AMAN Malut : IUP Berada di Wilayah Adat, Ancaman bagi Komunitas Togutil
TERNATE, – Luas daratan Maluku Utara berkisar 45.087,66 Km2 atau 30,92 persen yang terdiri dari 397 pulau besar dan kecil menjadi ancaman kerusakan lingkungan, sosial, ekonomi, bahkan budaya asli masyarakat setempat. Hal ini disebabkan adanya 167 Izin Usaha Pertambangan (IUP) menguasai sebagian wilayah daratan Malut, yang tidak terkontrol oleh pemerintah Malut.
Demikian disampaikan Ketua Badan Pelaksana Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Nusantara (AMAN) Malut Munadi Kilkoda ketika ditemui Mata Publik di Sekretarian Rumah Bersama Forum Studi Halmahera (FoSHal), Komisi Perempuan Indonesia (KPI) dan AMAN Malut, Senin (15/7).
Munadi mengatakan, setengah dari luas wilayah daratan Malut telah dikonversikan untuk kegiatan pertambangan itu berada di wilayah-kawasan adat. ”Kami pastikan, IUP ada di wilayah adat yang merupakan ruang hidup masyarakat adat. Karena itu, masyarakat adat kehilangan akses atas sumber kehidupan yang sudah dikuasai pertambangan, ” kata Munadi.
Sebagian besar masyarakat adat yang tersebar di beberapa daerah Kepulauan Malut menggantungkan kehidupan mereka pada hutan dan pantai untuk bercocok tanam dan nelaian. ”Misalanya masyarakat O’Hongana Manyawa yang sering di sebut-sebut Togutil di wilayah Halmahera, populasinya sudah berkurang, bahkan mereka pun kehilangan lahan untuk bercocok tanam. PT NHM dan WBN saja sudah hampir 100.000 hektar mengusai wilayah masyarakat adat Suku Sawai, Pagu dan Tobelo,”katanya.
Menurut Munadi, hal ini harus menjadi perhatian khusus baik pemerintah dan masyarakat Malut. Kurangnya kontrol dan kebijakan mengakibatkan askpek ekonomi, sosial, budaya dalam masyarakat adat Malut tergeser atau mengalami keterpurukan.
Selain itu, hasil temuan BPH AMAN Malut di beberapa titik wilayah pertambangan Prov Malut juga terdapat lokasi prostitusi yang menggangu aspek budaya dan kesehatan masyarakat adat lokal. ”Banyaknya IUP juga berpengaruh menghilangkan adat budaya bahkan kesehatan masyarakat akibat dari adanya lokasi prostitusi di kawasan pertambangan dalam area masyarakat adat. Pada aspek kesehatan bisa mengakibatkan pengakit HIV/AIDS, bahkan perceraian dalam rumah tangga, ”ujar Munadi.
AMAN Malut mencatat data yang direkap, jumlah IUP di Malut sebanyak 167 ditambah dengan 3 Kontrak Karya yang menguasai wilayah Malut skala besar seperti NHM, WBN dan PT Antam yang menguasai wilayah adat hampir 100.000 hektar lebih.
Hasil pengamatan Infokom BPH AMAN Malut, O’Hongana Manyawa di Totodoku Haltim, dikeluarkan dari tempat tinggalnya di hutan yang kemudian dimukimkan dan diberi tempat tinggal perumahan. Namun, suku tersebut jauh dari akses pendidikan dan kesehatan. Salah satu warga bahkan harus berburu burung kakak tua untuk dijual dan uangnya dipakai untuk membelih minyak tanah.
Oleh karena itu, AMAN Malut melihat ada ketidakwajaran kebijakan pada sektor tambang yang tidak mempertimbangkan daya dukung wilayah Malut yang sangat kecil ini. ”Bayangkan jika kita jumlah semua, mungkin sekitar setengah dari luas wilayah Malut sudah dikuasai oleh tambang tersebut. Dan kedepan kami perkirakan konflik agraria yang terus meningkat. Karena itu pemerintah harus rubah mainset mereka dalam konteks kebijakan pada sektor tambang ini,” tegas Munadi
Lebih tegas lagi, Munadi mengajukan pada Pemerintah Malut untuk menindaklanjuti keputusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 terhadap UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang telah mengakui hutan adat. ”Mestinya ini ditindaklanjuti dengan Perda dan bersama–sama dengan AMAN Malut melakukan pemetaan wilayah adat. Ini untuk memastikan supaya masyarakat adat kita tidak tergusur dari wilayah tinggal mereka. Jangan sampai mereka terus miskin dan pemodal semakin kaya. Pemerintah harus menghormati keputusan ini, ” tegas Munadi. ****Faris/Infokom AMAN Malut