Tolare, Bentuk Legitimasi Bukan Marjinalisasi!

Jakarta, www.gaung.aman.or.id – Tolare merupakan istilah yang sering didengar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat yang mendiami lembah Palu, Sulawesi Tengah. Sayangnya, istilah ini kerap disalahartikan, khususnya oleh orang luar yang bukan penduduk lembah Palu. Dengan kata lain, pandangan yang merujuk negatif ini adalah bentuk diskriminasi.

Penulis yang tidak sependapat dengan pandangan miring tersebut bermaksud memberikan dua klasifikasi tentang Tolare yaitu legitimasi dan marjinalisasi. Legitimasi ialah sebagai bentuk pengakuan, sementara marjinalisasi adalah stigma buruk dalam memahami Tolare.

Tolare terdiri dari imbuhan To dan kata Lare. To adalah sebuah penguatan/penekanan  tentang orang atau kelompok tertentu yang menjadi subjek. Misalnya To Kaili yang berarti orang Kaili, To Kulawi bermakna orang Kulawi dan sebagainya. Tetapi dalam konteks penyebutannya, Tolare berbeda dengan To Kaili dan To Kulawi. Tolare bukanlah sebuah identitas suku seperti Kaili dan kulawi. Istilah ini pendekatannya pada sisi geografis. Lare, di sisi lain berarti dataran tinggi atau pegunungan.  Dengan demikian, terminologi Tolare adalah orang/kelompok masyarakat adat yang mendiami dataran tinggi/pegunungan yang bersuku Kaili.

Dewasa ini penyebutan Tolare harus disikapi dengan bijak karena berdasarkan penjelasan di atas, maka istilah itu adalah sebagai bentuk pengakuan atau legitimasi bahwa Tolare adalah penduduk asli yang mempunyai sejarah asal-usul di wilayah adatnya. Selain itu juga, Tolare menjadi bentuk marjinalisasi karena dianggap jauh dari kemajuan, terisolir dan dianggap suku terasing.

Penulis mengajak pembaca agar memaknai Tolare secara bijak. Di sisi lain, masyarakat adat yang mendiami pegunungan yang dikenal dengan Tolare itu harus bangga, sebab itu merupakan bentuk legitimasi terhadap identitas mereka.

Tulisan ini bukan bermaksud untuk membentuk opini yang bersifat primordialis. Lebih dari itu tujuannya adalah mengajak pembaca agar kita wajib bangga dengan identitas dan tempat kita bermukim. Penulis juga memandang bahwa Tolare bukan hanya orang Kaili yang bermukim di pegunungan, melainkan juga yang saat ini sudah mendiami lembah Palu. Alasannya adalah leluhur  mereka (Tokaili) juga berasal dari pegunungan. Namun, sering berjalannya waktu terjadilah nomaden hingga akhirnya masyarakat adat Kaili mendiami teluk Palu.

Berdasarkan sejarah lisan yakni tuturan orangtua yang mengatakan bahwa awalnya lembah Palu merupakan hutan belantara yang tak berpenghuni. Seiring berjalannya waktu masyarakat di pegunungan akhirnya turun gunung.

Nah, untuk mengidentifikasi suku Kaili menurut pembagian wilayahnya juga bisa dilakukan berdasarkan jenis bahasa yang digunakan. Sub-etnis Ledo banyak dijumpai di Kabupaten Sigi, sub-etnis Rai ada di Mamboro, Tawaili dan sebagian besar di pantai barat Kabupaten Donggala. Sub-etnis Tara berada di kelurahan Tondo, Talise dan Tanamodindi. Sub-etnis Unde berada di pesisir bagian barat kota Palu hingga di Banawa, Kabupaten Donggala. Sub-etnis Da’a sebagian besar berada di Kabupaten Sigi. Persebarannya juga sampai di Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat.   

Semua sub-etnis tersebut menjadi satu kesatuan dalam suku Kaili.

Dokumentasi: Arman Seli

Identifikasi ini merupakan pemetaan sosial berdasarkan sub-etnis terkait keberadaan suku Kaili. Jika dilihat dari letak geografis, hal itu  memperkuat argumentasi bahwa suku Kaili secara keseluruhan berasal dari dataran tinggi, karena sub-etnis yang disebutkan di atas bermukim tidak terlalu jauh dari pegunangan. Besar kemungkinan ada proses perpindahan pemukiman oleh leluhur suku Kaili dari pegunungan ke lembah Palu.

Tulisan ini tidak menggunakan metodologi yang ketat layaknya karya ilmiah, tetapi hal penting adalah sebutan Tolare memberikan penjelasan  sebagai bentuk legitimasi. Saat ini kita harus lebih progresif dalam berpikir sehingga istilah Tolare tidak lagi menjadi bentuk marjinalisasi. Potensi konflik bagi seseorang  yang disebut Tolare sangat besar karena masih menganggap istilah Tolare masih dianggap sebagai bentuk ketidakmajuan atau primitif oleh masyarakat tertentu. Jadi, mindset itu harus diubah dan lebih menyatukan presepsi bahwa Tolare adalah sebuah identitas masyarakat adat Kaili di lembah Palu.

Tolare mengarah pada keaslian dalam konteks ke-Kaili-an. Sekali lagi, tulisan ini tidak mengarahkan pembaca menjadi seorang yang fanatik terhadap suku tetapi hanya ingin memberikan argumentasi agar tidak lagi pandangan miring atau bahkan hinaan terhadap istilah Tolare di tengah pergaulan sosial masyarakat di lembah Palu.

Karena itu sangat mendesak adanya pengakuan terhadapseseorang atau kelompok di masyarakat yang mempunyai sejarah asal-usul di tempat ia bermukim. Sedangkan istilah-istilah yang berdampak pada perseteruan dan saling merendahkan sepatutnya diakhiri. Akhir kata, penulis mengajak kita semua memahami Tolare sebagai bentuk legitimasi dan bukan diskriminasi bahkan marjinalisasi.

Arman Seli