“Membangun Indonesia Dalam Kebudayaan Bahari : Reposisi Kebudayaan Dalam Negara dan Tuhan”

DR Bona Beding Menyampaikan Pikirannya di Beranda Rakyat
DR Bona Beding Menyampaikan Pikirannya di Beranda Rakyat

Jakarta 25/4/2015 – DR. Bona Beding narasumber dalam diskusi “Membangun Indonesia Dalam Kebudayaan Bahari yang diselenggarakan di Beranda Rakyat – di bilangan Taman Mini Jakarta Timur, mengawali pemaparanannya dengan satu persoalan semantik yaitu kerancuan atas penggunaan kata “maritim” dan kata “bahari”. Bona juga mengupas berbagai masalah yang akan dihadapkan kepada masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, jika potensi ekonomi kelautan dibangun lewat konsep maritim, menurutnya itu akan meruntuhkan bahkan meminggirkan pilar-pilar budaya yang sudah ada di hampir semua daerah.

“Padahal bangsa ini dibangun justru di atas pilar kebudayaan, ekonomi tumbuh di atas pilar-pilar kebudayaan. Jangan dibalik, sebab ekonomi itu tidak punya moral, etika, tapi dia dapat untung,” paparnya. Kata, adalah konsep dasar yang mewadahi seluruh pemikiran. Kalau sudah salah menggunakan maka orientasinya salah,” papar Bona

Maritim itu akar katanya dari kata latin artinya mare yaitu laut. Ketika dia diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi mere pengertiannya sudah lain. Makna ensiklopedis dari maritim hanya ada dua, berlayar sambil berdagang. Dari riset saya di seluruh ensiklopedis dan kamus saya tidak menemukan satu kata yang diterapkan pemerintah sekarang, bukan hanya persoalan ekonomi semata.

Sejak dari zaman Portugis, Spanyol kemudian VOC, ekspansi mereka ke wilayah Nusantara itu – demi upeti pada Vatikan- bukannya urusan bahari, mereka itu sebenarnya urusannya maritim, berdagang. Kata bahari itu dari kata Arab – bahar artinya juga laut, tetapi makna etimologis keduanya berbeda. Jadi ada tiga tahapan dalam memaknai sebuah kata. Kalau tahu katanya, tahu makna etimologinya, maka epistemologinya benar.“Saya kira mereka menggunakan kata maritim tapi mereka tidak mengerti makna epistemologisnya,” kata Bona menggaris bawahi.

“Ini yang termasuk merusak pemikiran sekarang, sehingga orang membangun ekonomi tok, tanpa melihat unsur-unsur kebudayaan yang sebetulnya sebuah kekuatan sangat besar dalam membangun bangsa ini ketika bung Karno dan para pendiri bangsu dulu mau mencetuskan republik ini. Mereka tidak pernah berpikir membangun bangsa ini di atas dasar ekonomi, baru Undang-Undang pasal 34 ikut dirumuskan di situ,” papar Bona Beding.

Di Laut, Dari Laut, Dengan Laut

Menurut DR Bona Beding ada tiga perbedaan mendasar dalam melihat laut yaitu mereka yang hidup di laut, hidup dari laut dan hidup dengan laut. “Pertama bagi mereka yang hidup di laut, laut itu hanya semata-mata tempat. Siang malam mereka tidur di laut, laut juga jadi tempat buang sampah. Bosan di satu tempat, pindah ke tempat lain. Paradigma orang hidup di laut tidak menganggap laut itu sebagai bagian integral dari seluruh proses kehidupan mereka. Moral, etika, pedagogi, sama sekali tidak. Laut adalah tempat, bosan di satu tempat, pindah ke tempat lain”

“Ke-dua dari. Kalau laut itu dilihat hanya sebagai kata sambung dari, seperti dari padanya saya bisa mengeksplorasi dan mengeksploitasi untuk mendapat hasil sebanyak-banyaknya. Maka orientasi ini adalah orientasi ekonomi, orientasi kapitalis. Sekarang bangsa ini berada pada kata sambung dari. Seluruh problem laut saat ini, seperti adanya demonstrasi, trawl, cangkrang, segala macam yang dari pemerintah itu. Ini kesalahan pemerintah, nelayan-nelayan itu mau bangun karena ikut pola pemerintah.

“Kemudian keputusan Menteri Susi melarang penggunaan cangkrang, ada ganti rugi ada subsidi, BBM habis dibangun pos-pos, akhirnya sekarang orang tergantung. Padahal ketergantungan nelayan juga petani cuma tanah dan laut. Kenapa jadi seperti ini, dengan cara mengkooptasi, semua didrop dari pusat, semua diperlakukan sama seragam”

“Ke-tiga dengan. Kata sambung ini dia tidak hanya sekedar sebagai kata sambung, tapi dia kemudian menyambungkan seluruh aspek kehidupan. Orang akan memperlakukan laut itu berbeda dengan dua kata sambung sebelumnya. Laut akan dia anggap sebagai tempat dia hidup, tempat dia didik, tempat dia mempertaruhkan nyawa. Tempat untuk dia menafsirkan hidup. Tentang dia memaknai hidupnya, itu dengan. Di dalamnya dia bisa mengambilnya untuk kepentingan ekonomi. Tiga kata ini menurut saya selalu dilupakan oleh pemerintah kita di dalam membangun atau memperkokoh pilar-pilar kebudayaan kita,” ujar Bona.

Diskusi ini mendapat tanggapan dari floor dengan pertanyaan jika laut tidak dieksplorasi lalu bagaimana membuat rakyat sejahtera. Sementara menurut Bona kesejahteraan itu relatif lagi pula belum ada bukti jika investasi masuk ke wilayah tertentu tingkat kesejahteraan rakyat di wilayah itu menjadi lebih baik.

Pemerintah pusat jangan melecehkan budaya yang sudah dimiliki mereka sejak ratusan tahun lalu dan menjadi “agama” mereka. Tuhan mereka di Lamalera adalah Mama sang samudera yang memberikan hidup kepada mereka. Bona juga mengisahkan bagaimana mereka bernyanyi memohon kepada mama untuk meredakan amukan laut karena sanak keluarga dan orang kampung sudah menunggu.****JLG