Hutan Adat di Kabupaten Sorong

Sorong, www.gaung.aman.or.id – Kota Sorong atau yang lebih dikenal dengan sebutan kota minyak, di mana Nederlands Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM) mulai melakukan aktivitas pengeboran minyak bumi di sorong sejak tahun 1935. Sorong merupakan kota terbesar di daerah kepala burung (vogel koop) yang dikenal dengan sebutan Provinsi Papua Barat sekaligus kota terbesar kedua di Papua setelah Jayapura.

NNGPM merupakan salah satu perusahaan besar di dunia yang dimiliki pemerintah Hindia Belanda. Perusahaan ini bergerak pada penambangan dan minyak (minyak bumi dan gas/migas). Kemudian pada tahun 1950/7 sahamnya dijual ke Permina kini PT. Pertamina.

Pada 2000-an, dikenal dengan periodik perkebunan (perkebunan kelapa sawit). Perkebunan kelapa sawit ini berada dalam kawasan tanah adat atau wilayah adat. Alasan mengapa saya bilang perkebunan di dalam kawasan tanah adat wilayah adat, karena merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 B ayat 2. Paska amandemen kedua di dalam pasal tersebut juga berbicara tentang pengakuan dan reclaiming dan mengakui suatu keberadaan masyarakat hukum adat (Pasal 18 B ayat 2, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang).

Kemudian Putusan MK nomor 35/PUU-X/2012 menegaskan kembali bahwa hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah Masyarakat Adat, dan bukan lagi sebagai hutan negara. Hal ini juga dijamin oleh UU 21 tahun 2001 tentang OTSUS BAB XI yang membahas tentang “Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat”. Selain UU OTSUS, pada tahun 2018 lahir pula Perdasus Nomor 21, 22, 23 yang  mengklaim wilayah Papua adalah wilayah adat.

Di Kabupaten Sorong sendiri ada satu regulasi yang mengatur yaitu Perda No.10 tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong. Yang kemudian secara riil mengklaim bahwa wilayah Moi itu diatur secara stuktural melalui mekanisme-mekanisme aturan itu sendiri.

Nah mengapa tadi saya bilang investasi ada di wilayah adat karena negara sendiri memberikan pengakuan dan jaminan melalui peraturan dan mekanisme aturan undang-undang bagi Masyarakat Adat. Kemudian sekarang bagaimana proses-proses pelecehan terhadap konstitusi itu dilakukan oleh para penegak hukum yang kemudian mengeluarkan aturan-aturan itu bisa saja kita bilang bahwa Kabupaten Sorong merupakan wilayah industri.

Mengapa saya bilang begitu? Karena hari ini proses investasi masih masif di wilayah Kabupaten Sorong. Ada perkebunan, minyak, gas, tambang, dan bahkan di tahun 2016 Kemenko (Kementrian Perekonomian) meresmikan kawasan ekonomi khusus (KEK) yang kemudian penetapannya ada di distrik Mayamuk dengan luas areal sekitar 500 Ha yang diperuntukkan untuk suplai logistik, tambang batu bara, gas, perkebunan dan perikanan air laut. Semua itu berada di dalam Kabupaten Sorong yang hari ini dkenal dengan wilayah Suku Moi itu sendiri.

Saya sedikit mengutik ke belakang. Bahwa jauh sebelum investasi itu, ada masyarakat Suku Moi sudah sangat jauh sekali bergantung pada pada alam, hutan, dusun, kali/suangi tempat di mana dia berada. Karena menurut filosofi orang Moi sendiri bahwa hutan, dusun atau wilayah adat itu adalah mama bagi orang Moi. Mengapa disebut mama? Karena hutan memberikan kehidupan bagi orang Moi dan memberikan semua hal yang orang Moi butuhkan.

Ketika dia butuhkan sagu, dia akan pergi ke dusun. Ketika dia membutuhkan sayur dia ke hutan, ketika dia butuhkan ikan akan pergi mancing. Ketika dia butuh daging dia ke hutan untuk berburu, ketika dia butuh obat ada obat-obatan di dalam hutan yang sudah tersedia. Ketika dia butuh keindahan dia ke hutan untuk melihat anggrek yang memiliki nilai estetika yang menarik, melihat burung cenderawasih dan melihat hal-hal lain yang menarik dalam hutan.

Tetapi hari ini, investasi telah mengubah semua hal yang kaya di atas wilayah adat itu kemudian diubah menjadi perkebunan monokultur. Mengapa saya bilang monokultur, dari tanaman yang begitu beragam di dalam wilayah adat kemudian dirombak menjadi suatu jenis tanaman yaitu perkebunan kelapa sawit.

Perkebunan kelapa sawit ini bentuknya monokultur, artinya mengubah keberagaman menjadi satu dan kemudian siapa pun yang berada di dalam perkebunan monokultur adalah hama. Dalam teori ilmu pertanian, disebut hama itu seperti binatang di hutan (babi, tikus). Jadi semua manusia yang ada di perkebunan kelapa sawit itu dibilang babi atau tikus.

Ini sesuatu hal yang menurut saya ada hal yang salah di dalam pandangan. Kemudian melihat bagaimana dari proses NNGPM yang kemudian dipelopori oleh VOC. Tetapi bagaimana perkebunan sampai dengan hari ini tidak ada satu dampak signifikan bagi orang Moi itu sendiri.

Kenapa saya mengatakan demikian? Karena sampai dengan hari ini ketika kita telusuri berapa banyak profesor yang orang Moi, berapa doktor? Berapa sarjana (S1) orang Moi, berapa Master (S2), berapa dosen, berapa guru dan lain-lain. Berapa rumah sakit yang kemudian menjamin hak orang Moi mengakses kesehatan gratis? Berapa pendidikan yang kemudian mengakses hak orang Moi itu gratis dan lain-lain.

Sampai dengan hari ini investasi yang sudah marak terjadi di atas wilayah ini kemudian diperuntukkan sebagai wilayah industri. Akses dan pengakuan hak itu selesai secara teori hukum. Tetapi kemudian implementasi di lahan itu tidak menjamin substansi dari objek-objek awal Masyarakat Adat Moi.

Di sini saya ingin kritik dan menegaskan bahwa negara sebagai wadah yang bertanggung jawab penuh terhadap kemakmuran rakyat, kedaulatan rakyat harus ada suatu proses yang dilakukan.

Pertama, membentuk tim panitia khusus (pansus). Entah itu dari DPR RI Komisi V ataupun DPD RI ataupun lahir dari DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten. Untuk kemudian peninjauan ulang terhadap semua izin investasi di atas kepala burung untuk direvisi. Apakah izin-izin tersebut sudah sesuai prosedural.

Kedua, ketika ada izin bermasalah, silakan dicabut. Dan kemudian perusahaan yang sudah beroperasi, tapi tidak sesuai prosedural harus diproses sesuai hukum yang berlaku.

Ketiga, bagaimana proses-proses pergantian ganti rugi kepada Masyarakat Adat itu sendiri.

Keempat, bagaimana Masyarakat Adat Suku Moi yang memiliki 8 sub suku Moi, yang memiliki wilayah adat untuk menjadi tuan di atas tanah yang sudah diberikan Tuhan kepada mereka. Yang saksinya tulang belulang di atas tanah adatnya.

Feki YW Mobalen

Ketua BPH AMAN Sorong Raya