Dalam acara “Siapa Lagi Kalau Bukan Kita” yang berlangsung di Galeri ANTARA di bilangan Pasar Baru (13/3/2015) Tim AMAN sempat mewawancarai Sandra Moniaga anggota Komisioner Komnas HAM yang menjadi pembicara dalam acara tersebut. Berikut wawancara dengan beliau.
AMAN; Ibu Sandra Moniaga bisa menerangkan apa saja temuan penting dalam pelaksanaan Inkuiri Nasional lalu itu?
Sandra Moniaga; Temuan penting kami dalam Inkuri penyebab utamanya adalah tidak diakuinya hak-hak masyarakat adat akan wilayah adatnya. Selain itu kami menggali akar masalah dari pelanggaran HAM, baik soal tanah yang muncul dari temuan itu daftar hak asasi yang kami duga dilanggar dari hak ekonomi sosia budaya sampai hak politik, sampai ke hak masyarakat adat yg lebih spesifik berdasarkan UNDRIP.
Lebih jauh Sandra menjelaskan bahwa Hak asasi sendiri belum dipahami secara menyeluruh oleh banyak pihak, dan yang menjadi akar masalah adalah masih minimnya dan tidak konsistennya hukum dalam pengakuan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat.
Misalnya Regulasi dalam undang-undang tentang kehutanan UU 41 baru terakhir mengakui itupun setelah dikoreksi Mahkamah Konstitusi, pada aslinya undang-undang itu menyebut hutan adat adalah hutan negara. Itu satu indikasi bahwa negara tidak mengakui bahwa hutan adat adalah milik masyarakat adat. Tapi untuk waktu yang begitu lama baru Putusan MK No 35/ PUU-X/2012 yang mengoreksi secara mendasar. Ini contoh bahwa undang-undang juga tidak konsisten dan tidak cukup melindungi.
Yang ke dua karena tidak ada penghormatan dan perlindungan itu, negara juga tidak pernah memfasilitasi masyarakat adat memetakan dan menetapkan batas-batas wilayah adat. Setelah masyarakat melakukan pemetaan partisipatif baru mulai ada, tapi sebelumnya tidak ada. Kalaupun ada belum tentu ada patok batas-batas wilayahnya, sehingga tiba-tiba di sana sudah ada perusahaan lain, itupun tidak bisa diganggu-gugat.
Untuk hak ekonomi sebagai contoh adalah hak pekerjaan, hak atas properti. Hak kebudayaan itu terkait juga atas kebebasan untuk mengembangkan budayanya. Misalnya masyarakat punya ritual-ritual tidak bisa dilakukan lagi karena wilayah atau hutannya sudah dikuasai oleh pihak lain.
Kalau hak Sipol itu banyak sekali, mulai dari hak hidup, hak bebas dari penyiksaan. Yang paling mengerikan itu kasus Colol, dan itu udah diteliti Komnas juga, karena terjadi penembakan.
Yang terakhir itu hak rasa aman yang paling terasa, dari semua kasus yang kami dengar kemudian hak perempuan. Hak perempuan itu berlapis, ketika mereka tidak mendapat cukup pangan, ketika mereka tidak bisa lagi mendapatkan cukup obat-obatan, ketika mereka tidak cukup lagi mendapat bumbu-bumbu masakan, mereka sudah tidak bisa juga tampil sebagai perempuan.
“Yang lain adalah beban tambahan kamum perempuan atau Ibu ketika suaminya ditangkap, saat membela hak-haknya sebagai masyarakat adat, si perempuan mendapat beban yang luar biasa dan dalam beberapa kasus terjadi juga pelecehan seksual,” papar Sandra Moniaga menutup pembicaraan. ***Tim AMAN