Jakarta 13/5/2015 – Sebagaimana diberitakan beberapa media nasional, telah terjadi penggusuran terhadap Suku Anak Dalam Bathin IX (SAD) oleh tim gabungan Polres Batanghari, Satuan Polisi Pamong Praja Batanghari dan Komando Distrik Militer 0415 (Sabtu 8/4/2015). Warga SAD digusur dari tanah adatnya sendiri karena beralih fungsi menjadi kebun sawit perusahaan swasta di Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi.
Untuk menjelaskan duduk perkara antara Bathin IX dengan PT Asiatic Persada (PT AP) lima orang utusan dipimpin oleh Pak Nurman bin Nuri berkujung ke rumah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di bilangan Tebet Timur Dalam (13/5/2015). Pak Nurman menyampaikan bahwa pada tahun 2010-2011 telah dibentuk Tim Mediasi (Setara, Sawit Watch, RSPO, CAPA, AGRA dll ) untuk menyelesaikan persoalan ini. Saat itu PT AP mengaku bahwa di atas lahan garapan mereka terdapat hak masyarakat (kuburan dan lahan yang masih digarap dan akan dilakukan enclave (mengeluarkan dari konsesi HGU) PT AP. Untuk memperkuat Tim Mediasi, Gubernur Jambi mengeluarkan surat No: / SPT/ SETDA. EKBANG-4.2/IV/2012 Gubernur Jambi.
Tepat tanggal 1 Agustus 2012 Tim Medisi Gabungan antara lain DPD RI, Komnas HAM, Kemenhut, BPN Provinsi Jambi, Pemkab Batanghari menyepakati pengukuran ulang lahan seluas 3.550 hektar untuk (enclave) dilepaskan sebagai hak SAD Bathin IX, hal ini disetujui BPN Provinsi dan PT AP.
Sayangnya kesapakatan tersebut tidak pernah dijalankan oleh PT AP meskipun pemerintah Provinsi Jambi telah mengeluarkan surat peringatan kepada perusahaan sawit itu agar mematuhi kesepakatan yang telah dibuat secara bersama. Ketidakpatuhan PT AP ini membuat BPN Provinsi Jambi berang hingga merekomendasikan agar HGU PT AP ditinjau ulang.
Namun April 2013 keluar pernyataan dari PT AP, tidak bertanggung jawab atas proses mediasi Joint Mediation Team yang direstui Gubernur Jambi tersebut, lalu membentuk Tim Terpadu penyelesaian konflik pada tingkat Kabupaten Batanghari. Maret 2014 tiba-tiba PLT, Bantang Hari menerbitkan SK 180 tentang nama-nama SAD dan peta lokasi lahan 2000 hektar.
“Sejak pembentukan tim terpadu kabupaten hingga menerbitkan SK 180 warga SAD Bathin IX tidak pernah dilibatkan,” terang Pak Nurman. Nama-nama yang ada dalam daftar SK 180 itu juga bukan warga Bathin IX, mereka adalah pendatang dari kota Jambi dan Palembang. Disamping itu, lokasi 2000 hektar yang ditawarkan bukan wilayah hak kami, mana mungkin kami terima,” kata Pak Nurman.
“Sebenarnya pada tahap awal mediasi pihak PT AP sudah mengakui keberadaan dan hak masyarakat adat Bathin IX. Ada 8 dusun tempat bermukim SAD Bathin IX sejak jaman Belanda berdasarkan peta 25 Oktober 1927 Residen Palembang) yaitu Pinang Tinggi, Padang Salak, Tanah Menang, Marung Tengah, Markanding, Tanjung Lebur, Seberuang dan Penyerukan berada wilayah seluas 3.550 hektar yang semula dijanjikan. Bukan di Mentilingan dan Durian Dangkal lokasi lahan 2000 Ha yang dimaksud SK 180 itu,” papar Nurman.
“Pak Nurman mengharapakan agar persoalan ini dapat diselesaikan secara menyeluruh yaitu 3.550 hektar rekomendasi Joint Mediation Team yaitu pengukuran ulang lalu di enclave, agar SAD Bathin IX bisa tenang dan kembali bertani di atas tanah yang memang sudah menjadi hak kami,” katanya. Dia juga menegaskan bahwa SAD Bathin IX bukan Orang Rimba. “Hingga saat ini pihak PT AP tak pernah menujukkan peta lokasi HGU PT AP pada kami,” Nurman menambahkan
November tahun lalu Norman bersama 71 orang kawan-kawannya melakukan long march dari Jambi ke Jakarta, meminta pengakuan pemerintah atas hak wilayah adat mereka. 63 orang sudah kembali ke Batanghari, satu orang wafat dalam perjalanan ***JLG