Muara Tae, 10 Februari 2015. Staf kerja Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur Vivi mengatakan kebijakan pemerintah memberikan izin lahan tambang dan sawit sebagai bentuk pengingkaran terhadap pelestarian hutan dan adat di Kutai Barat (Kubar).”Apalagi adat dayak di Kubar sangat terjaga dengan baik,” ujarnya, “Secara budaya semuanya masih terkontrol.Termasuk penjagaan kawasan hutan adat untuk selalu dipertahankan.”
Dampak industrialisasi tambang dan sawit yang masuk secara massif dalam beberapa tahun belakangan ini telah menyebabkan harmonisasi kampung Muara Tae tercabik cabik secara horizontal.Terutama perebutan garis tapal batas oleh kedua kampung.Semuanya berasal dari industri perkebunan sawit. Padahal pemerintah telah menegaskan untuk selalu menjaga kawasan hutan adat melalui berbagai program seperti REDD.
Dipilihnya sumpah adat sebagai alternative dalam menyelesaikan konflik tapal batas karena jalur hukum telah dilakukan dan hasilnya tidak memberikan rasa keadilan bagi Muara Tae. Melalui PTUN di Samarinda, gugatan untuk menggugat SK Bupati ditolak hingga pada tingkatan banding. Begitu pula pada saat laporan ke Polda Kaltim dalam laporan tindak pidana, juga tidak diproses bahkan kasus ini dikembalikan ke Polres Kutai Barat untuk diselesaikan.
“Ini satu satunya jalan dilakukan karena memang sudah tidak ada lagi jalur lain.PTUN di Samarinda ditolak, Kepolisian juga seperti itu. Ini jalan satu satunya untuk mencari kebenaran warga Muara Tae,”jelasnya.
Sementara itu, aktivis Telapak Ambrosius Ruwindrijarto mengatakan upacara sumpah adat sebagai bentuk untuk mempertahnkan kelestarian hutan yang merupakan bagian dari program REDD, kendati hutan adat di Muara Tae tidak masuk dalam program REDD.“Ini adalah bentuk warga mempertahankan hutan dari kepungan tambang dan sawit dan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca,”tuturnya. (reportase IGG Maha Adi, SIEJ)