Kapolri Terpilih Diharapkan Perbaiki Prosedur Hukum Acara

Kriminalisasi Marak Ormas Sipil Minta Presiden Bentuk TIM Penyelesaian Kasus

Konferensi Pers Bersama Di Kantor KontraS
Konferensi Pers Bersama Di Kantor KontraS

Jakarta 19/6/2016 – Akhir-akhir ini kriminalisasi atau pemidanaan yang dipaksakan makin marak terjadi di Indonesia. Pada sisi lain penegakan hukum hanya menjadi alat untuk memaksa agar seseorang, kelompok atau institusi tidak meneruskan pekerjaan atau kegiatannya.

Menurut Haris Azhar Koordinator KontraS, kriminalisasi atau bentuk pemidanaan yang dipaksakan tersebut terjadi bukan karena melanggar hukum melainkan karena motif bisnis, persaingan politik dan penerapan hukum acara yang tidak tepat.

KontraS mencatat sedikitnya 25 kasus kriminalisasi terjadi sepanjang 2015 sebagaimana yang disampaikan pada konferensi pers (19/6/2016). Abdul Halim – KIARA menyampaikan sejak 2013 s/d Juni 2016 ada 30 masyarakat pesisir mengalami kriminalisasi terjadi di Jawa Tengah Kabupaten Jepara, Brebes, Batang. Provinsi – NTB Lombok Timur, Lampung – Tulang Bawang, Sulawesi Tengah – Toli-toli.

Monica dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melaporkan ada 220 kasus kriminalisasi terjadi terhadap masyarakat adat pada tahun 2015. Empat orang tetua Semende Banding Agung Bengkulu terjerat UU P3H divonis tiga tahun penjara denda Rp 1,5 miliar masih menjalani tahanan. Bachtiar Sabang dari Sinjai Sulsel juga dijerat UU P3H.

Kasus masyarakat adat paling menghebohkan dialami oleh Bokum dan Nuhu Suku Tobelo Dalam (Togutil), Halmahera dituduh melakukan pembunuhan berantai. Suatu perbuatan yang tidak pernah mereka akui. Secara ruang jelajah (suku Tobelo antara satu dan lainnya memiliki ruang teritorial sendiri-sendiri) TKP  sangat jauh dari tempat mereka berada saat peristiwa terjadi serta alat bukti panah bukan khas mereka) pembunuhan itu tidak mungkin dilakukan tersangka. Sebuah pengadilan yang tidak adil dipaksakan untuk mengadili mereka berdua dengan menggunakan bahasa Indonesia, bahasa yang sama sekali tidak dimengerti oleh Bokum dan Nuhu. Keduanya divonis 14 tahun penjara, denda Rp 100 juta. Sementara fakta lain di wilayah mereka beroperasi sebuah perusahaan tambang.

Dalam kesempatan ini Yahya Zakaria dari KPA menyampaikan bahwa sejak Desember 2015 jumlah kriminalisasi dalam konflik agraria meningkat dari tahun ke tahun. Selama dekade 2004-2014 jumlah pejuang agraria yang ditangkap mencapai 1395 orang.

Beberapa bulan terakhir terjadi kriminalisasi terhadap petani Ujang Sukandi, Rismaludin dari Serikat Tani Indramayu (STI) dijerat UU P3H (pengrusakan hutan) dengan tuduhan merambah hutan tanpa izin. Dalam pemeriksaan terhadap Ujang aparat terbukti melalukan intimidasi. Rismaludin pemimpin Serikat  Tani Pagar Dewa, Muara Enim, Prov Sumatera Selatan ditangkap padahal Rismaludin  baru saja bebas menjalani hukum selama setahun. dengan tuduhan pengancaman dan  pencurian getah karet. Dia kemudian diancam beberapa pasal pidana. Tiga petani Paguyuban Petani Kendal juga dijerat UU P3H, karena lahan yang sudah mereka kuasai sejak dulu diklaim sebagai tanah Perhutani. Realitanya Perhutani telah tukar guling dengan PT Semen Indonesia lalu mengambil wilayah mereka.

Kriminalisasi Awak Media

Kriminalisasi terjadi tidak hanya menyangkut persoalan agraria saja, Asep Komarudin LBH Pers mengatakan tiap tahun setidaknya tiga sampai empat kriminalisasi terhadap jurnalis terjadi.  Kebebasan pers dan berekspresi semakin mengkhawatirkan. Menurut data World Press Freedom 2015 posisi Indonesi merah, ranking 138 dari 180 negara. Sepanjang tahun 2015 AJI Indonesia mencatat 43 kasus kekerasan dialami jurnalis tiga diantaranya kasus kriminalisasi.

Kasus kriminalisasi bukan lagi kepada medianya tetapi kepada narasumber, seseorang yang memberi keterangan kritis kepada media namun dituduh melakukan pencemaran nama baik. Dua orang anggota ICW dilaporkan melakukan pencemaran nama baik karena statemennya disejumlah media. Padahal Dewan Pers sudah merekomendasikan bahwa itu proses jurnalistik seharusnya mengikuti UU Pers yang sudah ada. Tapi pihak Bareskrim Mabes Polri tetap melanjutkan laporan tersebut.

Kasus narasumber lainnya menimpa Erwin dianggap menghina lembaga kepolisian karena pernyataannya di acara Lawyers Club. Pernyataan Erwin dalam acara talk show  tersebut menyebut Bareskrim adalah mesin kriminalisasi. Kemudian dia dilaporkan dengan pasal 207 KUHP yaitu menghindar dari badan hukum – institusi kepolisian. Kasus lainnya terjadi di Pekanbaru bermula dia adalah korban pengeroyokan sejumlah anggota kepolisian karena mengambil gambar. Lalu dilaporkan balik bahwa dia yang menghina lembaga kepolisian akibat kata-katanya justru saat dipukuli itu. Kasus-kasus pencemaran nama baik lewat media online juga banyak menggunakan UU ETI padahal kritik yang disampaikan menyangkut  pelayanan publik.

Asep menyoroti aktifitas pelarangan diskusi di lapangan.”Warga yang seharusnya dilindungi ketika menyampaikan ekspresinya, dihambat dengan alasan jika diskusi tetap dijalankan, polisi tidak bertanggung jawab kalau nanti dibubarkan oleh organisasi massa yang menentang diskusi tersebut. Polisi membuat diskresinya sendiri, bahwa diskusi tersebut tidak bisa dilaksanakan.  Padahal tugas polisi seharusnya melindungi warga, malah menjadi aktor yang menghalang-halangi penyampaian kebebasan berekspresi yang sah,” papar Asep.

Hukum Acara      

Ichsan Zikry dari LBH menyampaikan bahwa dua orang abdi hukum LBH Jakarta ditangkap ketika mendokumentasikan aksi menolak Peraturan Pemerintah No 78 tahun 2015 tentang pengupahan bersama 23 orang buruh pada (23/10/2015). Setidaknya 49 orang dikriminalisasi pada tahun 2015. “Semoga hal-hal seperti ini tidak terjadi lagi saat Kapolri baru terpilih nanti,” kata Zikry . Dia menambahkan pelanggaran terhadap hukum acara kerap dilakukan, tanpa adanya pengawasan. Tidak adanya pemberitahuan penyidikan saat mulai melakukan penyidikan kepada penuntut umum disebut sebagai hukum acara.

Faktanya sepanjang 2012-2014 dari 600 ribu-an perkara yang diselidiki oleh kepolisian 250.000 diantaranya tidak diberitahukan ke penuntut umum. Seringkali sudah ada tersangka akhirnya mengambang, pada dasarnya hanya polisi yang tahu. Keputusan untuk menghentikan atau melanjutkan kasus murni ada didiskresi polisi saja. Dari 250 ribu perkara tersebut 47.000 dikembalikan kepada penyidik.

Dalam kondisi seperti itu penyidik cenderung mendiamkan – tidak mengembalikan lagi kasus tersebut kepada penuntut umum – digantung oleh penyidik. Hal ini terjadi secara sistematis dalam skala nasional, bukan hanya karena oknum, tapi sistem yang membuka luas terjadinya kriminalisasi. “Ini catatan buat Kapolri siapapun terpilih nantinya harus bertanggung jawab menyelesaikan kasus-kasus kriminalisasi,” pungkas Zikry. KontraS, KPA, KIARA, LBH Pers, AMAN, ICW, LBH Jakarta meminta Presiden membentuk team khusus menangani kriminalisasi. ****JLG