Refleksi Dua Tahun Putusan MK 35/PUU-X/ 2012 Epistema Institute
Jakarta 15/5/2015 – “Narasi yang paling penting dari Putusan Mahkamah Konstitusi 35/PUU-X/ 2012 “Selama ini telah terjadi pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat,” kata Yance Arizona Manager Hukum dan Masyarakat Epistema Institute dalam acara “Refleksi Dua Tahun Putusan MK 35” di Jatipadang Raya 25 (Epistema Institute) (15/5/2015)
Lebih jauh Yance memaparkan pernyataan pengabaian ini sebagai sebuah koreksi terhadap perilaku dan juga peraturan yang ada, khususnya undang-undang kehutanan yang bersifat diskriminatif terhadap masyarakat adat. Itu yang dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi, pernyataan dari sebuah lembaga peradilan tertinggi di Indonesia, menentukan mana konstitusional dan mana yang tidak. “Itu sebuah pengakuan sebenarnya, bahwa telah terjadi satu kesalahan yang menimbulkan hak-hak masyarakat adat terlanggar,” ujar Yance
Penegasan Sebagai Subjek Hukum
“Mahkamah Konstitusi juga memperkuat kedudukan masyarakat adat sebagai penyandang hak atau subjek hukum. Kedudukan masyarakat adat sebelum keputusan MK tidak dipandang sebagai entitas atau subjek hukum. Sebagai subjek hukum masyarakat adat memiliki hak dan kewajiban. Ketika terjadi pelanggaran hak masyarakat adat itu terjadi pelanggaran hukum dan Mahkamah Konstitusi menegaskan itu,” papar Yance. “Selama ini yang mempunyai hak dan kewajiban itu individu dan badan hukum seperti yayasan, ormas, koperasi, perusahaan. Masyarakat adat itu satu kwalifikasikan tersendiri sebagai subjek hukum lain yang berbeda dengan badan hukum, berbeda dengan negara, MK menegaskan ini,” Yance memaparkan lebih jauh. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara bersama komunitas masyarakat adat mengajukan permohoan ke MK untuk menghapus kata negara, dalam UU No 41 thn 1999 dan itu dikalbukan MK. Kata negara tidak lagi eksis dalam undang-undang kehutanan. Sehingga bunyinya berubah menjadi – Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat
Kembalikan Hutan Adat
“Kalau sebelumnya hutan adat itu adalah hutan negara, setelah putusan MK, hutan adat itu ya hutan masyarakat adat,” imbuh Yance Telah banyak hutan-hutan masyarakat adat itu diklaim secara sepihak oleh menteri kehutanan dijadikan kawasan hutan negara. Oleh karena itu tindakan yang perlu dilakukan adalah mengembalikan hutan-hutan masyarakat adat yang sudah terlanjur secara sepihak, ditetapkan oleh negara sebagai hutan negara. Begitu ada keputusan MK yang pertama dilakukan mestinya kembalikan hutan masyarakat adat. MK juga menyebutkan
hutan adat itu masuk dalam kategori hutan hak, dikeluarkan dari hutan negara. MK mempertegas antara tanah dan hutan secara vertikal, sebab selama ini yang punya hak di atas tanah dan yang punya hak di bawahnya itu berbeda. MK memutuskan melekat ke atas, keterkaitan antara tanah dan hutan adat itu melekat. Yang punya wilayah dialah yang punya hutan di atasnya.
Respons Pemerintah Terhadap Putusan MK
Ada empat lembaga pemerintah yang merespons keputusan MK 35 yaitu KLH-K, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agraria-Tata Ruang – Kepala BPN dan Komnas HAM. Respons pemerintah ini bisa positif, bisa negatif. Pertama Kemenhut kini menjadi KLH-K ada UUP3H tentang pencegahan dan perusakan hutan ini termasuk
respons negatif terhadap Putusan MK. ternyata tidak menyasar kepada koorporasi tetapi terhadap masyarakat kecil. UU-P3H dikeluarkan tidak berapa lama sesudah putusan MK, UU No 18 tahun 2013 untuk mencegak kerusakan hutan. Intinya adalah kriminalisasi, niat awalnya menjerat koorporasi. Kehutanan juga melempar bola panas ke tangan Pemda untuk membuat Perda.
Lalu ada Kemendagri dengan SE Mendagri No: 552/8900/S J (30 Des 2013) tentang pemetaan sosial masyarakat adat, juga membuat friksi baru dengan memasukan kerajaan, keraton dan kesultanan sudah bertentangan dengan semangat RUUPPHMA . Memasukan wilayah keraton menjadi wilayah adat padahal sudah jelas tanah keraton masuk Sultan Ground. Ada alokasi 12, 7 juta hektar untuk social forestry dan hutan adat dalam MPJMN. Permenhut No P/62/2013 tentang pengukuhan kawasan hutan telah dan SE Mendagri telah salah memaknai putusan MK. Karena dalam putusan MK 35 hutan adat statusnya telah ke luar dari hutan negara. Adanya peraturan bersama empat kementerian tentang tata cara penyelesaian penguasaan tanah yang berada dalam kawasan hutan dengan sertifikat komunal serta berbagai permasalahannya.
Inkuiri Nasional Komnas HAM mengambil sample 40 kasus lokasi Inkuri menemukan fakta dan membangun kesadaran.
Menurut catatan Epistema Institute ada 91 produk hukum daerah, 108 lokasi produk hukum seperti SK Bupati, peraturan level provinasi dan peraturan gubernur yang bersinggungan dengan masyarakat adat, semua itu masih inisiasi, belum masuk Prolegda dan dibahas DPRD
“Isu adat menjadi salah satu isu politik dalam kontestasi politik di level lokal. Namun aspek yuridis rumit, tidak mudah dipahami. Karena isu masyarakat adat lahir sebagai isu politik hukum, maka implementasinya sangat dipengaruhi konstelasi politik lokal,” jabar Yance Arizona “Putusan MK telah berhasil mengerakkan pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah untuk mengakui masyarakat adat dalam produk hukum yang lebih kongkrit. Namun sayangnya ada hambatan dalam program dan institusi, mental yang tidak berubah. Belum tersedianya data sosial kontemporer masyarakat adat di Indonesia. Tata cara pengakuan masyarakat adat sangat bergantung pada proses politik dari pada administrasi. Pemerintah juga belum memfungsikan Satgas Masyarakat Adat,” pungkas Yance Arizona.****JLG