Makassar 19/05/2015 – Aliansi Masyarakat Adat Nusatara (AMAN) Sulawesi Selatan melaksanakan Workshop Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat Sulawesi Selatan di Hotel Tree, Panakukkang – Makassar (18 Mei 2015). Acara workshop dibuka oleh Isjaya Kaladen, Wakil Ketua Dewan Aman Nasional. Dalam sambutannya, Ia memberi penguatan pemahaman terkait eksistensi Masyarakat Adat Di Indonesia.
Dalam kegiatan ini hadir seluruh Pengurus Daerah (PD) AMAN yang berada di wilayah Kerja Sulawesi Selatan, masing-masing Ketua BPH dan Koordinator Unit Kegiatan Percepatan Pemetaan Partisipatif (UKP3). Selain itu, hadir juga Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) diantaranya Balai Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Sulawesi Selatan, Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah VII Makassar. Sebagai Narasumber dari Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Ketua Pengurus Wilayah (PW) AMAN Sul-sel.
Workshop ini merupakan upaya untuk mensinkronisasi data yang dimiliki oleh AMAN Sul-Sel terkait wilayah adat dengan data yang dimiliki oleh SKPD terkait. Dalam acara ini terkuak beberapa peluang yang dapat dimanfaatkan untuk memberikan pengakuan terhadap wilayah atau hutan adat.
Ibu Hariani Samad Narasumber Dinas kehutanan Provinsi dan BPKHN Menyampaikan beberapa peluang untuk mengeluarkan tanah/hutan adat dari kawasan hutan Negara termasuk diantaranya melalui revisi RTRW Provinsi Sulawesi Selatan. Menurutnya hal ini menjadi penting, selain untuk melegalkan hak masyarakat adat diatas wilayahnya juga untuk meminimalisir konflik. Dari beberapa skemayang diusulkan, semuanya bermuara pada keinginan kuat pemerintah Kabupaten/Kota untuk melakukan penyelesaian sengketa penguasaan dan pengelolaan yang terus terjadi antara masyarakat adat/lokal dengan Negara melalui skema pengusulan revisi kawasan hutan.
“Tanah atau Hutan Adat bisa dikeluarkan dari kawasan hutan Negara, catatannya adalah Pemerintah Daerah yang harus mengajukan revisi tersebut.”
Dalam worksop tersebut terungkap juga beberapa informasi urgen misalnya di Kab. Sinjai yang rentan kriminalisasi terhadap masyarakat adat ternyata pihak pemerintah kabupaten tidak melakukan pengajuan perubahan kawasan hutan. “Hal ini menandakan ketidak-seriusan pemerintah dalam menyikapi konflik di tingkat bawah,” Ujar Syafruddin Shave, Penanggung jawab kegiatan tersebut.
Lain lagi dengan Awaluddin, perwakilan dari BPN Sul-Sel yang memaparkan skema pengakuan hak atas tanah secara individu melalui mekanisme Iventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T). Skema tersebut merupakan pintu masuk pengakuan atau pemeberian hak atas tanah oleh Negara.
“Tanah yang sudah dikelola lebih dari 20 tahun oleh masyarakat akan langsung diakui oleh Negara, sementara yang dibawah 20 tahun bisa saja diberikan hak atau tidak tergantung situasi objektif saat inventarisasi.” Ucap Awaluddin. Paudanan Embong Bulan, Ketua PD AMAN Massenrempulu menanggapi pernyataan tersebut dengan menekankan bahwa dalam masyarakat adat, hak atas tanah tidak bersifat individual namun bersifat komunal perlu memikirkan mekanisme pengakuan tanah adat yang lebih efektif. “Kami mengapresiasi skema yang ditawarkan BPN, hanya saja perlu dicatat bahwa hak tanah adat itu tidak bersifat individual tapi komunal.” Ucapnya.
BPN Sul-Sel juga menyatakan siap mengeluarkan pengakuan terhadap tanah adat selama itu tidak lagi berada di dalam kawasan hutan negara. “Kendala kami ini-kan soal kawasan hutan, kami juga takut memberikan hak di atas kawasan hutan, nanti bisa-bisa kami jadi tersangka dan itu sudah pernah terjadi,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua AMAN Sul-Sel, Sardi Razak membuka pemaparanya dengan menyandingkan program SKPD dengan Nawacita Jokowi-JK. “Ada keinginan kuat untuk mengakui dan melindungi hak-hak masyarakata adat dalam Nawacita,” ucapnya. Ian, Sapaan Akrab Sardi selanjutnya menjelaskan bagaimana
situasi masyarakat adat yang ada di Sul-Sel dengan menggambarkan sebaran komunitas adat, luas wilayah indikatif dan pemetaan partisipatif serta mempertegas posisi masyarakat adat yang menginginkan peta partisipatif yang dihasilkan tersebut diakomodir oleh pemerintah sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam menyusun kebijakan.
Dipaparkan bahwa terdapat tumpang tindih klaim hak di atas objek tanah, terdapat sejumlah wilayah adat di Sul-Sel yang di dalamnya juga merupakan kawasan hutan, sehingga memicu konflik dan seringkali berujung pada kriminalisasi masyarakat adat. “Maka negara harus mengakomodir peta wilayah adat sebagai salah satu acuan dalam menyusun kebijakan,” papar Ian.
Workshop yang dipandu oleh Arman Dore berakhir sekitar pukul 15.00 Wita dengan beberapa catatan penting antara lain BPKH Wilayah VII Makassar meminta peta-peta wilayah adat tersebut didorong dalam revisi RTRW Provinsi, SKPD terkait bersepakat bahwa Pemkab harus lebih pro-aktif dalam menyelesaikan konflik di tingkat akar rumput dengan memberikan pengakuan hak atas tanah/hutan adat. Perlunya menginisiasi pertemuan non-formal secara berkala antar SKPD dan AMAN Sul-Sel untuk sharing informasi dan pentingnya satu data base bersama yang menyiapkan informasi tentang masyarakat adat di Sulawesi Selatan.**** AD/Infokom PW AMAN Sulsel