MASYARAKAT ADAT DIHADAPAN MODERNISME A LA KONSTITUSI

Sejak awal kemerdekaan Indonesia, negara telah menghendaki sejumlah upaya rekayasa sosial (social engineering) melalui instrumen hukum terhadap masyarakat adat. Masyarakat adat dirancang secara normatif agar dapat hidup dan bertumbuh sesuai dengan perkembangan zaman di dalam tatanan konstitusional Indonesia. Namun demikian, “kesesuaian dengan perkembangan zaman” itu sendiri adalah suatu idealitas yang problematis, kabur syarat-syaratnya, serta gagal menangkap kelenturan istilah “modernitas”.

“Sesuai dengan Perkembangan Masyarakat” Menurut MK

Pasca Reformasi, konstitusi secara formal mengafirmasi kebijakan modernisasi masyarakat adat ke dalam rumusan normanya. Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 dengan gamblang menyatakan bahwa “kesesuaian mereka dengan perkembangan masyarakat” merupakan prasyarat pengakuan dan penghormatan negara atas masyarakat adat. Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No. 31/PUU-V/2007 kemudian merinci indikator-indikator “kesesuaian” tersebut. Menurut MK, frasa “sesuai dengan perkembangan masyarakat” dimaknai sebagai kesesuaian masyarakat adat dengan peraturan perundang-undangan sebagai cerminan nilai-nilai ideal masyarakat. Substansi hak-hak mereka juga harus selaras dengan prinsip hak asasi manusia dan diakui oleh anggota masyarakat adat itu sendiri.

Pilihan rumusan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 menjadi problematis tidak hanya karena menjadikan “kesesuaian dengan perkembangan masyarakat” sebagai prasyarat pengakuan konstitusional masyarakat adat. Sekalipun MK telah menguraikan tafsir otoritatifnya terhadap pasal ini, namun indikator tersebut cenderung positivistik sekaligus membatasi sumber-sumber hukum pengakuan masyarakat adat. 

Dapat dikatakan MK terjebak pada nalar kemurnian hukum, yang menempatkan pembentuk hukum sebagai entitas yang paling memahami kebutuhan ideal dalam masyarakat, semata karena mereka berwenang melakukannya. Adanyalandasan sosiologis dan filosofis memang diwajibkan dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun bukan berarti peraturan perundang-undangan yang lahir kemudian selalu mencerminkan sebuah tata nilai yang paripurna. Apalagi dalam banyak kasus, peraturan-peraturan perundang-undangan kerap lahir tanpa melalui proses penyusunan naskah akademik yang serius.

Pengakuan masyarakat adat di level peraturan daerah (perda) sebagai bentuk “kesesuaian dengan perkembangan masyarakat” juga memiliki kelemahan, karena tidak memiliki acuan hukum yang lebih tinggi. Idealnya, skema perlindungan konstitusional terhadap masyarakat adat dirumuskan secara rinci di level konstitusi. Jika belum memungkinkan, maka skema tersebut dapat dituangkan di dalam undang-undang sesuai amanat Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1935 itu sendiri. Perda harusnya menjadi pilihan terakhir, karena kedudukannya sebagai produk peraturan perundang-undangan di level terendah. Perlindungan yang ditawarkannya bersifat semu dan lemah karena dapat dibatalkan sewaktu-waktu melalui mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan, baik di jalur eksekutif maupun yudisial. Perda-perda ini tetap harus dilindungi oleh bentuk peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Rumusan MK atas “modernitas” ini juga terkesan kanonik dan justru kontraproduktif dengan “kesesuaian dengan perkembangan masyarakat”, karena menafikan kemungkinan lahirnya terobosan hukum dari putusan-putusan hakim yang menguatkan kedudukan masyarakat adat. Dibanding peraturan perundang-undangan, putusan-putusan adalah sumber hukum dengan sirkulasi keabsahan yang lebih cepat dan cergas karena mengutamakan asas independensi kekuasaan kehakiman, ius curia novit (hakim dianggap mengetahui hukum), dan prinsip-prinsip keadilan. Secara relatif, kekuasaan peradilan Indonesia pun telah dirancang meninggalkan posisinya sebagai sekadar corong undang-undang. Dengan kata lain, hakim cukup otoritatif untuk membentuk hukum dengan daya ikat selayaknya peraturan perundang-undangan. 

Ironisnya, MK sendiri merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berkontibusi besar dalam progres penguatan kedudukan konstitusional masyarakat adat melalui putusan-putusannya. Yang mutakhir adalah lahirnya keputusan-keputusan atas pengakuan hutan adat sebagai respon atas Putusan MK No. 35/PUU-IX/2012 yang membatalkan pereduksian hutan adat sebagai bagian dari hutan negara. Hal ini mencerminkan betapa pranata peradilan justru memiliki wewenang dan kapasitas untuk merespon perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat dengan lebih cepat dibandingkan sistem pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengandalkan kekuasaan eksekutif dan legislatif.

Problematika Onto-Antropologis Konsep Modernitas

Apabila ditelisik lebih lanjut ke level onto-antropologisnya, yang agaknya turut berkontribusi terhadap rumusan “sesuai dengan perkembagan masyarakat” dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 adalah cara pandang yang justru ketinggalan zaman dalam melihat konsep “modernitas”.

Dalam salah satu seminar, Yance Arizona pernah mendalilkan bahwa modernitas sejatinya tidak berada dalam sebuah rangkaian (kontinum) yang membagi sejarah dalam babak-babak. Alih-alih, tradisionalitas justru dapat hidup berdampingan dengan modernitas itu sendiri. Hal ini juga sejalan dengan qiyas terhadap pendapat antropolog Talal Asad. Dalam pengamatannya terhadap kegagalan sekularisme, Asad menilai para pemikir Barat telah keliru menempatkan pranata-pranata sosial seperti agama sebagai sesuatu yang akan ditinggalkan seiring dengan perkembangan akal budi manusia.

Cara pandang klasik memang menempatkan modernitas dalam poros fenomena individuasi dan rasionalisasi. Disebut individuasi, karena dalam proses modernisasi manusia dianggap niscaya akan berpaling dari identitas-identitas komunalnya. Sementara rasionalisasi berarti pembebasan manusia dari ketaklukan atas hal-hal yang tak dapat ia nalar. Modernisasi justru berorientasi penaklukkan terhadap alam. Dalam banyak literatur, kedua elemen tersebut justru dianggap sebagai hal yang absen dalam kehidupan masyarakat adat. Masyarakat adat kerap diidentikkan sebagai komunitas berbasis hubungan magis-religius.

Namun demikian, keberhasilan pranata-pranata tradisional melampaui berbagai zaman hingga era kiwari, menurut Asad, mengharuskan kita merumuskan ulang makna “modern”. Modern harus dilihat sebagai sebuah subsistem yang menyusun sistem besar bernama “Masyarakat”. Di sisi-sisinya juga eksis kategori subsistem lainnya, termasuk masyarakat adat. Alih-alih keniscayaan, modernitas justru harus dipandang sebagai pilihan yang arbitrer dan dipengaruhi berbagai faktor sosiologis.

Soetardjo Kartohadikoesoemo juga sejatinya telah sejak lama mengingatkan kerentanan kita untuk terpukau pada konsep kemajuan a la Barat. Nilai-nilai yang tidak sesuai dengan realitas sosial masyarakat Indonesia kemudian dipindahkan secara paksa ke dalam konstitusi, produk-produk hukum turunannya, dan berujung pada kebijakan sepesifik pemerintah mengenai masyarakat adat. Alih-alih memuluskan integrasi masyarakat adat ke dalam tatanan konstitusional, pola ini justru lebih banyak berujung pada gerakan perlawanan, baik melalui jalur litigasi dan non-litigasi. Akibatnya, hubungan negara dan masyarakat adat justru asimetris.

Penilaian ketidaksesuaian dengan perkembangan masyarakat dapat berujung pada tuduhan berat lainnya, yaitu sikap anti pembangunan. Situasi ini mengingatkan kita pada politik hukum di balik label peyoratif “masyarakat terasing” di masa Orde Baru. Label ini dikenakan kepada masyarakat adat yang masih menjalani gaya hidup yang dianggap tradisional dan primitif oleh rezim. Dalam susunan masyarakat Indonesia, Koentjaraningrat mendudukkan mereka sebagai golongan terpinggirkan setelah orang Indonesia asli dan warga negara hasil kawin campur. “Masyarakat Terasing” ini dicurigai sebagai mereka yang menolak pembangunan dan kemajuan a la Orde Baru. Kecurigaaan itu mendorong negara untuk mengarahkan perhatian khusus terhadap mereka, seperti melalui program “Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing” berwujud permukiman kembali masyarakat adat ke luar habitat tradisionalnya.

Oleh karena itu, negara perlu mengevaluasi ulang model-model yang dipilihnya dalam mengakui masyarakat adat. Rumusan-rumusan yang kabur maknanya, seperti “kesesuaian dengan perkembangan masyarakat,” perlu ditinggalkan. Apalagi jika frasa-frasa tersebut dijadikan sebagai prasyarat bagi pengakuan masyarakat adat, tanpa diimbangi dengan perincian hak-hak konstitusional mereka. Dengan pengakuan secara gamblang dan tidak setengah-setengah, masyarakat adat diharapkan akan mempersatukan kepingan-kepingan puzzle kebangsaan Indonesia yang tak kunjung selesai itu. (*)

* Arasy Pradana A Azis
Peneliti isu-isu sosiolegal, Ketua bidang Hukum dan HAM Pengurus Besar Himpunan Pelajar Mahasiswa Indonesia Gorontalo (PB HPMIG)