“Menuju Pengakuan Wilayah Adat – Pembelajaran Filipina dan Indonesia”

Abdon Nababan, Albert Hadi Parmono, Martua Sirait
Abdon Nababan, Albert Hadi Parmono, Martua Sirait

Jakarta 16/2/2015 – Pengakuan terhadap hak wilayah adat merupakan harapan bagi masyarakat adat demi mewujudkan kedaulatannya. Meskipun beberapa negara Asia telah memiliki landasan hukum yang mengakui hak-hak masyarakat adat atas wilayah adat mereka, namun pemerintah Indonesia belum bisa menetapkan wilayah adat karena berbagai macam permasalahan serta prosesnya berjalan lambat.

Filipina salah satu negara Asia yang sudah membentuk lembaga khusus yaitu The National Commission on Indigenous Peoples – NCPI (Komisi Nasional Masyarakat Adat) . Sementara di Indonesia hutan adat dan wilayah adat baru diakui setelah ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Perda).

Sebagai upaya untuk mendorong pengakuan hak atas wilayah adat bagi masyarakat adat di Indonesia, Badan Registrasi Wilayah Adat menyelenggarakan Workshop: “Menuju Pengakuan Wilayah Adat. Pembelajaran Filipina dan Indonesia” 16-17 Februari 2015 Grand Cemara Hotel bilangan Menteng, Jakarta. Narasumber dalam workshope ini menghadirkan Abdon Nababan Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kasmita Widodo Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dan Forester Marlea Munez Director National Commission on Indigenous Peoples (NCIP) Filipina.

Menurut Kasmita Widodo adapun kerja dari BRWA sebagai upaya untuk memudahkan proses pengakuan wilayah adat di Indonesia dan bagaimana menghadirkan keberadaan masyarakat adat dan wilayah adat. BRWA sebagai tempat adminsitrasi wilayah adat, agar peta wilayah adat itu bisa hadir dan bisa dilihat oleh banyak pihak terutama pemerintah. Proses registrasi oleh BRWA sudah berjalan selama tiga tahun. Akhir tahun 2014 yang lalu BRWA bersama AMAN dan JKPP menyerahkan 4,8 juta hektar peta wilayah adat pada pemerintah yaitu KLH-K dan BP REED.

Satuan Tugas Presiden

Abdon Nababan menyampaikan jika melihat dokumen Nawacita ada poin-poin penting menjadi komitmen pemerintah baru, tiga diantaranya sangat penting bagi masyarakat adat. Antara lain Presiden Jokowi akan mengawal percepatan RUU Masyarakat Adat, saat itu sudah ada di DPR. Tapi di dalam usulan pemerintah baru-baru ini RUU Masyarakat Adat tidak masuk dan itu mengecewakan masyarakat adat.

Komitmen Jokowi- JK lainnya adalah menghadirkan satu lembaga khusus bersifat permanen untuk mengurus masyarakat adat. Terkait dengan hal ini AMAN bersama kawan lembaga lainnya sedang bekerja bersama Sekertaris Kabinet Andi Widjayanto untuk menyiapkan satu putusan presiden tentang Satuan Tugas Presiden untuk urusan masyarakat adat. Urusan kerja dan rapat-rapat menjadi bubar karena terjadinya polemik Cicak versus Buaya jilid III.

Salah satu tugas dari Satgas tersebut adalah menyiapkan satu kerangka yang pasti terhadap pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat, termasuk bagaimana pendaftaran dan pengakuan hukum atas wilyah adat. Ini yang kita tunggu selama 70 tahun sejak Indonesia merdeka. Semua ini tidak bisa dilakukan karena tidak ada sistem administrasi terhadap wilayah adat.

Kondisi masyarakat adat yang tidak terlindungi itu berkait dengan wilayah adatnya. Hampir 70 % wilayah adat kini dimasuki izin-izin IUPH, tambang dan lain-lain. Izin-izin tersebut adalah bentuk perampasan atas wilayah-wilayah adat juga berakibat terjadinya dampak lingkungan. Jika masyarakat adat melakukan protes mereka yang dikriminalkan bukan pemilik izin usaha yang masuk tanpa permisi itu. Saat ini banyak warga masyarakat adat dipenjara ada 166 nama, ada juga yang masih buron. Belum ada mekasnisme yang permanen sebab undang-undangnya masih belum disahkan, inilah salah satu tugas Satuan Tugas Presiden untuk masyarakat adat.

Di Filipina Meski Diberi Sertifikat Tidak Ada Tanah Adat Yang Dijual

Marlea Munez Director National Commission on Indigenous Peoples (NCIP) memaparkan bahwa pemberian sertifikat tanah atas hak masyarakat adat di Filipina terbagi dua yaitu Ancestor Domain dan Ancestor Land. Untuk Ancestor Domain sendiri meski sertifikatnya bersifat individu namun lahannya milik bersama (masyarakat adat) dan tidak bisa dijual. Menurut seorang tokoh dari bagian utara Filipina mengatakan, bagaimana mungkin kita rasa memiliki lahan berdasarkan secarik kertas saja, sementara jika nanti kita sudah tidak ada lahan tersebut masih ada. Perlu dan harus kita lindungi untuk kita wariskan pada generasi selanjutnya.

Adapun Ancestor Land sendiri belum ada panduannya, namun tanah itu dapat diberikan pada satu klan dan ada kemungkinan sebagai tanah yang belum disahkan. Sebab mungkin saja Ancestor Land ini disebut dengan kepemilikan lain atau status hukumnya bisa lain. Kalau nanti sudah direklarifikasi bisa untuk dijual atau peruntukan lainnya, namun batas waktunya hanya sampai tahun 2017 dan untuk ini belum ada panduannya.
Saat ini untuk tanah adat baik itu Ancestor Domain maupun Ancestor Land belum ada yang dijual karena memang ada perlindungan berdasarkan jenis-jenis kepemilikannya.

Pelanggaran terhadap IPRA (Indigenous Peoples Rights Act) memang ada, namun bedanya sekarang melalui undang-undang masyarakat adat tersebut ada bantuan hukum terhadap masyarakat adat diberikan secara gratis untuk mengambil kembali tanahnya. Misalnya ada kasus perusahaan melakukan acupasi tanah adat tanpa izin, hotel, pertambangan melakukan hal yang sama. Dengan adanya undang-undang ini ada jalur hukum yang bisa ditempuh oleh masyarakat. Batuan hukum gratis diberikan melalui NCIP yang memiliki proses hukum setara dengan pengadilan negeri, lalu setelah itu bisa melakukan kasasi hingga ke tingkat Mahkamah Agung, untuk mengembalikan hak mereka yang telah dirampas atau pelanggaran HAM yang dilakukan. Semua itu dilakukan dengan bantuan hukum gratis oleh NCIP.****JLG