Sistem Noken, Menembus Batas Prosedural Pemilu

Oleh : Yayan Hidayat

Pemilu bagi masyarakat Yahukimo identik dengan pesta gembira. Pemilu tidak boleh meninggalkan permusuhan di antara mereka. Masyarakat Yahukimo tidak mau terpecah-belah karena berbedanya pilihan. Oleh sebab itu, mereka bermusyawarah terlebih dahulu mengenai siapa atau partai mana yang akan dipilih. Noken dihadirkan sebagai jalan tengah untuk mengkonversi hasil keputusan musyawarah ke dalam sistem pemilu konvensional.

Bagi masyarakat adat Yahukimo, noken adalah simbol kehidupan. Tidak hanya berfungsi sebagai wadah untuk mengumpulkan kertas suara, melainkan untuk membawa hasil bumi dan juga sebagai simbol kebudayaan.

Namun dalam dekade terakhir, beberapa pihak mengkritisi legitimasi sistem ini.  Mereka mempersoalkan pemilihan model noken karena tidak lazim dan bertentangan dengan tata cara pemilu konvensional.

Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dalam publikasinya yang berjudul Tambal Sulam Sistem Noken menyebutkan bahwa noken membuat sistem pemilu kita semakin runyam, karena pemilu dengan sistem noken diwarnai dengan penggelembungan jumlah pemilih secara massif.

Selain itu menurut Perludem, pemilu dengan sistem noken adalah salah satu sebab utama macetnya pelaksanaan pembangunan di hampir semua kabupaten yang menggunakan sistem ini. Model pemilihan noken sama sekali tidak membuat para kepala daerah dan legislatif di Papua bekerja bersungguh-sungguh untuk membangun daerahnya

Bagi kebanyakan orang, noken sebagai sebuah sistem hanya terbatas dipahami sebagai mekanisme memilih dimana kotak suara diganti dengan tas noken. Setidaknya itulah yang tampak dari Keputusan KPU Provinsi Papua Nomor 01/Kpts/KPU Prov.030/2013 tentang petunjuk teknis tata cara pemungutan suara dengan menggunakan noken sebagai pengganti kotak suara.

Yang sangat jarang diketahui bahwa noken sebetulnya adalah sebuah jalan tengah dari perdebatan sistem konvensional dan tradisional. Noken digunakan sebagai simbol dari nilai kolektif dalam pemilu untuk memilih calon kepala daerah atau anggota legislatif maupun presiden dan wakil presiden. Sebelum menentukan pilihan, mereka bermusyawarah dan saling membagi informasi tentang sepak terjang setiap calon yang hendak dipilih.

Setelah pemilih di kampung mulai mengambil keputusan tentang calon yang akan dipilihnya, kemudian calon yang dipilih akan diuji kelayakannya oleh masyarakat dengan menggunakan kriteria kultural. Pengujian melalui musyawarah berlangsung hingga mereka mencapai kesepakatan dan menggunakan noken sebagai simbol dalam memilih.

Fakta tersebut merupakan keadaan nyata masyarakat Indonesia yang majemuk, selain itu juga menyajikan keadaan yang sebenarnya bahwa ada hukum adat yang dipegang teguh oleh masyarakat adat yang tidak dapat dinafikan oleh hukum positif.

Memandang noken sebagai sebuah bangunan sistem tak dapat dilihat hanya dari satu pendekatan. Noken perlu dipahami sebagai realitas sosial yang kompleks yang berkembang diluar logika prosedural dalam kehidupan demokrasi.

Argumentasi yang menilai bahwa noken rentan manipulasi adalah pemahaman statis yang mendasarkan pada pendekatan prosedural semata. Noken sebagai sebuah manifestasi dari sistem nilai kolektif yang berkembang jauh sebelum demokrasi dengan ketentuan teknis yang menjamin implementasinya adalah dua konteks yang berbeda. Putusan MK yang mengakomodir noken adalah bentuk tindakan diskresi dari negara. Sebuah putusan yang mencerminkan kontekstualisasi demokrasi. Sementara, ketentuan teknis prosedural perlu diatur dalam aturan yang berbeda guna menjamin legitimasi dalam implementasinya. Dua hal ini tak dapat dicampuradukkan.

Perdebatan demokrasi seyogyanya melampaui batas-batas prosedural. Model pemilihan umum dengan menggunakan noken justru mempertegas peranan adat dalam membangun demokrasi. Noken sebagai manifestasi nilai kolektif sebetulnya sedang memperkuat makna demokrasi kearah yang lebih substansial.

Noken, Meneguhkan Makna Representasi

Model noken, justru semakin meneguhkan makna representasi. Memperkuat relasi antara konstituen dan kandidat yang mewakilinya. Sebab, ketika berbicara mengenai representasi, maka ada tiga konsep yang mengikuti. Pertama, pictorial representation, mereka yang dipilih untuk mewakili harus menyerupai yang diwakilinya. Kedua, theatrical representation, wakil yang terpilih harus menafsirkan, berbicara, dan bertindak untuk pihak yang diwakilinya. Ketiga, juridical representation, wakil yang terpilih harus bertindak atas nama yang diwakilinya dengan persetujuan demi kepentingan bersama.

Noken sebagai sebuah sistem, telah memenuhi ketiga prinsip representasi tersebut. Setiap kandidat yang hendak maju, diuji dengan menggunakan kriteria kultural oleh masyarakat. Tak hanya itu, rekam jejak kandidat juga menjadi penilaian bersama dalam proses musyawarah yang dilakukan. Hal ini membuat kandidat yang lahir dari proses noken adalah kandidat yang benar-benar mewakili konstituennya.

Menganggap model pemilihan noken sama sekali tidak membuat para kepala daerah dan legislatif di Papua tidak bekerja bersungguh-sungguh untuk membangun daerahnya adalah argumen yang salah kaprah. Argumen tersebut seharusnya membedakan dua hal antara political will pemerintah dan sistem pemilu yang melahirkannya. Sebab hal tersebut adalah dua konteks yang berbeda.

Agenda pembangunan daerah didasarkan pada political will dari pemerintah dan seperangkat birokrasinya. Tak ada hubungannya dengan model pemilihan dengan noken. Jika kita telisik lebih jauh, model pemilihan dengan sistem one man one vote juga masih menghasilkan ketimpangan pembangunan di banyak daerah.

Sistem noken pun memiliki mekanisme phunisment terhadap representasi yang ternyata ingkar terhadap komitmen yang janjikan kepada komunitas yang memilihnya. Phunisment bisa berbentuk tindakan menolak untuk memilihnya kembali atau dihukum secara adat. Hal ini yang luput dipahami oleh banyak kalangan, termasuk aktivis demokrasi.

Memperluas Model Noken

Mahkamah Konstitusi telah melakukan suatu terobosan baru dalam hal tata cara pemungutan suara dalam pemilihan umum. Putusan ini menjadi yurisprudensi bagi setiap model pemilihan secara adat dalam sistem pemilu Indonesia, tanpa menegasikan prinsip one man one vote. Norma yang lahir dari putusan MK tersebut adalah norma lex specialist hukum pemilu yang selama ini hanya melegalkan prinsip one man one vote dengan model pencoblosan.

Mahkamah Konstitusi secara tidak langsung melakukan penemuan hukum (recht finding) dengan memperhatikan hukum adat yang masih hidup di masyarakat. Putusan tersebut mengkolaborasikan antara hukum adat dengan sistem pemilu yang berlaku.

Diakuinya secara implisit model noken ini menjadi tata cara yang sah dalam penyelenggaraan pemilu membuat kita berpikir ulang tentang struktur sosial di dalam masyarakat yang harus direspons oleh setiap perubahan hukum.

Di banyak tempat seperti Huta di Sumatera Utara, Wanua di Sulawesi Utara, Nagari di Sumatera Barat, dan Lembang di Toraja memiliki sistem nilai kolektif yang sama dalam pengambilan keputusan. Seharusnya model pemilihan ini dapat diperluas penerapannya kepada daerah yang masih memiliki sistem tersebut,

Sebab, dikalangan komunitas masyarakat adat memandang sistem pemilu yang berbasis one man one vote sebagai mekanisme pengambilan keputusan adalah sesuatu yang baru. Mereka menganggap model demokrasi yang individualistik merusak tatanan adat. Mereka dipaksa untuk tunduk pada logika baru yang hadir tanpa adanya ruang untuk bernegosiasi sedikitpun.

Di Jayapura, hal ini memicu hadirnya “dua matahari” kembar yang semakin memperparah kondisi ungovernability dalam political arena. Setelah sebelumnya selama berabad-abad terbangun governance ala tradisional dengan berkuasanya adat beserta logika dan seperangkat birokrasinya sendiri, kini dinegasikan oleh pemerintah melalui demokrasi elektoral yang individualistik. Hal ini yang rentan memunculkan konflik horizontal.

Di Toraja misalnya, euforia kombongan sebagai musyawarah adat dalam mengambil keputusan memiliki peran sentral dari pada pemilu konvensional yang berkembang saat ini. Mereka menganggap model pemilu konvensional yang mengedepankan prinsip individualistik justru memunculkan patronase dan rentan memicu konflik antar sesama.

Karakteristik sistem kolektif yang berkembang selain di Papua, juga perlu dikonversi ke dalam sistem pemilu. Hal ini dipahami bukan untuk menegasikan prinsip pemilu konvensional yang sudah berkembang, melainkan memperkuat dan menyempurnakan pemaknaan demokrasi di negara yang multikultur seperti Indonesia. Alasan lain, kita sedang membuat kehadiran Pemilu dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat, tanpa terkecuali.