Perjuangan Elizza Kisya Untuk Negeri Haruku

Di Maluku banyak kelapa
Jalan berliku banyak tikungan
Biar orang mau bilang apa
Masyarakat adat penyelamat lingkungan

Laut_Negeri_harukuSebait pantun dari Om Ely menyambut kedatangan kami di rumah tempat tinggalnya, di tepian pantai Pulau Haruku. Keramahan Om Ely dan sapaan angin laut membuat suasana di tempat yang indah itu terasa lebih sejuk.
Pulau Haruku, atau Negeri Haruku adalah salah satu pulau di Kepulauan Lease yang terletak di sebelah Timur Pulau Ambon. Pulau ini masuk wilayah Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Untuk mencapai pulau ini hanya butuh 20 menit naik speedboat dari Pelabuhan Tulehu, Ambon.

Om Ely atau Eliza Kissya (66 tahun) adalah pemangku Kewang, lembaga adat yang sampai kini masih berfungsi baik di Negeri Haruku. Kewang bertugas sebagai pengelolah sumber daya alam dan ekonomi masyarakat, sekaligus sebagai pengawas pelaksanaan aturan-aturan adat dalam masyarakat.

Lembaga adat yang masih berjalan baik inilah yang mengantar kami datang ke pulau nan indah ini. Masyarakat adat Negeri Haruku mendapat bantuan fasilitas radio komunikasi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Kami datang untuk memasang alat dan melatih anggota masyarakat adat Negeri Haruku mengelola stasiun penyiaran radio komunikasi itu. Untuk membawa peralatan itu, kami perlu menyewa dua speedboat.

Cuaca kurang bersahabat saat kami menyeberang dari Ambon. Hujan, ombak besar dan angin yang cukup kencang membuat kami sempat merasa khawatir. Tetapi rasa khawatir itu hilang dalam perjalanan ketika melihat nakhoda speedboat yang membawa kami terlihat sangat berpengalaman dan kami tiba di Pulau Haruku dengan selamat.
Saat tiba di bibir pantai kami melihat Monumen Kalpataru, penghargaan yang dulu pernah diperoleh Negeri Haruku, tahun 1985. Juga sebuah patung sosok lelaki ukuran sedang. Dia adalah sosok Mr. Latuharhary, salah satu pahlawan nasional dan juga Gubernur Maluku pertama. Ia memang putera Negeri Haruku. Di samping patung itu terdapat beberapa deretan meriam yang menghadap ke laut, sisa peninggalan kolonial Belanda.

Bertahan dengan Kearifan Adat

Om Ely & ukulelenya
Om Ely & ukulelenya

Sambil mendengarkan lagu-lagu yang didendangkan Om Ely diiringi petikan juk atau ukulele yang ia mainkan sendiri, kami berjalan-jalan disekitar Rumah Pendidikan Kewang Haruku, yaitu rumah khusus yang didirikan untuk tempat pendidikan dan pelatihan tentang lingkungan untuk masyarakat Haruku. Percapakan berlangsung santai dalam suasana sejuk, diselingi sapaan ramah beberapa anggota masyarakat adat Negeri Haruku yang saat itu sedang membuat talud (pemecah ombak) di sekitar rumah Om Ely.

Pada mulanya Negeri Haruku bernama Haru-Ukuy. Haru Ukuy berasal dari sebuatan orang Portugis, yang berarti pucuk atau tunas baru. Negeri (Desa) Haruku dipimpin oleh seorang Raja (Kepala Desa). Hingga saat ini masyarakat Negeri Haruku memelihara kelestarian lingkungan dengan baik, melalui lembaga dan hukum adat. Salah satu lembaga adat yang masih berjalan adalah KEWANG, yang bertugas sebagai pengelola sumber daya alam dan ekonomi masyarakat, sekaligus sebagai pengawas pelaksanaan aturan-aturan adat dalam masyarakat Haruku. Mata pencaharian masyarakat Negeri Haruku adalah petani cengkeh dan nelayan.

Di sebelah rumah Kewang, ada ruang perpustakaan yang berisi berbagai macam buku tentang lingkungan. Perpustakaan ini dibangun untuk anak-anak yang ingin belajar tentang pemeliharaan lingkungan sekitar mereka. Selain perpustakaan itu, Om Ely juga terus membudidayakan bibit mangrove. Haru Ukui Kalesang atau rumah bibit itu tepat berada di samping perpustakaan.

Di belakang perpustakaan itu ada tempat pemeliharaan burung maleo, salah satu jenis burung yang saat ini mulai langka. Di tempat pelestarian itu ada empat ekor burung maleo berumur sekitar setahun. Sesudah dewasa burung maleo tersebut akan dilepas ke alam bebas.

Setelah puas berkeliling di sekitar rumah Om Ely, kami kembali duduk di bawah pohon yang rindang, minum kopi sambil makan pisang goreng yang disuguhkan Mama Elis istri Om Ely. Seperti Om Ely, Mama Elis atau Elisabeth juga kelahiran Negeri Haruku. Pasangan ini dikarunai 6 orang anak dan 16 cucu.

Om Ely bercerita masyarakat Negeri Haruku memang berusaha menjaga kelestarian lingkungan dan sumber daya alam dengan kearifan tradisi adat. Salah satu tradisi adat dalam menjaga ekosistem laut yang sampai saat ini masih terus dilaksanakan adalah Sasi Lompa.

Sasi Lompa adalah larangan masyarakat untuk mengambil ikan lompa (Trisina Baelama), sejenis ikan sarden, hingga ditetapkan satu hari kapan melakukan ritual Buka Sasi. Dalam ritual itu seluruh masyarakat Negeri Haruku tanpa terkecuali, dapat menikmati hasil panen ikan lompa tersebut.

Selain menjaga kwalitas dan populasi laut, Sasi juga sebagai usaha membagi hasil secara adil kepada seluruh masyarakat. Menurut Om Ely, dalam pembagian hasil panen ikan lompa, janda dan anak yatim piatu diutamakan. Ribuan ikan hasil panen itu tidak dijual. Setiap anggota masyarakat mengolah, mengeringkan dan menyimpan di rumah masing-masing untuk persiapan selama setahun. Dengan demikian masyarakat tidak pernah merasakan kehabisan lauk-pauk.

Bukan untuk Penghargaan

Om Ely bercerita
Om Ely bercerita

Apa yang mendorong Om Ely tetap semangat berjuang dalam menjaga lingkungan dan sumberdaya alam Negeri Haruku? “Ini tugas kita yang sudah diberikan oleh leluhur, untuk menjaga kekayaan alam semesta yang kita miliki hingga akhir hayat,” sahut Om Ely dengan tegas dan pasti.

Sebagai seorang Kewang Haruku dan pejuang penyelamat lingkungan, Om Ely mengemban tugas dan tanggung jawab yang tidak ringan. Memastikan ekosistem laut dan hutan tetap terjaga tanpa ada yang merusak lingkungan. Berusaha agar semua masyarakat paham akan pentingnya menjaga lingkungan dan tetap patuh melaksanakan kearifan lokal.

Om Ely bercerita bagaimana ia tiap hari mengawasi nelayan, khususnya nelayan dari desa lain yang datang mencari ikan di wilayah dimana Sasi Lompa berlaku. Beliau memastikan bahwa nelayan tersebut tidak menangkap ikan lompa sebelum “Buka Sasi” dilaksanakan.

Banyak penghargaan yang telah diterima Om Ely. Antara lain Hadiah Kalpataru ( (1985), Satya Lencana (1999), Coastal Award (2010), dan penghargaan sebagai tokoh inspiratif dalam penanggulangan bencana dari BNPB (2012). Semua penghargaan itu tidak membuat Om Ely merasa puas. “Berbagai penghargaan yang beta terima bukan berarti harus berhenti disini. Semakin banyak penghargaan, berarti semakin bertambah beban dan pekerjaan rumah kita,” ujar Om Ely lirih.

Kakek 16 cucu ini bercerita, pernah merobek undangan pemberian penghargaan sebagai pejuang lingkungan hidup, ketika mengetahui yang member penghargaan itu adalah beberapa perusahaan besar di Indonesia, yang dia tahu telah banyak merusak lingkungan bahkan menghilangkan sumber kehidupan masyarakat adat.
Beta tidak akan pernah tergiur oleh materi dan penghargaan yang diberikan oleh penjahat lingkungan. Bagaimana mungkin perusahaan yang merusak lingkungan bisa memberikan saya penghargaan sebagai pahlawan lingkungan?” ujar Om Ely dengan nada geram.

Gelisah Memikirkan Penerus

Hal yang membuat Om Ely sangat terbeban adalah usianya yang semakin tua. Kesehatan mulai menurun karena kelelahan dengan berbagai aktifitas tiap hari. Ia sedih memikirkan kaderisasi dan nasib Negeri Haruku di masa depan.

Om Ely menatap ke laut jauh
Om Ely menatap ke laut jauh

Setelah beta (saya) tidak ada lagi, belum tahu siapa yang akan meneruskan perjuangan ini. Anak muda sekarang tidak ada ketertarikan dalam menjaga lingkungan,” gumam Om Ely, sambil memandang hamparan laut di depan rumahnya. Ada nada sendu di wajahnya.

Saat kami berbincang, tiba-tiba terdengar suara telepon genggam Om Ely. Om Ely kemudian membacakan isi pesan singkat yang baru diterimanya. Dari seorang peneliti dari Amerika yang rencana akan datang mengunjungi Negeri Haruku untuk mewawancarai Om Ely tentang Sasi Lompa.

Hampir tiap bulan kami kedatangantamu. Ada yang sekedar ingin jalan-jalan dan meneliti tentang Sasi Lompa. Peneliti dari luar negeri yang paling banyak,” ungkap Om Ely.

Seperti persoalan penerus tadi, hal itu menjadi beban pikiran Om Ely. Ketertarikan untuk belajar tentang bagaimana kearifan lokal yang masih terjaga di Negeri Haruku hingga saat ini lebih banyak datangnya dari luar Maluku dari pada orang Maluku sendiri.

Namun Om Ely tidak pernah mengeluh. Kurangnya perhatian dari pemerintah daerah juga tidak membuatnya patah semangat. Ia tidak sungkan menegur aparat pemerintah daerah yang kurang perhatian terhadap usaha-usaha dalam menjaga lingkungan. Ia juga tak bosan mengingatkan, menjaga kelestarian lingkungan tak cukup di atas kertas, tetapi melalui aksi yang nyata.

Beta sering diundang menjadi pembicara. Dalam pertemuan beta selalu menyelipkan pantun-pantun tentang lingkungan dan masyarakat adat. Karena menurut beta, zaman sekarang bukan saatnya untuk adu otot untuk melawan pemerintah, tetapi kita mengingatkan mereka dengan cara yang lembut,”ujarnya. Lalu kembali bernyanyi sambil memetik ukulelenya.

Tanah ini sangatlah subur
Lebih baik ditanam kapok
Tanah kami peninggalan leluhur
Jangan Anda sembarang rampok

Sekarang hari sudahlah malam
Singgah dulu di Sanana
Manfaatkan sumber daya alam
Secara arif dan bijaksana

Om Ely tidak sekedar memberi pesan lewat lagunya yang berlirik pantun. Tapi juga seperti menegaskan keyakinannya.

Kalau mau ingin berdansa
Lebih baik bermain pimpong
Kalau mau membangun bangsa
Bangunlah dulu dari kampung

Kami meninggalkan Negeri Haruku yang indah diantar keluarga Om Ely dan beberapa anggota masyarakat dengan penuh kehangatan. Pantun dan suara Om Ely, serta petikan ukulelenya seperti masih terngiang ditelingaku. Memandang langit biru dan melihat pulau indah yang menyimpan banyak cerita adat dan budaya itu, membuat saya berjanji dalam hati, suatu hari akan kembali ke Negeri Haruku. ****Photo dan tulisan oleh Nura Batara Tara