Bebaskan Penjaga Hutan Halmahera Bokum & Nuhu

Forum Asia Preparatory Meeting On UN Mechaniscm and Procedure Relating To Indigenous Peoples
Forum Asia Preparatory Meeting On UN Mechaniscm and Procedure Relating To Indigenous Peoples

Seam Reap, Kamboja 16/03/2015 – Saat ini Masyarakat adat di seluruh dunia masih banyak mengalami diskriminasi oleh negara sendiri. Mulai dari tidak adanya pengakuan pemerintah terhadap hak mereka sampai pada perampasan tanah, wilayah dan sumberdaya alam yang menjadi sumber penghidupan masyarakat adat. Masyarakat adat dikriminalisasi karena mempertahankan haknya dan atas nama masyakat adat menuntut kepentingan pemerintah yang tidak memperhatikan hak masyarakat adat.

“Di Asia saja, masih banyak kasus-kasus yang melibatkan masyarakat adat seperti di Filipina, India, Malaysia, Indonesia dan banyak lagi negara lainnya,” ungkap Joan Carling, Sekjen AIPP (Asia Indegenous Peoples Pact) dalam sambutannya membuka kegiatan “Asia Preparatory Meeting On UN Mechaniscm and Procedure Relating To Indigenous Peoples” yang dilaksanakan di Hotel AngkorwatLand, Seam Reap, Kamboja, 13-16 Maret 2015.

Kegiatan ini merupakan pertemuan persiapan untuk membahas mekanisme pelaporan tentang kasus-kasus masyarakat adat ke PBB melalui mekanisme-mekanisme PBB untuk masyarakat adat diantaranya Mekanisme Pakar Hak-Hak Masyarakat Adat (EMRIP) yang akan dilaksanakan pada bulan July 2015 di Jenewa, Swiss dan Forum Permanen tentang Isu-Isu Masyarakat Adat (UNPFII) yang akan diselenggarakan di New York, Amerika Serikat pada bulan April 2015.

Perwakilan masyarakat adat berbagai negara di Asia seperti Filipina, Bangladesh, TaipeiTaiwan, Nepal, Thailand, India, Malaysia, Vietnam, Kamboja dan Indonesia ikut serta dalam membahas berbagai permasalah terkait masyarakat adat di negara masing-masing.

Salah satu kasus yang mendapat dukungan dari forum ini adalah kasus penangkapan Bokum dan Nuhu, dua anggota komunitas adat Togutil di Kabupaten Halmahera Tengah yang dituduh melakukan tindak kriminal pembunuhan pada tahun 2013 dan 2014 di area hutan adat komunitas Togutil. Kasus ini dilaporkan oleh perwakilan Indonesia, Patricia Miranda Wattimena dan Albert Junior Ngingi yang mewakili AMAN dalam kegiatan ini.
Bahwa proses penangkapan yang dilakukan oleh polisi tidak sesuai prosedur. “Hal ini juga yang merupakan buntut dari stereotipe tentang terhadap orang Togutil itu kejam menurut orang luar semakin dibenarkan sebagai orang yang jahat dan tidak bermoral. Ini yang kami sesalkan dari sikap aparat kepolisian.

“Kami sangat menyesalkan prosedur yang salah ini yang kami tentang, dimana penangkapan yang dilakukan oleh polisi tidak sebagaimana mestinya, karena belum tentu Bokum dan Nuhu adalah pelaku dari kasus yang dituduhkan tersebut. Setiap orang mempunyai hak untuk diperlakukan setara di hadapan hukum, termasuk Bokum dan Nuhu. Saya mendukung upaya proses pra peradilan oleh rekan-rekan AMAN Maluku Utrara atas kasus ini,” Ungkap Patricia Watimena, Kepala Divisi Hubungan Internasional Pengurus Besar AMAN.

Sepertinya ada skema lain dari proses penangkapan Bokum dan Nuhu, dua orang Togutil kelompok Akejira. Sebagai informasi, saat ini di dalam wilayah jelajah kelompok masyarakat adat Togutil Akejira dimana Bokum dan Nuhu berasal, saat ini kurang lebih ada 20 perusahan tambang yang menguasai wilayah adat mereka dengan luasan konsesi lebih dari 100.000 hektar. “Kami menduga upaya ini dilakukan agar komunitas adat Togutil Akejira bisa meninggalkan wilayah mereka melalui upaya relokasi oleh pemerintah yang pada akhirnya akan memperlancar aktifitas perusahaan-perusahaan tambang di daerah tersebut, diantaranya PT. Weda Bay Nickel,“ papar Albert Ngingi saat memberikan keterangannya di forum tersebut. Berbagai macam bentuk solidaritas pun datang dari semua peserta forum dalam membantu proses kampanye “Free Bokum and Nuhu” sebagai upaya sementara yang bisa mereka lakukan.****

#SavePenjagaHutanHalmahera
#SaveTheLastGuardianOfForestHalmahera