatakan,” bahwa dalam perjalannya pemerintahan yang lalu sudah mengatur hak-hak masyarakat adat, tetapi 54 tahun terkahir sekali tidak ada peraturan pemerintah yang mengaturnya. Padahal masyarakat adat itu harus diatur dengan undang-undangnya sendiri begitu juga dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) hingga saat ini tidak ada peraturan pemerintahnya.

Yang kita tahu cuma sertifikasi tanah-tanah individual, UUPA belum dilaksanakan munculah UU Pokok Kehutanan yang mengacu pada UU Agraria Belanda, di sana ada dokrin domain doclaration misalnya semua tanah ini milik negara kecuali ada yang memiliki Hukum tertulis. Doktrin ini muncul dalam pokok-pokok undang-undang kehutanan, artinya tanah adalah tanah negara dan ketika itu terjadi masyarakat nya tidak diberi tahu. Artinya sama saja Republik ini memiliki tiga Negara, yaitu BPN, Kehutanan dan RI.

Lebih jauh Nababan menjelaskan, sebenarnya ada situasi dimana kondisi hukum kita mengalami disharmonisasi dan ini menimbulkan ketidak serasian sehingga banyak persoalan di sana. Sehingga mudah dipolitisasi, dan juga situasi yang kita anggap sekarang ialah hak menguasai negara itu tidaklah mutlak ketika dia masuk kewilayah-wilayah adat, sebab ada beberapa pasal yang mengatakan ketika masyarakat adat bisa mengurus dirinya sendiri. Mahkamah Konstitusi pun menyadari adanya pengabaian terhadap masyarakat adat, itulah kenapa Putusan MK. No. 35/2012 hadir. Inilah yang akan kita lakukan untuk menata ulang antara masyarakat dan negara ini, agar tidak ada lagi masyarakat adat yang dikriminalisasi ke depan. Jadi proses nya pun sudah panjang dan kita juga sudah menyiapkan landasan filosofis termasuk materinya akan kita perbanyak. Dalam Undang-Undang Desa pun ada perintah untuk mengembalikan Desa Adat misal nya marga dan dusun.

“Tantanga kita ialah, bagaimana Sumatera Selatan memproses penetapan masyarakat adat dan menghadapi tantangan seperti apa sistem adatnya ke depan nanti, serta persoalan memulihkan masyarakat adat, misalnya tentang yang rusak untuk diperbaikan, kelembagaan baru untuk mengurusi masyarakat adat. Intinya bagaimana usulan ini bisa jelas misalnya di inventarisai dahulu agar bisa mengacu pada peraturan yang jelas,” papar Sekjen AMAN tersebut.

Sementara itu Pemerintaha Provinsi Sumatera Selatan yang diwakili oleh Bidang Program Legislasi Biro Hukum dan Ham , Agustini menyatakan bahwa pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menyambut baik upaya pengakuan dan perlindungan hukum masyarakat adat. “Memang ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi ini juga menjadi tugas dari lembaga-lembaga masyarakat dalam memberikan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Oleh karenanya pemerintah kabupaten/ kota akan membentuk panitia masyarakat hukum adat guna melakukan identifikasi dan dan verifikasi masyarakat hukum adat yang berada di wilayah kabupaten/ kota,” terang Agustini

Menurut praktisi hukum, Dhabi K Gumayra, kalau dilihat dari sisi peluang, pada Udang-undag Desa ada banyak sekali peluangnya, ibaratnya UU Desa adalah air segar dipadang pasir, namun peluang-peluang tersebut berbenturan dengan SK Gubernur 1983 yang menghapus tata pemerintaha marga di Sumsel.
“ Sumsel ini sebagian besar adalah desa adat, tetapi pada tahun 1983 keluar SK gubernur yang menghapus sistem pemerintaha marga tersebut, sehingga menghancurkan kekuatan marga, dan diindikasikan keluarnya SK tahun 1983 dan lahirnya pemerintahan desa, penyeragaman ini dilakukan diduga untuk memudahkan para perusaahaan-perusaan besar ke wilayah marga, nah lahirnya UU desa Nomor 6 tahun 2014 ini seolah menjadi kekuatan baru bagi masyarakat adat, namun permasalahannya, SK gubernur 1983 tersebut belum dicabut dan masih berlaku” ujar dhabi.

Sementara itu ketua BPH AMAN Sumsel, Rustandi Adriansyah mengatakan “Sejak diberlakukannya UU No 5/1979 tentang pemerintahan Desa maka terjadi konversi Marga ke dalam struktur desa yang merupakan model pengorganisasian masyarakat menurut sistem di Jawa. Konversi itu kemudian juga berdampak pada hancurnya identitas, kepemimpinan lokal, otonomi adat, serta pola hubungan sosial di tingkat Marga.

Marga yang dulu tumbuh dan berkembang dengan kearifan lokal yang unik dan disokong berbagai perangkat kelembagaan dan kekuasaan yang khas, diubah menjadi desa yang monoton. Konversi itu juga telah menyebabkan terjadinya pergeseran gagasan demokrasi dalam pemerintahan marga.

Demokrasi marga yang dulu dibingkai dengan tiga tata kelola yaitu tata kerama (fatsoen), tata susila (etika) dan tata cara (aturan main) atau rule of law yang dihasilkan dari kontrak sosial masyarakat, menjadi demokrasi yang hanya mengandalkan kompetisi politik belaka. Para pemimpin dan masyarakat Marga hanya melihat bahwa demokrasi akan berjalan apabila terjadi kompetisi yang bebas, partisipasi masyarakat, pemilihan secara langsung dengan prinsip one man one vote,” papar Rustandi Adriansyah**** Iir