Dodaga 21/5/2014 – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara memfasilitasi dialog antara masyarakat adat O’Hongana Manyawa dengan Pihak Kehutanan dan Taman Nasional yang diselenggarakan pada Selasa (12/05/2015), bertempat di Dusun Rai Tukur-Tukur, Wasile Timur, Halmahera Timur.
Hadir dalam dialog tersebut sebagai narsumber yakni, Syaiful Madjid (Akademisi), Agus (perwakilan dari kepala Dinas Kehutanan Haltim), Sadtata Noor Adirahmanta, S.Hut,MT (kepala balai Taman Nasional Blok Ake Tajawe Lolobata), dan Munadi Kilkoda (Ketua BPH AMAN Malut).
Syaiful Madjid menyampaikan banyak hubungan O’Hongana Manyawa dengan hutan sebagai satu kesatuan ruang hidup. “Pemaknaan hutan bagi O’Hongana Manyawa bukan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Hutan lah yang menyusui O’Hongana Manyawa, dalam pemaknaan hidup,” tegas Syaiful.
Disisi lain, Agus, Perwakilan dari Kepala Dinas Kehutanan Haltim berpendapat , masyarakat adat yang tinggal di hutan seharusnya dikeluarkan. “Saya tidak sepakat dengan pandangan AMAN yang ingin membiarkan masyarakat ini hidup di hutan. Sekarang ini bukan lagi jaman batu. Masyarakat harus mendapat hidup yang layak. Saya rasa ibu-ibu (komunitas O’Hongana Manyawa) juga sepakat.”
Sebaliknya, Sadtata Noor mengatakan, Taman Nasional justru terbantu dengan keberadaan masyarakat adat O’Hongana Manyawa yang tinggal berada di lokasi hutan maupun Taman Nasional. “karena, O’Hongana Manyawa punya tradisi menjaga hutan. Dan merekalah yang selama ini menjaga hutan,” ujar Sadtata.
Taman Nasional tidak akan melarang masyarakat adat Togutil untuk melakukan kegiatan tradisional di dalam wilayah kawasan Taman Nasional. Bahkan mereka sangat menghargai putusan MK 35 dan akan bersedia meninjau kembali zonasi Taman Nasional yang masuk dalam wilayah adat jika ke depan pemerintah daerah
sudah mau mengakui hak-hak masyarakat adat Togutil.
Sementara Munadi menjelaskan situasi yang harus diterima masyarakat adat Togutil ketika hak mereka tidak diakui pemerintah. “Kelompok masyarakat ini diusir dari wilayah adat mereka, lewat skema penetapan kawasan hutan dan program kehutanan lainnya” tegasnya.
Menurut Munadi, pemerintah harusnya jujur mengatakan bahwa sesungguhnya yang merusak hutan bukan masyarakat adat tapi pihak-pihak yang diberikan izin kuasa untuk memanfaatkan hutan, misalnya perusahan tambang.
Dia juga meminta pihak-pihak terkait untuk tidak melarang masyarakat adat Togutil untuk masuk memanfaatkan hutan adat mereka. Larangan seperti ini akan menimbulkan konflik, dan masyarakat adat tidak menyukai hal tersebut.
Dalam dialog terbuka tersebut, Madiki Higinik, kepala Suku Dodaga, meminta pemerintah segera mengakui wilayah adat mereka yang sudah dipetakan dengan luas 26 ribu hektar lebih. “Leluhur kami meninggalkan wilayah ini dengan pemberian nama semua tempat, jadi ini wilayah kami karena itu kami minta pemerintah segera laksanakan Putusan MK 35 untuk akui hak kami” tegas beliau
Sementara Tanganiki, lelaki paruh baya O’Hongana Manyawa pun menyampaikan keluhannya kepada Dinas Kehutanan dengan menggunakan bahasa Tobelo, “Saya sudah tidak percaya kehutanan. Sejak ada kehutanan di sini, torang so susa cari rusa, susa cari babi, susa masuk hutan. Kalau turus-turus bagini, kita mati, anak cucu so tra bisa masuk hutan,” kata Tanganiki. Hal yang sama juga disampaikan Kasiang salah satu tetua adat Rai Tukur-Tukur yang diamini warga lainnya.
Selain itu, Kepala Desa Dodaga Rais Syarif menyesalkan terkait dengan proyek rehabilitasi hutan yang dijalankan oleh Kelompok Tani Kumo Bukit Karya sebagai pemenang tender proyek rehabilitasi hutan oleh PT ANTAM.
Menurut Rais, ada hal yang aneh dalam menjalankan program PT ANTAM dalam program rehabilitasi sebagai tanggungjawab karena telah menggeruk dan mencemari lingkungan. “Pertama, rehabilitasi bukan dilakukan di daerah kritis, melainkan di kawasan kebun, wilayah nenek moyang O’Hongana Manyawa, dan masuk dalam
wilayah Administrasi Desa Dodaga. Anehnya, pihak ANTAM dan Kelompok pemenang tender ini masuk lewat Desa Akedaga,” kata Rais.
Selain itu, masyarakat pun menyampaikan bahwa, sebelumnya terjadi proyek penanaman, komunitas O’Hongana Manyawa pernah diberitakan tidak sedap oleh beberapa orang kehutanan setempat. Ada yang mengatakan masyarakat tidak bisa masuk lagi ke lokasi penanaman dari PT Antam itu. Bahkan beberapa ibu-ibu pernah diusir.
Agus, Pihak Dinas kehutanan Haltim pun menanggapi hal tersebut. Bahwa, dinas kehutanan Haltim tidak pernah melarang masyarakat untuk masuk ke lokasi tersebut. malahan, proyek penanaman itu menguntungkan warga karena hasilnya untuk warga juga. “Selama ini, kami tidak pernah mendengar keluhan dan masalah yang terjadi di lapangan, setelah datang di dialog ini, baru kali ini saya dengar, ” katanya.Agus berjanji akan menegur pihak PT ANTAM terkait dengan kesalahan administrasi soal penanaman di wilayah Desa Dodaga tetapi berurusan dengan Desa Akedaga.
Meskipun suasana dialog memanas, namun komunitas dengan pihak Kehutanan Hatim dan Balai Taman Nasional sedikit mendapat kesepakatan bersama. Tuntutan komunitas mendorong Perda hak-hak masyarakat adat direspon dengan baik****(Faris Bobero/Infokom AMAN Malut)