Tanah, Suku dan Kebudayaan

Oleh : Bungaran Antonius Simanjuntak

desa_na_walu_Tanah adalah milik manusia paling utama. Mereka tinggal di atas tanah. Mereka mengolah tanah untuk memperoleh bahan untuk kehidupan. Mereka berkembang biak dan mengembangkan kebudayaannya di atas tanah miliknya. Mereka memuja Tuhan juga di atas tanah miliknya. Mereka secara pribadi hidup sepanjang usianya juga di atas tanah. Kemudian setelah kembali kepada penciptaNya mereka dikuburkan di dalam tanahnya atau di tanah khusus yang disediakan pemerintah.

Tanahnya diwariskan kepada keturunannya. Mereka yang satu suku memiliki tanah yang diwarisi dari nenek moyangnya. Kemudian tanah itu diwariskan lagi kepada keturunanya. Makanya setiap suku punya nama untuk tanah warisan sesuai dengan adat istiadat atau kebudayaan mereka. Muncul nama-nama tanah wulayat, tanah marga, tano parbagian, golat, ulos na so ra buruk (Batak) dsb.

Pada masyarakat asli Nusantara, tanah adalah milik bersama. Milik desa, milik paguyuban, milik komunal. Tidak ada milik pribadi. Memang setiap warga memiliki hak mengerjakan tanah sesuai dengan keputusan warga. Tetapi bukan milik individual. Karena itu tidak dapat dijual kepada orang lain yang bukan warga satu nenek moyang.

Tanah itu hanya bisa dipindah tangankan kepada mereka yang bersaudara dekat, atau kepada mereka yang sudah saudara jauh. Atau kepada mereka yang satu marga. Karena itu tanah tidak bias pindah tangan kepada marga lain. Kalaupun marga lain yang mengerjakan tanah itu, itukarena orang tersebut telah mengawini putri marga tanah (marga tano) dan mereka disebut boru atau marga boru na gojong.

Menjadi persoalan bila pemerintah mendaftar tanah itu sebagai tanah individual berdasarkan siapa yang mengerjakan atau bertempat tinggal di tanah tersebut. Kemudian memberi sertifikat kepemilikan tanah. Karena pemilik tanah adat tersebut adalah keturunan nenek moyang, maka tidak bisa disertifikatkan secara individual. Bila hendak mengakui kepemilikan tanah tersebut, maka sertifikatnya adalah sertifikat komunal yaitu marga. Itu artinya pemerintah jelas mengakui dan mengetahui tapal batas tanah-tanah marga yang ada pada satu-satu wilayah. Hal ini sangat diperlukan agar tidak terjadi tumpang tindih kepemilikan tanah adat (wulayat) di antara suku atau etnis atau marga.

Kesimpulannya ialah bahwa tanah adalah milik rakyat yang mutlak sejak nenek moyang dan menjadi lambang identitas utama keberadaan rakyat atau suku atau marga.

Suku/ Etnik

Suku atau etnik adalah pemukim permanen yang mendiami satu wilayah. Suku yang mendiami satu-satu wilayah bisa saja sudah bermukim di perkampungan mereka beratus atau beribu tahun. Misalnya suku Batak yang menghuni wilayah Tapanuli menurut legenda yang dipercayai suku Batak sudah ribuan tahun. Dan kampung pertama mereka dinamakan Huta Sianjur Mula-mula, di atas puncak Gunung Pusuk Buhit. Disitulah nenek moyang Batak turun dari langit bernama Si Boru Daek Parujar, putri dewa Batara Guru. Ibu moyang Batak inilah yang dipercaya sebagi orang yang menciptakan bumi untuk dihuni manusia.

Walau bumi ciptaannya itu selalu dirusak dan dihancurkan oleh Dewa Naga Padoha, namun akhirnya Batara Guru menghukum Naga Padoha dengan merantainya sehingga bumi ciptaan si Boru Daek Parujar putrinya itu utuh. Dan manusia dapat bermukim dan berkembang biak di perkampungan utama dan termula (Sianjur Mula-mula, Sianjur Mula Tompa) itu sampai kemudian menyebar ke seluruh wilayah Tanah Batak (Tapanuli). Proses persebaran ini diperhitungkan ribuan tahun. Namun berdasarkan penelitian arkheologi yang kami lakukan 4 tahun lalu bersama Balai Arkheologi Sumatera Utara, bahwa perkampungan di Pulau Samosir masih berusia sekitar 200 s/d 300 tahun. Demikian juga perkampungan di atas Gunung Pusuk Buhit itu.

Dewasa ini suku-suku yang mendiami perkampungan-perkampungan di Indonesia adalah pemilik tanah dan segala yang tumbuh diatasnya. Bahkan logikanya juga sumber daya alam yang dikandung oleh bumi, perkampungan atau tanah milik rakyat itu adalah milik rakyat. Jadi kekayaan rakyat pemilik tanah ada di atas dan di dalam tanah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa di dalam subyek tanah itu terkandung nilai kepemilikan, kekayaan, kejiwaan dan kerohanian. Bahkan ritus-ritus keagamaan dan kebudayaan dilaksanakan di atas tanah di perkampungan milik rakyat. Oleh karena itu keberadaan tanah sangat vital dan fundamental untuk kehidupan dan keberadaan rakyat, kebudayaan dan agamanya.

Kebudayaan

Kebudayaan atau culture adalah kekayaan milik rakyat yang bermukim di suatu tempat perkampungan. Dengan kebudayaan rakyat menyatakan existensinya. Kebudayaan itu tumbuh dan berkembang di perkampungan milik rakyat. Kita tahu bahwa tanah perkampungan itu adalah tempat bertumbuh dan berkembangnya kebudayaan rakyat. Oleh karena itu tiga unsur, yaitu tanah, rakyat dan kebudayaan adalah variabel yang saling mempengaruhi dan menentukan satu sama lain.

Artinya tanpa tanah maka rakyat tidak punya pemukiman. Kalau tidak punya pemukiman maka di mana kebudayaan itu berkembang dan dikembangkan?

Pertanyaan selanjutnya, tanpa dapatnya eksistensi kebudayaan dinyatakan dalam action kehidupan, dapatkah kehidupan nyata manusia itu dinyatakan? Tentu tidak. Oleh karena itu kita simpulkan bahwa bila tanah masih dimiliki rakyat, maka kebudayaan masih bisa dinyatakan. Bila kebudayaan dapat dinyatakan maka masyarakat itu masih ada dan hidup. Sebab itu tanah sangat fudamental untuk kehidupan masyarakat dan kebudayaannya.

Oleh karena itu pemberian certificate milik pribadi pada masyarakat adat yang komunalistik sangat berbahaya. Karena dengan adanya certificate pribadi itu, maka setiap orang akan dapat menjual tanahnya kepada kaum kapitalis (corporate). Sehingga terjadilah perpindahan kepemilikan tanah. Dan besar kemungkinan rakyat akan terusir dari tanah tumpah darahnya. Sehingga besar kemungkinan pula satu suku bangsa akan pindah terpencar ke daerah lain dan bahkan dapat saja terjadi suku itu akan menjadi hilang/ lenyap.

Ini harus dicegah

Medan 7 November 2016