Perjuangan panjang Komunitas masyarakat adat Keturunan Oppu Ronggur Simanjuntak untuk mendapat pengakuan dan perlindungan dari pemerintah masih terus berlangsung. Perjuangan sejak tahun 2004 yang dipimpin oleh seorang tetua bernama Barusel W. Simanjuntak atau yang akrab disapa W.B.S masih terus berkobar hingga kini.
“Harus tetap kita perjuangkan, karena ini adalah tanah warisan dari leluhur kita Oppu Ronggur Simanjuntak,” pesan W.B.S kepada seluruh anggota komunitas yang kurang lebih berjumlah 135 kepala keluarga. Umur yang semakin tua tidak menyurutkan semangat juangnya. Semangat berjuang selalu ditekankannya kepada kaum muda untuk tetap membangun dan memelihara kebersamaan serta kekeluargaan.
Walaupun kakinya tidak terlalu kuat untuk berjalan kaki, namun W.B.S masih tetap turun ke lahan Huta Aek Napa, Kec. Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara. Dengan menggunakan tongkat dan dibantu para pemuda W.B.S tidak kesulitan untuk bergabung bersama anggota komunitasnya turun langsung ke wilayah adat Huta Aek Napa. Semangatnya melampaui kekuatan fisiknya yang sudah berumur 77 tahun.
Pensiunan guru ini masih terus terjun atau terlibat aktif dalam setiap upaya perjuangan yang dilakukan komunitasnya. Dalam setiap kesempatan dialog bersama pemerintah dan DPRD kabupaten bahkan sama pihak kepolisian daerah setempat W.B.S (sering juga dipanggil Oppu Lamhot) hingga kini masih terus dibarisan terdepan. Demikian juga pada saat melakukan aksi unjuk rasa bersama dengan keturunan Oppu Ronggur Simanjuntak lainnya beliau tidak segan berorasi di bawah teriknya panas matahari. Baginya perjuangan atas tanah adat Huta Aek Napa warisan leluhur tidak boleh berhenti sampai akhir hidupnya.
Di tengah ketidakpastian perjuangan dan waktu yang tidak singkat komunitas masih terus dapat bersatu dibawah kepemimpinannya. Faktor umur yang semakin lanjut dan kesehatan fisik mendorong untuk regenerasi kepemimpinan dari W.B.S kepada anggota lainnya di komunitas. “Karena umur dan kesehatan sudah selayaknya saya diganti, pergerakan saya sudah terbatas pada saat rapat atau diskusi apalagi dilakukan pada malam hari” tuturnya kepada kontributor Gaung AMAN online pada suatu saat di rumahnya. Hal pengunduran diri dari ketua sudah disampaikan kepada anggota komunitas pada saat melakukan pertemuan kampung. Namum tidak ada seorangpun yang menyetujuinya. Anggota komunitas keturunan Oppu Ronggur Simanjuntak justru berharap bahwa perjuangan harus menang dibawah kepemimpinannya.
Seolah tidak pernah lelah dalam perjalanan panjang, demi mendapatkan pengakuan dan perlindungan tanah adat dari pemerintah, W.B.S tetap setia memimpin komunitasnya. Ternyata pada saat mengabdi sebagai tenaga pendidik di sekolah, beliau juga pernah menjabat sebagai kepala sekolah. Demikian juga di tengah-tengah warga gereja juga pernah ditetapkan sebagai uluan huria (pemimpin satu gereja) di gereja HKI (Huria Kristen Indonesia) Siparendean, kecamatan Sipahutar, kabupaten Tapanuli Utara. Ketulusan dan kesetiaan dalam kepemimpinannya menjadikan komunitas keturunan Oppu Ronggur Simanjuntak tidak pernah ragu apalagi surut untuk berjuang melawan perampasan tanah adat yang dilakukan oleh PT. Toba Pulp Lestari Tbk. Sejak awal perusahaan bubur kertas tersebut memasuki wialyah adat Huta Aek Napa, W.B.S bersama komunitasnya keturunan Oppu Ronggur Simanjuntak telah mengajukan keberatan kepada pemerinah dan perusahaan. Keberatan disampaikan langsung kepada pihak perusahaan yang turun langsung ke lahan untuk menanam eukaliptus (bahan baku perusahaan) serta kepada pemerintah dan DPRD kabupaten Tapanuli Utara.
Demikian juga pengaduan telah disampaikan kepada pihak kepolisian, akan tetapi kepolisian lebih cepat merespon pengaduan yang disampaikan oleh pihak perusahaan. Pembakaran pondok yang diadukan oleh komunitas masyarakat adat tidak pernah mendapat tindak lanjut dari pihak kepolisian. Yang terjadi malah sebaliknya. Warga yang diadukan oleh perusahaan dengan tuduhan merusak tanaman milik perusahaan langsung dipanggil oleh polisi untuk dimintai keterangan di mapolsek setempat.
Tidak hanya dalam membuat pengaduan kepada polisi, menghadapi panggilan polisipun W.B.S hampir tidak pernah absen. Sama halnya pada saat mengikuti setiap pertemuan kepada pihak-pihak terkait tetua lanjut usia itupun selalu cepat menggerakkan kakinya sekalipun terkadang harus dibantu tongkatnya. Baginya tidak cukup sebenarnya hanya berjuang, tapi harus tetap semangat mengelola lahan untuk mendapatkan hasil. “Tidak cukup bagi kita hanya semangat berjuang tapi harus semangat juga mengelola tanah ini untuk mendapatkan hasilnya” tegasnya pada saat diskusi di tanah adat Huta Aek Napa pada 13 Januari 2015 yang lalu.***