Suku Soge dan Suku Goban Ingin Dialog Yang Lebih Baik

Status Tanah Adat Setelah Izin HGU Berakhir

Nangahale_photo2
Warga Suku Soge – Goban berhimpun

Sikka 14/8/2016 – Sesuai dengan Surat Bupati Sikka Nomor Pem. 305/115/2016 yang berisi perintah agar masyarakat masyarakat adat segera mengosongkan lokasi tanah bekas HGU paling lambat tanggal adalah 12 Agustus 2016 yang disusul dengan Surat Bupati Sikka Nomor Pem.305/122/2016, pada Jumad,12 Agustus 2016, tiga ratusan masyarakat adat Suku Soge dan Suku Goban berkumpul di Hito Hito, arah barat tanah bekas HGU Patiahu-Nangahale. Mereka berencana menyambut kedatangan Pemda dan aparat gabungan yang akan melakukan pembongkaran paksa  dengan ritual adat. “Hari ini kami akan menerima mereka dengan ritual adat kami, karena kami berjuang sebagai komunitas adat sehingga kami akan gunakan cara-cara adat,” ujar Ignas Nasi, Kepala Suku Soge.

Sejak pukul 07.00 pagi anggota kedua komunitas adat ini berbondong-bondong mendatangi tempat tersebut. Tidak hanya kaum laki-laki dewasa, banyak juga perempuan yang terlibat bahkan ada di antara mereka yang membawa serta anak-anak. Sampai dengan saat ini mereka tidak bersedia meninggalkan lokasi dan membongkar rumah-rumah mereka sebagaimana diperintahkan oleh Bupati Sikka. Mereka telah menyatakan penolakan terhadap perintah Bupati Sikka dengan beramai-ramai mengantarkan Surat Penolakan ke Kantor Bupati Sikka pada Kamis, 11 Agustus 2016 lalu.

Leonardus Leo, Kepala Suku Goban mengatakan bahwa mereka tidak akan keluar dari lokasi apabila belum ada kesepakatan bersama antara PT.Krisrama, Pemda Sikka dan masyarakat adat terkait pemanfaatan tanah bekas HGU Patiahu-Nangahale. “Selama ini dialog selalu gagal. Mereka tidak setuju dengan kami punya peta penataan ulang tetapi bukannya mendialogkan peta kami malah mau digusur,” ujar Leo.

Meskipun demikian dirinya menegaskan bahwa masyarakat adat tetap percaya bahwa dialog adalah jalan terbaik nyelesaikan persoalan ini. “Jalan terbaik itu berdialog, bukan gusur menggusur”, tegas Leo.

Selain masyarakat dari kedua komunitas tersebut, hadir juga para mahasiswa dari Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi dan Himpunan Pelajar Mahasiswa Tana Ai, aktifis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan Perkumpulan Bantuan Hukum Nusa Tenggara. Are de Peskim, staf PBH Nusra mengatakan keterlibatan beberapa lembaga dan ormas tersebut didasarkan pada panggilan nurani dan kemanusiaan. “Kedua komunitas ini selama ini termarjinalkan dari tanah ulayatnya. Kalau tidak berdaulat di atas sumber-sumber penghidupannya, bagaimana mungkin mereka bisa sejahtera? Kalau tidak sejahtera mereka rentan terhadap perlakuan tidak adil dari negara” ujarnya.

Meskipun demikian, sampai kurang lebih pukul 10.00, belum juga ada tanda-tanda kedatangan rombongan Pemda Sikka dan aparat keamanan untuk melakukan pembongkaran seperti yang disebutkan dalam Surat Pemberitahuan Bupati tanggal 11 Agustus 2016. Kapolsek Waigete, Sipri Raja yang datang menemui masyarakat bersama Danramil Talibura, Ida Bagus W. Kepada masyarakat Sipri Raja menginformasikan bahwa tidak terjadi penggusuran. “Saya sudah telepon Bapak Kapolres dan beliau menyampaikan bahwa ini hari (12/8/2016) ekseskusi tidak jadi dilakukan. Kalau jadi pasti kepolisian juga sudah ada disini,”ujarnya. Ketika ditanya masyarakat perihal kapan penggusuran dilakukan dirinya hanya mengatakan bahwa masyarakat pasti akan diinformasikan oleh Pemda bila hendak dilakukan ekseskus

Masyarakat Adat Inginkan Dialog Yang Lebih Baik

Bertahan di lokasi dan tidak mematuhi Surat Perintah Pengosongan yang dikeluarkan Bupati Sikka tidak berarti masyarakat hendak melawan negara atau pun gereja. “Kami tidak mau melawan gereja dan negara karena kami juga bagian dari negara dan gereja,” ujar tokoh muda Suku Soge, Arnoldus Delfi. Delfi menyatakan bahwa bertahan di lokasi adalah cara agar kedua komunitas dapat diberikan kesempatan untuk dialog yang lebih baik.

Lebih jauh Delfi menambahkan dialog yang selama ini dilaksanakan sama sekali tidak kondusif bagi masyarakat adat. “Awal dialog katanya mau kita selesaikan baik-baik agar menguntungkan semua pihak, nyatanya perwakilan-perwakilan yang kami utus dalam dialog harus berhadapan dengan kondisi yang tidak bagu, kami dianggap sebagai penyerobot sementara usulan kami terkait rencana penataan ulang tanah bekas HGU tersebut dianggap egois, padahal usulan Pemda dan PT.Krisrama jelas sekali tidak berpihak pada kami,” ujar Delfi. Menurutnya, butuh mediator baru dalam dialog ini. Apabila, tidak ada lagi ruang dialog maka kedua komunitas adat hanya akan  menawarkan Pemda Sikka, BPN Sikka dan BPN NTT, serta PT.Krisrama untuk melakukan sumpah adat.

Hal senada disampaikan oleh Koordinator Bidang Advokasi, AMAN Wilayah Nusa Bunga, Daud yang turut hadir medampingi masyarakat. Kepada anggota kedua komunitas yang hadir Daud menegaskan masyarakat adat di seluruh Indonesia mengedepankan cara-cara berjuangan yang damai dan bebas dari kekerasa. Daud menyampaikan bahwa sudah ada cukup ruang bagi pengakuan masyarakat adat misalnya hadirnya Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Hutan Adat adalah Hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi Hutan Negara serta Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan Masyarakat Hukum Adat.

Kepada anggota kedua komunitas adat Daud berpesan agar tetap semangat dan bersatu dalam berjuang. “Jangan merasa sendirian dan tetap berjuang karena sesungguhnya banyak  pihak sedang berjuang untuk bapa mama sekalian di luar sana,” tegasnya. ***ADP