Satgas Masyarakat Adat Terhambat Proses Birokrasi

Diskusi Membahas Status Satgas Masyarakat Adat
Diskusi Membahas Status Satgas Masyarakat Adat

Jakarta 23/6/2016 – Proses pengesahan Satuan Tugas (Satgas) Masyarakat Adat berjalan lambat, sementara masyarakat adat di seluruh Indonesia sudah tak sabar menanti presiden menandatangani pembentukan Satgas Masyarakat Adat, sebagai upaya melindungi hak-hak Masyarakat Adat. Pembentukan Satgas Masyarakat Adat diharapkan dapat menjembatani rekonsiliasi antara masyarakat adat dan negara.

Pada akhir Juli 2015 draft Satgas telah diserahkan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH-K) Siti Nurbaya. Tembusan ke Kemen Seskab juga sudah diterima namun ternyata harus melewati proses panjang untuk bisa ditandatangi presiden .

Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan mengingatkan gagasan membentuk  Satgas Masyarakat Adat sebenarnya sudah dimulai sejak pemerintahan SBY. “Waktu itu AMAN mengambil topik perubahan iklim dan REDD+ karena melihat isunya dalam agenda global. Berdasar analisa kami, isu tersebut bisa mengangkat persoalan Masyarakat Adat secara positif dan mendapat perhatian,” papar Abdon.

“Paska Putusan MK No 35, kami banyak berinteraksi dengan UKP4 yang ditugaskan  presiden untuk mengurus masalah perubahan iklim. Sejak itu Satgas Masyarakat Adat sudah dibicarakan, bahkan dalam rapat dimana saya ikut jadi narasumber berkaitan dengan Deklarasi 9 Program Nasional soal PPHMA berlangsung di kantor Wapres Budiono waktu itu” lanjut Abdon

“Membahas situasi Masyarakat Adat dengan KLH-K saat ini seperti kura-kura sembunyikan kepalanya menutup diri, seolah semua urusan di lembaga tersebut sudah selesai dan tak perlu dibicarakan lagi”

“Saya mau menggarisbawahi bahwa diskusi mengenai Satgas sudah panjang, bukan baru dimulai. Hampir seluruh rapat-rapat menyimpulkan perlu ada unit khusus di bawah presiden yang bisa melakukan terobosan cangkang ego sektoral. Unit khusus ini sangat perlu hadir, karena berhadapan dengan sektor yang bekerja seperti negara dalam negara”

Urusan masyarakat adat seperti berhadapan dengan puluhan negara. Oleh karena situasi seperti itulah lembaga untuk mengurus masyarakat adat harus permanen dan independen, agar bisa keluar dari kerangkeng cangkang sektoral. Sangat ideal, tapi bagaimana menempatkannya dalam tata negara belum ketemu. Intinya mau keluar dari situasi yang sulit.

“Jadi kalau kita lihat transformasi pembahasan Satgas yang masuk dari pintu REDD dan mau keluar dari pintu kebangsaan dan kewarganegaraan, Masyarakat Adat  menjadi sesuatu yang mendasar bagi negara kesatuan. Butuh banyak pemikiran agar  hasilnya sesuai dengan konstitusi kita, bukan keluar ke tempat lain,” pungkas Abdon Nababan.

Sementara itu Maria SW Sumardjono, Akademisi Universitas Gajah Mada, mengatakan  baru saja menyurati presiden tentang penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan penyempurnaan Peraturan Presiden (Perpres) Peraturan 3 Kementerian dan 1 badan ada lampiran tata cara pengakuan masyarakat hukum adat. Tapi tidak membedakan antara di kawasan hutan atau di luar kawasan hutan. Kalau Perda silahkan, tapi di situ disebutkan cukup dengan surat bupati. Perda  cenderung berbau money politics. Pengakuan cukup dengan surat bupati.

Oleh karenanya kehadiran Satgas bisa menjadi positif. “Saya hargai keharusan adanya Satgas, itu bisa mendorong banyak hal. Namun apakah masa kerja satu tahun cukup untuk menyelesaikan banyak permasalahan. Apakah konflik dapat diselesaikan dalam satu tahun, setelah itu bagaimana. Satu tahun kerjanya banyak,  tiap hari ada kasus. Padahal tidak hanya mengumpulkan data, mengkaji dan mengkategorisasi seluruh kasus, lalu memberi rekomendasi, apa waktunya cukup,” Maria mempersoalkan masa kerja Satgas dalam draf.

“Sementara peraturan-peraturan tentang masyarakat hukum adat juga centang perenang. Baru saja keluar Permen X/2016 yang kacau itu. Selama ini kita sebut hak ulayat yang punya kewenangan publik dan perdata. Sekarang dikeluarkan hak komunal punya ninik mamak, namanya wilayat kaum memang lebih kental perdatanya. Lalu hak ulayat di pasal 3 UUPA tidak diurus Kemen ATR, itu bikin pusing,” jabar Maria Sumardjono.   .

“Mungkin bagi yang tidak familier dengan konsep adat ini tidak soal, tapi bagi saya orang kuno bertanya-tanya mau ke mana, ini qou vadis . Jadi selain UU PPHMA, semua peraturan perundang-undangan terkait hukum adat itu kusut. Lalu, soal Lembaga Negara Independen banyak yang over lap. Apakah sudah ada studi LNI Independen, yang mana? Ini memerlukan studi mendalam, seperti apa yang namanya Lembaga Negara Independen permanen itu,” tanya Maria Sumardjono .

Putusan Mahkamah Konstitusi No 35 Mengikat Presiden

Menanggapi lambatnya pembentukan Satgas Masyarakat adat Achmad Sodiqi Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi punya kewenangan menguji undang-undang. “Putusan MK 35 sejajar dengan Undang-Undang, maka pasal-pasal yang telah dibatalkan pada UU Kehutanan otomatis mati, tak bisa dijadikan landasan lagi. Undang-undang tersebut tak perlu oleh DPR karena otomatis tidak berlaku lagi. Sifat putusan final dan sejajar dengan Undang-Undang” jabarnya

“Termasuk presiden terikat pada putusan tersebut karena dalam sumpah jabatannya  menjalankan undang-undang dengan selurus-lurusnya. Putusan MK itu membatalkan undang-undang dan sejajar dengan undang-undang ditafsirkan untuk dilaksanakan. Maka, jelas kita tak usah menunggu UU Kehutanan itu direvisi dan disesuaikan, putusan yang sudah mengikat”

“Terkait kelembagaan, itu di bawah presiden. “KPK itu juga tak ada, tapi dibutuhkan karena penegakan hukum tidak jalan, jadi akan semacam itu. Yang namanya di bawah presiden harus ada ketentuannya, kalau masalah pelaksanaan itu semua eksekutif. Contohnya, ada Putusan MK yang terkait sengketa di Kaltim di kawasan yang sudah dikasih sertifikat, jadi susah,” papar Achmad Sodiqi

“Pihak kehutanan klaim itu bagian kehutanan. Sebetulnya kalau tanah di bawah itu ya di luar kehutanan. Siapa yang selesaikan? ya presiden yang harus selesaikan. Mahkamah Konstitusi tak bias, karena berada di ranah eksekutif. Maka presiden harus turun tangan, seperti land reform. Nanti Satgas yang mau dibikin itu kira-kira modelnya seperti apa, apakah seperti KPK karena bisa menggerakkan sektor nasional dan langsung di bawah presiden,” Achmad Sodiqi menjelaskan.

Berdasarkan informasi Prasetyo dari KLH-K (Direktorat Pengakuan MHA dan Kearifan Lokal) bahwa draf Satgas sudah dilaporkan ke Menteri Siti Nurbaya, namun masih terdapat hal yang tidak sinkron, ada yang tak berjalan. Setelah ditelusuri surat itu mandek di Deputi PMK. “Ada surat yang berbeda antara yang ada atau dipegang kawan di PMK dan yang kita sampaikan, nanti akan ditelusuri,” tambahnya.

Prosedur Izin Prakarsa 

Dwiyanto Staf PMK Seskab membenarkan bahwa pada tanggal 29 Maret lalu Seskab menyelenggarakan rapat dengan instansi terkait antara lain BPN, KLHK, Kemenhukham, membahas substansi rencana pembentukkan Satgas Masyarakat Adat. Dari rapat itu ada masukkan, lalu Seskab kirim balik ke KLHK minta draf disempurnakan. Catatan dari rapat tersebut mempersoalkan masalah koordinasi, tak bisa dieksekusi, dan seharusnya dikomunikasikan lebih dulu ke presiden.

Lazimnya, kalau proses itu diajukan ke Seskab instansi pemrakarsa itu langsung izin pemrakarsa ke presiden. Biasanya kita siapkan draf. Kalau presiden setuju, lalu dibahas dan ada panitia khusus membahas substansi. Persoalannya ada prosedur yang tidak dilalui, maka terhambat karena tak tahu substansinya dan revisi draf belum dikembalikan ada panitia antar-kementerian dan lembaga untuk menyempurnakan substansinya.

Tapi ternyata izin prakarsa belum berjalan. Jadi substansi kita bahas, dan KLHK membuat surat pada presiden untuk izin pemrakarsa. Begitu presiden setuju ini ditindaklanjuti, substansi sudah matang. Untuk menyeselesaikan konflik adat, misalnya masuk  dalam kawasan hutan adat, yang punya kewenangan itu Eselon II.

Proses administrasi harus dilalui, harus ada disposisi tertulis, harus ada izin. Begitu presiden nyatakan setuju seharusnya KLHK mengajukan dan kita proses membentuk panitia antar kementerian.Kalau ini penting dan ditindaklanjuti, maka prosedur itu bisa bypass.

“Ini kok tiba-tiba ada draf yang ingin diajukan presiden. Kalau saat rapat kita semua setuju, makanya kita ajukan. Tapi begitu draf itu disampaikan ternyata banyak persoalan. Misalnya soal pencabutan izin bukan wewenang Satgas tapi instansi yang menerbitkan izin. Kewenangan Satgas tak boleh tumpang tindih dengan kewenangan dan tugas-fungsi lembaga yang ada,” kata Dwiyanto.

Menanggapi hal tersebut Abdon Nababan mengatakan, “saya sudah menjelaskan soal gagasan besarnya adalah rekonsiliasi. Harus ada satu tindakan yang menunjukkan ada niat baik dan tindakan presiden. Yang paling mungkin adalah mengurusi korban kriminalisasi berdasark kewenangan hukum presiden, yaitu amnesti, grasi, restitusi.  Bahkan rehabilitasi nama baik menyatakan bahwa mereka bukan penjahat, tapi pejuang. Mereka sedang melawan penjajah, bukan berkhianat,” Abdon menekankan.

“Jadi konteksnya rekonsiliasi, maka yang dipakai adalah kuasa presiden sebagai kepala negara. Kita semua sudah tahu kalau seluruh kerugian ini dibayar mungkin 20 tahun APBN habis. Karena besar, jadi memaafkan dan tanpa melupakan kejadian. Bukti ini masih ada. Apa tindakan politik presiden terhadap bukti-bukti itu?”

“Kekuasaan apa di tangan presiden yang bisa dia pakai untuk menunjukkan bahwa di negara yang sedang pudar ini dia mau merangkul rakyatnya. Harus diurus bersama karena ini urusan negara dan bangsa. Jadi harus ada upaya rekonsiliasi dan kekuasaan presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan untuk selamatkan republik ini,” tegas Abdon Nababan. ***JLG