Sistem Pengelolaan Wilayah Adat

Kearifan Berladang Berwawasan Lingkungan Hidup

Sawah Komunitas Payang
Sawah Komunitas Payang

Menanam padi merupakan cara untuk memenuhi kebutuhan sandang secara teratur  yang sudah dilakukan oleh Komunitas Payang Kecamatan Gunung Purei. Artinya, ketika lahan untuk menanam padi masyarakat adat harus gilir balik bahkan jika terpaksa  membuka hutanpun mereka tetap menggunakan kearifan lokal yang mereka yakini dapat melestarikan lingkungannya sejak dulu dan itu diwariskan oleh leluhur mereka secara turun temurun. Misalnya seperti yang dilakukan oleh komunitas Payang menggunakan metode tradisional tapi berwawasan lingkungan. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan ketika membuka hutan untuk berladang dimualai dari

Ngerang La’ang (Mencari tanah untuk tempat berladang)

Dalam proses mencari tanah sebagai tempat berladang ini masyarakat adat membersihkan tanah selama 4 hari, setelah proses pembersihan selesai baru masyarakat mengenali tanda dari bunyi burung mentit. Kalau bunyi burung mentitnya hanya sekali, maka tanah tersebut tidak baik untuk dijadikan ladang, tapi kalau bunyinya lebih dari tiga kali maka tanah tersebut bagus untuk tempat berladang. Setelah proses ngerang la’ang selesai maka masyarakat adat setempat melakukan ritual “makan baya” yaitu ritual adat untuk meminta keselamatan dari leluhur.

Nokap (Menebas ladang)

Menebas ladang atau membersihkan ladang ini dilakukan oleh masyarakat setempat secara gotong royong

Noweng (Menebang pohon-pohon besar)

Dalam proses ini, masyarakat menebang pohon yang besar supaya lebih bersih setelah menebas.

Oing Joa (Mengeringkan lahan yang sudah ditebas dan ditebang)

Oing Joa ini adalah proses dimana hutan yang sudah ditebas dan ditebang, harus didiamkan lagi supaya kering. Proses ini memakan waktu 30-40 hari.

Nyuru (Membakar ladang)

Dalam proses membakar ladang ini ada beberapa ritual adat yang dilakukan oleh masyarakat Payang, yaitu masyarakat mengambil cabe kemudian dijemurkan di atas tanah, bersamaan dengan itu masyarakat mengukir gambar burung elang di atas tampi kemudian digantung dengan menggunakan pohon bambu. Tujuannya untuk mengukur seberapa panasnya matahari dan seberapa kencangnya hembusan angin supaya proses pembakaran ladang tersebut bisa benar-benar terbakar sesuai dengan harapan masyarakat. Setelah ritual ini dilakukan, maka masyarakat sudah bisa membakar ladang mereka.

Menuk (Membersihkan bekas pembakaran ladang)

Setelah ladang dibakar, maka ladang tersebut dibersihkan dari sisa-sisa kayu yang tidak terbakar atau pun yang sudah terbakar namun berserakan, supaya masyarakat bisa menanam padi dengan mudah.

Ngasek (Manugal/menanam padi)

Menanam padi merupakan proses dimana tanah yang dilobangi mengguna kayu (tugal), kemudian padi ditabur didalam lobang tersebut. Proses ini biasanya dilakukan oleh masyarakat secara gotong royong, memang sudah menjadi tradisi masyarakat bahwa pekerjaan seberat apapun kalau dilakukan secara bersama-sama maka akan terasa ringan.

Ngerikut (Merumput)

Setelah porses menanam padi selsai, maka ladang akan dibiarkan selama 1 bulan, kemudian ladang tersebut dibersihkan dari rumput-rumput yang mengelilingi tanaman padi. Biasanya merumput ini dilakukan selama 3 bulan sambil menunggu padinya masak.

Ngoteu (Panen padi)

Setelah padi masak, maka masyarakat siap untuk memanen padi tersebut. Namun sebelum panen, masyarakat biasanya melakukan ritual adat yang dinamakan sensotik. Sensotik adalah sebuah ritual adat yang dilakukan oleh masyarakat melewati tetua adat dimana dalam proses sensotik ini masyarakat berkumpul untuk mengucap syukur dengan hasil panen yang akan dihadapi. Setelah ritual sensotik ini selesai, maka baru masyarakat bisa memanen padi.

Mengambil Hasil Hutan

Kerajinan komunitas Payang_kalteng
Hasil Kerajinan Rotan Komunitas Payang

Rotan merupakan komoditi unggulan yang dimiliki oleh komunitas Payang setelah karet, dari rotan masyarakat adat khususnya ibu-ibu bisa membuat anyam-anyaman tradisional kemudian dijual demi membantu suami mencukupi kebutuhan keluarga.

Dalam mengelola wilayah adatnya, komunitas yang ada di Kecamatan Gunung Purei Kabupaten Barito Utara masih berpedoman pada kearifan lokal saat membuka hutan untuk dijadikan ladang. Walaupun ada proses membakar, namun mereka punya teknik tersendiri agar proses pembakaran ladang tidak merembet ke tempat lain.

Tetua Adat Payang Pak Talius mengatakan bahwa, “ Sejak dulu kami memang melewati tahapan   membakar saat membuka hutan, tapi kami punya cara untuk membakar ladang kami. Misalnya kami membuat sekat bakar seperti dibersihin sekeliling ladang, dan kami melakukannya dengan gotong royong. Jadi kalau apinya sudah mulai masuk ke tempat lain kami bersama-sama memadamkannya,” tutupnya.*** Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN Kalteng)