Siklus Hidup Perempuan Adat

Berjuang Untuk Hak dan Kedaulatan Wilayah

olvy_cBerbicara mengenai perjuangan perempuan di wilayah adat, Persekutuan Perempuan Adat Nusantara AMAN (PEREMPUAN AMAN) adalah wadah perjuangannya. Berikut petikan obrolan kami bersama Olvy Tumbela, Dewan Persekutuan Perempuan Adat Nusantara AMAN (PEREMPUAN AMAN) Region Kalimantan. Olvy terlahir dari seorang ibu Dayak Modang. Bagi Olvy bergabung dalam organisasi perempuan adat yang tersebar di seluruh Nusantara merupakan tempat berlindung dan berbagi, sebab visi misi PEREMPUAN AMAN  sejalan dengan pandangan dan semangatnya.

“Persekutuan Perempuan Adat Nusantara AMAN (PEREMPUAN AMAN) adalah organisasi perempuan pertama yang berbicara mengenai kedaulatan atas diri sendiri, wilayah kehidupan, wilayah adat, dengan fungsi menjaga kelestariannya,” Olvy memulai cerita saat ditemui di Sempur Bogor (17/11/2016) lalu.

Sore itu Olvy bercerita tentang perkembangan dan pengalamannya menghimpun kaum perempuan adat di Kalimantan Timur. “Spesial hancurnya, spesial juga perjuangannya karena sejak 1970-an industri ekstraktif kayu marak, akibatnya masyarakat adat kehilangan wilayah kelola mereka. Memasuki awal tahun 2000 paska reformasi semua industri ekstraktif tambang masuk ke Kaltim, seperti batu bara, emas dan yang paling kena dampaknya adalah perempuan,” jelas Olvy.

“Yang pertama kali tahu hancurnya ekosistem adalah perempuan, karena itu bagian dari wilayah hidup, sebab biasanya yang mencari makanan ke hutan perempuan. Kalau hutan tidak ada, sayuran juga hilang, air hilang, buah-buahan, obat-obatan, semua hilang,” lanjut Olvy.

Kondisi itu, mendorong kelompok ibu-ibu mengorganisir diri, sadar bahwa penyebab semua itu adalah dampak kehadiran industri ekstraktif di wilayah mereka. Ibu-ibu di Mahakam Hulu secara luar biasa bergerak mengorganisir perempuan adat, lokasinya sekitar dua hari perjalanan darat dari Balik Papan. Tokoh mereka paling depan adalah ibu Fatmawati.

Sekitar tahun 90-an sampai tahun 2000 bu Fatmawati bersama ibu-ibu lainnya sudah aktif mengorganisir para peladang. “Tanah kita tidak boleh dicaplok, ayo kita berladang, begitu slogan bu Fatma dan kawan-kawannya. Bu Fatma juga mengumpulkan para pengrajin karena menurutnya, kalau tidak ada hasil, untuk apa mempertahankan wilayah adat,” tutur Olvy.

Semakin ke tengah, di daerah Long Bentuq ada seorang nenek kepala adat, orang Modang di Long Bentuq kepala adatnya perempuan. Di Mahakam Hulu rata-rata kepala adatnya perempuan. Memang ada juga anak perempuan yang tidak mau jadi kepala adat, lalu diserahkan pada anak laki-laki, karena hanya dia yang mau mengemban tugas adat. Pembedaan antara anak perempuan dan laki-laki tetap ada.

Selain itu ada juga komunitas yang sudah melaksanakan pembagian peran antara garis laki-laki dan perempuan dengan jelas. “Itu kearifan lokalnya, karena bagi orang Modang atau Dayak secara umum perempuan punya hak mengurus adat, misalnya siapa yang bersedia tinggal di rumah. Seperti keluarga ibu saya sembilan orang bersaudara, semua punya hak yang sama,” Olvy menerangkan.

Di Modang pada tahun 2011-an saat perempuan ramai merebut hutan desa, perempuan kepala adat itu berdiri paling depan. Akhirnya SK hutan desa keluar, meski beda titik koordinat dan tempat. Bicara mengenai perempuan mengorganisir diri di Kaltim kuat sekali.

Di Paser ada ibu Noorhayati, Emy Febrian, berjuang meningkatkan kapasitas perempuan adat. Ada lagi Yurni Sadariah, mereka bekerja sebelum saya memulai. Tantangan pengembangan perempuan di Kaltim masih sama dengan periode sebelumnya. Ada yang cepat dan bijak menerima bahwa perempuan adat itu harus ikut membela dan berjuang untuk wilayah adat sebab perempuan juga harus berjuang untuk keluarga. Tantangan di ranah domestik itu masih ada.

Olvy melanjutkan bahwa di perkampungan meski sama-sama berjuang, tapi masih membedakan perempuan, contohnya Bu Noorhayati. Belum lagi tantangan dari ormas politik. Yang punya kepentingan mengambil keuntungan dari industri ekstraktif bukan cuma masyarakat adat.

Perempuan punya ketakutan kalau bepergian keluar dari wilayah adat, mereka takut mengalami intimidasi dan pelecehan. Pembunuhan mungkin jauh dari pikiran perempuan, tapi ancaman dan intimidasi masih kerap terjadi. Tiga hari sebelum sidang kasus bu Noorhayati di Paser, mulai dari keberangkatan menuju  Paser (enam jam perjalanan) naik kendaraan umum, Olvy diikuti orang tak dikenal. Begitupun saat mengikuti persidangan Noorhayati, dia diikuti orang tak dikenal sejak dari penginapan sampai di pelabuhan penyeberangan pulang.

Menurut  Olvy, bentuk intimidasi terhadap perempuan masih sering terjadi, di samping tantangan dari keluarga sendiri bertanya mengapa ikut melawan-lawan, selesaikan kuliah saja dulu, lalu kerja jadi PNS, menikah dan punya anak. “Sudah waktunya perempuan di Kalimantan diberi hak berpendapat, ikut mengambil keputusan atas wilayah adatnya. Dalam Suku Dayak itu bukan hanya laki-laki yang pegang tanah, sementara pemerintah maunya kepala keluarga yang pegang akta tanah. Lalu apa khabar dengan para ibu-ibu yang punya hak kelola itu, mau diapakan nasibnya? tegas Olvy.

Ekspresi Olvy Bercerita

Olvy tak memungkiri bahwa kepala adat ditunjuk berdasarkan garis darah keturunan,  tetapi yang jadimasalah menurut mereka ada hukum yang lebih tinggi, hukum positif atau hukum negara. Ini tidak adil karena penguasaan tanah ada di garis laki-laki, itu meminggirkan perempuan yang diakui keberadaannya oleh hukum adat punya hak kelola  wilayah adat. Di Kabupaten Kutai Barat sudah ada peraturan daerah tentang kelembagaan adat yang diatur oleh pemerintah dan dipakai di seluruh kampung. Menurut Olvy skenario peraturan daerah  Kutai Barat disesuaikan dengan keinginan pemerintah.

Contoh lain di Komunitas Muara Tae. Tahun 2013, saat itu hujan deras turun terus-menerus,  anak-anak dan perempuan kena penyakit kulit. Setelah diselidiki ternyata kondisi air sudah tidak bagus. Perempuan sadar akses jalan diputus dan mereka tidak bisa kemana-mana. Mau ke rumah sakit terdekat perjalanan ditempuh sekitar empat jam. Pak Thomas Bupati Kutai Barat waktu itu dengan sengaja memutus akses jalan. Ibu-ibu merasa pemutusan jalan berhubungan dengan sengketa wilayah adat. Akibatnya air bersih tidak ada, kalau hujan air memang ada, tapi kondisinya tidak layak. Anak-anak kena penyakit kulit, layanan puskesmas tidak memadai.

Kondisi tersebut tidak lantas membuat ibu-ibu langsung terlibat dalam persoalan wilayah adat. Perempuan-perempuan di Muara Tae, membiarkan para lelaki berjuang, sebab  perempuan menganggap perjuangan itu berat. Walaupun perempuan sudah dilibatkan baru tiga orang ibu yang mau gabung.

Berbeda dengan kampung tetangganya Macok. Pemberdayaan perempuan adat dimulai dari para pengrajin. Awalnya ibu-ibu yang bergabung, sekarang para bapak mulai tertarik, perbandingannya 60% para ibu dan 40% lagi bapak-bapak. Ada kalanya pendekatan terhadap kaum ibu lebih mudah, para bapak kemudian mengikuti. Mengorganisir para Ibu-ibu Muara Tae butuh waktu agar bisa seperti kondisi  di komunitas Macok.

Ketika kaum perempuan bicara kebebasan, masih ada yang belum dibebaskan. Berdaulat atas diri sendiri tetap jadi perjuangan perempuan adat. Tetapi perjuangan kalau tidak membebaskan diri sendiri lebih dulu, bagaimana mau ikut membebaskan wilayah adat dari klaim izin perusahaan. Walaupun perempuan belum bisa membebaskan dirinya sendiri, di rumah keluarganya masih melarang, mereka tetap berjuang. Saya mau katakan perjuangan perempuan seiring sejalan, wajahnya bisa macam-macam. Tapi khusus untuk Persekutuan Perempuan Adat Nusantara frame besarnya adalah menyelamatkan wilayah adat karena ini penting untuk keberlanjutan

olvy_pic_bPada Saat mereka beraksi melawan, seperti sembilan perempuan Samin Versus Semen yang menyemen kakinya di depan istana, saya yakin tiba di rumahnyapun mereka masih berjuang. Mereka berjuang untuk wilayah adat, tapi kalau ditelisik satu persatu seperti bawang merah sampai ke bagian inti paling dalam, perempuan masih tetap berusaha untuk memerdekakan dirinya sendiri

“Perempuan itu mulai lahir dari rahim, sampai mati siklus hidupnya terus-menerus berjuang. Lahir sebagai putri dari siapa, kemudian ketika menikah isteri dari siapa, ketika sudah punya anak ibu dari siapa, sudah punya cucu, dia nenek dari siapa,” ujar Olvy menutup obrolan. **** Jeffar Lumban Gaol