Hutan Kalimantan Dikuasai Sawit Dan Tambang

Tumpang Tindih Izin Perusahaan Harus Diatur Oleh Pemerintah

Konferensi Pers KemenATR/ BPN Dituntut Terbuka
Konferensi Pers KemenATR/ BPN Dituntut Terbuka

Jakarta 19/8/2016  ̶ Kementrian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (KemenATR/BPN) dinilai tidak transparan dalam informasi publik tentang Hak Guna Usaha (HGU). Oleh karena itu Forest Watch Indonesia (FWI) dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menggelar Konferensi Pers di Bakoel Koffie, Jalan Cikini Raya No. 25, Cikini Menteng, Jakarta Pusat (19/8/2016).

Pada masa lalu hutan Kalimantan digerus oleh loging secara membabibuta kemudian beralih menjadi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Sejak tahun 2000 izin pertambangan bertebaran di Kalimantan. Pertambangan terbesar terdapat di Kalimantan Timur. Samarinda sebagai Ibu Kota dikelilingi oleh perusahaan tambang. Sebelum ada UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, dalam satu tahun ada sebanyak 90 izin dikeluarkan oleh Gubernur Kaltim.

Linda Rosalina, Pengkampanye FWI menyampaikan tahun 2009-2013 telah kehilangan hutan sebesar 1,13 juta per tahunnya, hal ini disebabkan exploitasi kayu dari konversi hutan seperti HTI, tambang dan perkebunan kelapa sawit. Dalam Kajian FWI ditemukan deforestasi/kehilangan hutan dalam konsesi perkebunan sawit 500.000 hektar.

Indonesia menjadi pengekspor sawit terbesar hingga memenuhi kebutuhan dunia. “Pulau Kalimantan adalah wilayah terbanyak mengalami kehilangan hutan dalam konsesi sawit seluas 30.327.000 hektar, seluas 3,6 juta hektar pada tahun 2014 perkebunan sawit (Data Dirjen Perkebunan),” paparnya.

Dilihat dari sisi penguasaan lahan, sistem pengelolaan, perbandingan antara luas izin usaha perkebunan, HGU dan luas berbanding cukup signifikan dari izin usaha, artinya ada indikasi penelantaran tanah dilakukan pemegang HGU. Jika demikian faktanya seharusnya izin HGU nya dicabut. Tetapi karena carut marutnya perizinan, terjadi tumpang tindih antara milik masyarakat dan perkebunan kelapa sawit. “Bahkan disuatu wilayah terdapat 4 kali izin konsesi seperti HTI dan pertambangan,” jelas Linda.

Ki Bagus Hadi Kusuma, Pengkampanye JATAM Nasional mengatakan Kementerian Kehutanan pernah menyampaikan tahun 2014 seluas 25 juta hektar tambang berada di kawasan hutan. “Izin pinjam kawasan hutan sebanyak 441.000 hektar atau hanya 441 izin dari 6000 yang ada berada di kawasan hutan. Seluas 1,3 juta hektar hutan konservasi, 4,9 juta hektar kawasan hutan lindung, dan 19 juta hektar kawasan hutan bermusim,” ungkapnya.

Tumpang tindih izin perkebunan, karena tidak adanya sosialisasi kepada masyarakat dan tertutupnya informasi publik sehingga terjadi ketidakadilan pengelolaan SDA bahkan menyebabkan pelanggaran HAM di Kalimantan. “Sementara jika mengacu kepada aturan di Indonesia suatu dokumen dirahasiakan dari publik jika menyangkut keamanan negara dan persaingan usaha. Diperkuat oleh UUNo. 3 tahun 1997 Menteri Agraria disebutkan kepala kantor wilayah BPN dibolehkan memberikan salinan dokumen pemberian izin terkait HGU kepada instansi atau masyarakat,” papar Ki Bagus.

I Ketut Bagia Yasa dari JATAM Kaltim memaparkan seluruh kawasan yang dieksploitasi oleh perusahaan tidak melalui proses penyelesaian serta ganti rugi dari pihak perusahaan dan pemerintah. Sehingga warga sering melakukan gugatan.

JATAM dan WALHI Kaltim pernah memenangkan gugatan di Komisi Informasi tetapi ketika ditindaklanjuti ke BPN Kaltim malah ditolak oleh mereka.“Dengan mengacu pada UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Perpu No. 1 tahun 2010 tentang Pelayanan Informasi Publik, Pasal 13 ayat 1B dokumen perizinan merupakan dokumen terbuka dan izin keterbukaan dikeluarkan dengan dokumen pendukung dan pendataan,” jelasnya.

Hal di atas membuktikan bahwa pemerintah saat ini melindungi kejahatan korporasi melalui BPN dan didukung peraturan KemenATR. “Sebagai contoh menghilangkan ruang hidup masyarakat, hak kawasan produksi pangan. Sebanyak 27 kasus tindak pidana di Kaltim sebagian besar akibat tumpang tindih kawasan yang didukung oleh lembaga-lembaga pemerintah untuk perluasan kawasan,” Papar I Ketut.

Dampak carut marutnya izin perusahaan di Indonesia mengkibatkan banyak terjadi konflik antara perusahaan dan Masyarakat Adat. Ini seharusnya menjadi prioritas bagi pemerintah untuk memberikan solusi terhadap Masyarakat Adat di Indonesia. Konflik sengketa lahan terjadi di Kaltim, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltara dan daerah-derah Nusantara lainnya. Sebagai contoh konflik di Kutai Timur, Kaltim adalah  konflik besar-besaran antara masyarakat adat dan perusahaan. Di Kalsel, 183 kasus tumpang tindih antara HGU – Konsesi Tambang akibatnya perusahaan saling gugat.

“Seharusnya ada solusi atas tumpang tindih aturan menteri agraria dan kehutanan,  karena berdampak pada tata ruang serta menyangkut hak hidup masyarakat. Sampai hari ini Masyarakat Adat banyak dikriminalisasi dengan adanya larangan berladang. FWI sangat menyayangkan kelalaian pemerintah menegaskan aturan harusnya pemerintah tidak menutup mata terhadap kearifan lokal, pola mencari makan dengan berladang bukan penyebab kabut asap,” lanjut Linda Rosalina.

“Perusahaan membuka lahan dengan cara membakar, seperti di Paser pernah terjadi perusahaan membuka lahan dengan cara membakar lalu api merembet pada lahan penduduk. Yang mengatasi kebakaran justru masyarakat setempat tanpa bantuan dari perusahaan penyebab kebakaran. Wargalah yang bergotong royong memadamkannya,” papar Linda.

Pemerintah akan mengevaluasi perusahaan sawit dan KPK juga sedang melakukan  inisiasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) untuk menyelesaikan penguasaan tanah Masyarakat Adat dalam kawasan hutan. FWI meminta keterbukaan informasi, agar dapat melibatkan lembaga-lembaga publik berpartisipasi dalam memonitor kebijakan. FWI menuntut KemenATR/BPN segera melaksanakan Keputusan Komisi Informasi. **** Paulus Ade Sukma Yadi