Satgas Masyarakat Adat Dan Penegakan HAM

Pemda Bengkayang Harus Lindungi Komunitas Semunying

Eras_Sekjen_Rukka_photoby_Ade
Erasmus Cahyadi Direktur Advokasi AMAN, Sekjen AMAN Abdon Nababan & Rukka Sombolinggi’ Deputi II Sekjen AMAN

Jakarta 23/6/2016­ – Melihat banyaknya kasus kriminalisasi yang terjadi terhadap  masyarakat adat, Satgas masyarakat adat dinilai penting untuk menjembatani upaya politik dan hukum yang sedang berlangsung di tingkat nasional maupun daerah sehubungan belum disahkannya UU Pengakuan Perlindungan Hak Masyarakat Adat sebagai jembatan mediasi antara negara dan masyarakat adat.

Sebagai contoh terjadinya kriminalisasi terhadap masyarakat adat Semunying Jaya, Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalbar, berkonflik dengan perusahaan. Pasalnya tanah adat wilayah Masyarakat adat Semunying sekitar 1.420 hektar dirampas oleh PT. Ledo Lestari (sumber Inkuiri Nasional Komnas HAM). Berdasarkan temuan Inkuiri Nasional Komnas HAM, PT. LL belum memiliki HGU dan izin pinjam pakai kawasan hutan.

Sementara pada tahun 2010 Jakobus Luna, Bupati Bengkayang saat itu sudah mengeluarkan SK pengakuan terhadap masyarakat adat Semunying. Merasa dirugikan oleh PT. Ledo Lestari pada tahun 2012 lalu, demi mempertahankan hak-haknya warga Semunying Jaya menyita hampir semua kendaraan operasional, menutup tempat pembibitan, dan menutup perkantoran PT. Ledo Lestari. Perjuangan ini menyebabkan Jamaludin warga bersama Momorus  Kepala Desa Semunying Jaya ditahan selama sembilan hari di sel tahanan Kepolisian Resort Bengkayang dan jadi tahanan kota selama 20 hari.

Kasus ini masih terus berkembang dan belum ada solusi yang berpihak kepada kedua korban dan masyarakat adat Semunying. Dalam sidang terakhir (26/11/2015) lalu diputuskan bahwa gugatan tidak diterima dengan alasan ada kekurangan administratif. Dengan pertimbangan hukum hakim menggunakan UU kehutanan, artinya masyarakat adat Semunying harus diakui melalui Perda. Sekarang kasusnya dalam tahap naik banding. Hal ini jelas bertentangan dengan UUD 1945 sebab masyarakat adat diakui keberadaannya pada pasal 18a – 18b.

Hadi Daryanto, Dirjen KLHK menjelaskan beberapa contoh tugas dari Satgas  seperti : mengidentifikasi , mengkaji/mengkategorikan seluruh kasus pelanggaran HAM, konflik agraria dan konflik sosial.  Menyiapkan/merekomendasikan  hak masyarakat adat yaitu : perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat. Satgas masa berlakunya selama satu tahun, dinaungi langsung oleh Presiden RI, pembiayaan ditanggung APBN, dan mempersiapkan satu Lembaga Independen.

Menurut Prof. Dr. Maria SW Sumardjono , SH., MCL., MPA. , Akademikus Universitas Gadjah Mada, jika Satgas hanya diberikan wewenang satu tahun diragukan mampu mengkaji dan mengkategorikan seluruh kasus, karena konflik yang menimpa masyarakat adat di Indonesia terjadi pada lintas sektor. Menurutnya Satgas masyarakat adat perlu cepat dibentuk. Karena beberapa contoh Perda Masyarakat Adat belum sepenuhnya berjalan dan diakui oleh pemerintah. “Perlu ada tata cara dan kepastian hukum yang jelas untuk mengakui dan melindungi masyarakat adat,”tegas Maria Sumardjono.

Akademikus Universitas Brawijaya, Prof. Dr. Achmad Sodiki, SH, menyampaikan bahwa Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) statusnya sejajar dengan UU, tidak perlu menunggu revisi  kehutanan, karena putusan itu MK sudah mengikat. Jika dibentuk kelembagaan baru maka statusnya harus langsung dinaungi presiden. Untuk menyelesaikan persoalan masyarakat adat sudah seharusnya presiden terlibat langsung dalam penyelesainnya, mengingat banyak masalah kriminalisasi dan klarifikasi.

Berbicara kondisi masyarakat adat sekarang klarifikasinya belum ada, kriminalisasi sudah terjadi. Masalah di masyarakat adat sepanjang dia turun temurun tinggal di daerah tersebut tidak bisa dikriminalisasi, ini merupakan konsekuensi menghormati hukum masyarakat adat dan mengahargai sistem tradisional yang mereka miliki.  Hal ini dibuktikan dengan adanya lembaga adat, hukum adat, wilayah adat dan tata cara bertahan  masyarakat adat dimana hal ini tetap dijunjung tinggi hingga sekarang. Sedangkan subjek hukum masyarakat adat tidak harus sepenuhnya mengacu kepada UU, karena masyarakat adat sudah memiliki subjek hukum sendiri, tentunya harus dijabarkan secara jelas dan rapi.

Etikat baik dari pemerintah dibutuhkan untuk pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat. Pemahaman terhadap hak ulayat masyarakat adat perlu dipahami dengan baik dan menyesuaikan setiap daerah, karena hak ulayat adalah hak bersama namun dapat juga sebagai hak individu karena individu merupakan bagian dari sekelompok masyarakat.

Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan berusaha mencari isu untuk media baik untuk publik maupun pemerintah dimulai dengan perubahan iklim agar masyarakat adat dipedulikan dan diperhatikan. Satgas masyarakat adat sudah dibicarakan dan dibahas secara serius dalam forum diskusi tanggal 13 Oktober 2014 lalu. Kemudian ditindaklanjuti pada diskusi (2/11/2014). Berkaitan dengan Sembilan Program Nasional terhadap pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat di Kantor Wakil Presiden Boediono. Abdon menyampaikan kekecewaannya,” Jika Masyarakat Adat berurusan dengan sektor-sektor seperti berurusan dengan puluhan negara, seolah-olah ada negara dalam Negara,” papar Abdon.

Menurutnya Satgas Masyarakat Adat akan diusulkan sebagai satu komisi nasional dan wajib dilaksanakan oleh negara, karena dalam Inkuiri Nasional sangat banyak ditemukan pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat. Jika lembaga independen akan dibentuk maka harus menyesuaikan dan disingkronkan dengan RUU masyarakat adat. AMAN juga akan berkomitmen terus mengawali proses Satgas ini sampai direalisasikan oleh pemerintah.

Saafroedin Bahar, mendukung penuh pembentukan Satgas masyarakat adat. Sebab masalah yang terjadi di Indonesia saat ini karena negara sebagai lembaga yang seharusnya menaungi masyarakat adat belum bisa memberikan kepastian hukum. Sangat disayangkan UU dibuat oleh DPR tetapi DPR sendiri tidak memahami atau berpura-pura tidak paham masalah yang terjadi, Putusan MK 35 selalu dihadang secara konseptual.  Jika negara ini tidak mengingkari perjanjian sakral 17 Agustus 1945, dimana negara wajib melindungi rakyatnya, tapi saat ini  diabaikan oleh NKRI.

Catatan-catatan kriminalisasi seperti di Semunying harusnya dihentikan. KOMNAS HAM juga harus serius menangani dan membela rakyat sebab ada kekhawatiran akan pudarnya pengakuan terhadap Negara Indonesia ini. Pemerintah Daerah juga harus memberikan sanksi kepada PT. LL, pemerintah harus bertanggung jawab terhadap pemulihan HAM Masyarakat Semunying. Negara perlu menyadari isu masyarakat adat adalah isu nasional. Perhatian pemerintah penting untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat adat. **** Paulus Ade Sukma Yadi