Menyapa Dayak Meratus Di Kawasan Gunung Periuk

Kaukus DPRD Provinsi Kalsel Gulirkan Taman Nasional Meratus

Perkampungan Mandila Meratus

Kesempatan mengunjungi Komunitas Meratus akhirnya terwujud pada hari Jum’at 27/5/2016 lalu. Hasan dari  Barisan Pemuda Adat Nusantara Komunitas Meratus Papagaran Wilayah Kalimantan Selatan menemani perjalananku. Kami berangkat dari Datar Laga sekitar jam 9 waktu setempat menggunakan sepeda motor sebab transportasi angkutan umum tidak ada ke sana. Perjalanan sejauh 5 KM jalan masih mulus.

Kami berhenti sejenak di SD Negeri 2 Haruyan Dayak Kampung Cabai.

SD Negeri 2 Haruyan Dayak

Hasan bercerita pada tahun 2003-2008 dia belajar di sekolah ini, “masih berjalan kaki dari Kampung Papagaran melalui jalan  terjal berbatu, jika hujan turun becek sering tergelincir,”terang Hasan.

Benar saja setelah lewat Kampung Cabai jalan mulai mendaki, pecahan batu berserakan sepanjang jalan. Perlu kesigapan mengendarai sepeda motor, sebuah tantangan tersendiri untuk bisa sampai ke Kampung Papagaran tempat bermukim Suku Dayak Hantakan komunitas anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) merupakan bagian dari Dayak Meratus Kecamatan Hantakan, Kabupaten Barabay, Provinsi Kalimantan Selatan. (Dayak Meratus tersebar hingga Kabupaten Paser Kaltim)

OLYMPUS DIGITAL CAMERA
Puncak Gunung Periuk Dari Kejauhan

Rangkaian pegunungan hijau, beningnya air sungai-sungai kecil serta kicauan burung-burung memompa semangat Hasan (putra asli Papagaran) untuk memacu gas sepeda motornya. Beberapa kali kami berhenti mengamati alam sekitar atau apa saja yang kami temukan dalam perjalanan.

Di puncak ketinggian kami berhenti dan menatap hamparan hutan luas  dan kota Barabai. Gunung Periuk bersebelahan dengan Gunung Halau-halau. Hanya ada satu rumah di sini namun sangat artistik. Ternyata tempat tinggal seorang seniman Meratus serba bisa Suhaidi namanya. Dia piawai membuat mandau, motif-motif Dayak Meratus, menari, mengukir, hasil karyanya diminati para pecinta kerajinan Meratus.

Artistik Beranda Bambu
Beranda Bambu Yg Artistik

Hembusan angin segar menyatu dengan hijaunya alam Dayak Hantakan (Dayak Bukit). Tampak pucuk Gunung Periuk dan Gunung Halau-Halau berdampingan di seberang lembah. Selanjutnya jalan ke Papagaran, menurun, berbatu dan menikung sebelum akhirnya tiba di perkampungan pertama. Di sini ada sembilan rumah, tiga ruang sekolah bantuan di sebelah kiri dan Balai Adat agak masuk ke sebelah kanan jalan.

Terlihat seorang warga menjemur kulit kayu manis, sementara istrinya menganyam ditemani anak perempuan usia remaja. Kami mampir sekedar berbincang-bincang sambil istirahat sejenak menikmati udara segar dan nyanyian burung-burung dari warga di seberang rumah mereka. Beberapa keluarga memelihara ikan, ayam, burung, anjing dan babi di pekarangannya masing-masing.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA
Warga Menjemur Kulit Kayu Manis

Dari sana aku dan Hasan melanjutkan perjalanan sekitar 2 Km menuju rumah tinggalnya searah jalan menuju hulu sungai dan kebun warga. Suara deburan air mengalir semakin  jelas terdengar hingga ke jalan yang tertutup pepohon bambu dan rumah-rumah.

Tanpa banyak tanya pada Hasan aku langsung turun mencari dari arah mana sumber suara deburan air mengempas tersebut. Takjub mempesona begitu menemukan aliran deras sungai itu, terbayar rasa penat dalam perjalanan ke sini. Tersentuh melihat betapa berlimpahnya air bersih untuk keberlangusungan hidup suku Dayak Meratus berbanding terbalik dengan warga urban perkotaan harus membeli air untuk memenuhi keperluan hidup sehari-harinya.  Wilayah adat Meratus yang masih lestari berada di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, sebagian di Kabupaten Balangan dan Tabalong.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA
Gemuruh air kehidupan Meratus

Ada sembilan aruh yang dilakukan masyarakat Dayak Meratus sejak persiapan membuka ladang hingga setelah panen, antara lain: (1) Mamuja Tampa, atau memuja alat-alat pertanian; (2) Aruh mencari daerah tabasan (ladang baru); (3)Patilah, aruh menebang rumpun bambu bila di bakal ladang itu ditumbuhi rumpun bambu; (4) Katuan atau Marandahka Balai Diyang Sanyawa, yaitu merobohkan balai Diyang Sanyawa ; (5) Bamula, yaitu upacara untuk memulai menanam padi;(6) Basambu Umang, yaitu menyembuhkan atau merawat umang; (7) Menyindat padi, yaitu mengikat rumput dan tangkai padi dan Manatapakan Tihang Babuah, yaitu menegakkan tangkai padi yang berbuah; (8) Bawanang, yaitu memperoleh wanang; dan (9) Mamisit padi, yaitu memasukkan padi ke dalam lumbung. Tiga aruh pertama dilakukan oleh umbun yang bersangkutan, sedangkan aruh-aruh lainnya dilakukan oleh beberapa umbun dalam bubuhan (lingkungan) yang bersangkutan. Saat panen raya adalah aruh yang paling besar yaitu aruh wanang atau sering disebut sebagai aruh ganal (aruh besar).

Ritus datarlaga_mumuy
Belian Di Datar Laga/ photo Mumuy

Ketergantungan masyarakat Dayak Meratus terhadap padi menjadikan manugal sebagai mata pencaharian utama, sementara itu padi pantang untuk diperjualbelikan sehingga untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, mereka memanfaatkan hasil hutan. Seperti ritual yang berlangsung di Datar Laga pada tanggal 26 /5/2016.

ritus_datar_laga2
Aruh Adat Datar Laga/ photo Mumuy

Ritual ini diyakini dapat menjauhkan mereka dari bencana gagal panen. Melalui ritual inilah, mereka  memohon kepada Sang Pencipta agar di musim tanam berikutnya, tanaman mereka terhindar dari hama penyakit dan memperoleh hasil panen yang melimpah.

Bertani tugal, dan menjaga hutan, dalam istilah mereka fungsinya sebagai hutan keramat, adat, dan hutan lindung. Budaya dan tradisi Dayak Meratus berbeda dengan Dayak lainnya Jika Dayak di Kalteng memiliki tradisi minum baram (minuman keras hasil permentasi, di Meratus kebiasaan itu tidak ditemukan. Begitu juga dalam Aruh Adat jarang ditemui kebiasaan minuman baram dan judi.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA
Dalam perjalanan balik ke Barabai jumpa seorang petani sedang asyik menghitung berapa banyak pisang yang akan dijualnya

Dayak Meratus di Kecamatan Hantakan Kab Hulu Sungai Tengah Barabai berada Desa Patikalain yaitu Kampung Bumbun, Kampung Cabai, Kampung Mandila, Kampung Ramang, Kampung Papagaran.

Sebelumnya pada bulan Februari 2016 lalu Kaukus DPRD Provinsi menyetujui dan meyakini penetapan kawasan taman nasional Meratus masuk program RPJMD penting, seiring meluasnya perkebunan sawit dan tambang batu bara mengepung gugusan Meratus. Namun, dukungan itu bersyarat. Hak tanah ulayat suku Dayak di Pegunugan Meratus harus dikeluarkan dari zona taman nasional. Masalah lainnya bahwa konsep taman nasional mestinya berada di hutan negara. Ini akan memunculkan kesemrawutan dalam tata kelola lahan karena sebagian besar Meratus itu wilayah  masyarakat adat.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA
Hadi Irawan Ketua BPH AMAN Wilayah Kalimantan Selatan

Ketua BPH AMAN Wilayah Kalsel Hadi Irawan alias Kambar warga Dayak Datar Ajab, Hantakan saat ditemui di jalan setapak menuju ladangnya mengatakan TN Meratus dan kawasan hutan lindung belum bisa dipastikan, statusnya masih penunjukan. Kawasan Meratus sangat luas, ada di sembilan kabupaten memiliki 170 balai adat jika tiap balai adat itu ada 20 KK saja maka warga Meratus minimal ada 3400-an KK.  “Apabila tetap rencana itu dijalankan masyarakat tidak bisa lagi mengelola obat-obatan, kulit kayu, yang merupakan kekayaan Meratus. Ritual-ritual adat tidak bisa lagi dilaksanakan oleh belian lagi.

Hadi siap memfasilitasi semua pihak untuk meninjau lapangan agar masalah itu menemukan jalan keluar . Menilik produk hukum tentang kehutanan, Hadi Irawan sangat yakin, jika keputusan Menhut yang tertuang dalam SK Nomor 435/Menhut-II/2009 23 Juli 2009 terkait kawasan hutan hanyalah SK penunjukan bukan SK Penetapan kawasan hutan.

Demang Sukranai saat bertemu di Datar Laga mengatakan belum tahu ada rencana pemerintah  membuat Taman Nasional Meratus. “Saya sama sekali belum pernah mendengar ada rencana seperti itu. Pemerintah kabupaten dan provinsi belum mengajak tetua adat (Demang) membicarakan bagaimana status balai-balai adat yang ada di dalam kawasan taman nasional tersebut,” katanya khawatir ****JLG