Tidore 20/6/2015 – Saat ini ada dua warga Togutil Akejira Bokumu (Bokum) & Nuhu yang polos (tidak dapat berbahasa Indonesia) mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Tidore. Sebelumnya mereka ditahan di Rutan Klas II Ternate (2/3/2015) Maret lalu untuk proses penyelidikan. Mereka ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan dua warga Waci yakni Alm. Marlan Matoa dan Alm. Masud Matoa.
Pembunuhan tersebut terjadi pada tanggal 8 Juli 2014 di kawasan hutan Desa Waci. Seperti dalam kronologis Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) para saksi, empat orang (korban selamat) bersama korban meninggal, berpapasan dengan dua orang warga yang memiliki kumis janggut dan jambang tebal serta model rambut ikal dan lurus yang tampak kusut, panjangnya sebahu dan ada yang tidak terlalu panjang serta hanya menggunakan cawat (kolor). Ciri ini kemudian diyakini para saksi sebagai orang Togutil. Keterangan ini disandingkan dengan foto Bokumu dan Nuhu, foto Toraji, dan satu foto lagi yang polisi dapat entah dari mana. Yang jelas lewat keterangan BAP, tiga foto tersebut digunakan polisi untuk mencari tahu siapa diantara mereka yang merupakan pelaku.
Sebelum penangkapan tersebut terjadi, polisi sebenarnya pernah menyisir hutan Akejira untuk mencari tahu keberadaan Bokumu dan Nuhu. Beberapa karyawan PT Weda Bay Nikel mengatakan polisi sempat bertemu dengan Bokumu dan Nuhu. Pertemuan yang bersahabat, tidak ada jarak, membuat sang polisi sendiri tak yakin dua orang ini sebagai pelaku pembunuhan. Namun entah karena apa, keyakinan itu berubah dalam beberapa minggu kemudian terjadilah penangkapan dramatis pada tanggal (1/3/2015).
Pada malam penangkapan itu, Bokumu dan Nuhu sedang tidur di rumah teman mereka, Oti, di Desa Kulo Jaya, Weda Tengah, Halmahera Tengah. Mereka disergap, namun tidak ada perlawanan sama sekali. Nuhu menerima pukulan pada bagian pinggangnya dengan senjata yang dilakukan salah satu anggota polisi. Beberapa hari lalu saat saya dan kawan-kawan pengacara mengunjungi mereka di Rutan Tidore, Nuhu meminta dibelikan minyak taon untuk menggosok bagian pinggang yang masih sakit. Pengobatan juga tidak disediakan negara untuk Nuhu sebagaimana mestinya.
Saat ini Bokumu dan Nuhu untuk kesekian kalinya menjalani masa persidangan di Pengadilan Negeri Soasio. Setiap kali mereka dihadirkan di ruang persidangan, tampak wajah mereka dalam kebingunan, hanya diam dan tak banyak bicara. Memang mereka tidak bisa berbahasa Indonesia. Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Tobelo halus.
Persidangan atas Bokumu dan Nuhu sesungguhnya persidangan yang membingungkan terdakwa, kendalanya bahasa. Mereka tidak sepenuhnya mengerti apalagi bercakap dalam ruang sidang terhormat tersebut. Kedua orang ini sebenarnya tidak tahu apa yang sedang terjadi atau yang sedang dikomentari baik Hakim, Jaksa Penuntut Umum (JPU) maupun Pengacara mereka sendiri, walaupun penerjemah telah berusaha menerjemahkan ke dalam bahasa Tobelo. Ekspresi dan raut wajah mereka memperlihatkan bahwa sesungguhnya mereka tidak mengerti apa yang ditanyakan, apa yang mereka harus bicarakan. Kadang penerjemah kewalahan menggunakan bahasa Tobelo yang tidak dipahami Bokumu & Nuhu. Kondisi ini membuat setiap kali sidang, kedua terdakwa hanya bisa diam saja meski dengan ancaman hukum yang ada dalam perkara tersebut.
Dalam KUHAP diatur hak-hak terdakwa, diantaranya hak untuk memperoleh penerjemah yang baik, dan juga hak untuk membela diri terhadap kasus yang dituduhkan. Jika mereka tidak mengerti perdebatan hukum dalam persidangan itu, bagaimana mungkin mereka bisa melakukan pembelaan diri secara langsung atas tuduhan terlibat dalam kasus pembunuhan di Waci. Saya yakin, kendala – kendala ini terjadi sejak penyelidikan kasus di kepolisian.
Bokumu dan Nuhu pun sudah diisolasi oleh JPU.
Sebelum sidang beberapa waktu lalu di Tidore, pengacara Bokumu dan Nuhu serta keluarganya dilarang bertatap muka secara langsung oleh JPU. JPU menunjukan arogansi yang berlebihan dan bertentangan dengan KUHAP (Pasal 60). Ini semestinya tidak boleh terjadi. Bokumu dan Nuhu harusnya diperlakukan sebagai manusia yang memiliki hak selama menjalani masa persidangan. Sebelum majelis hakim membuat keputusan, selama itu pula hak mereka harus diberikan oleh JPU maupun kepolisian. Asas praduga tak bersalah atau “Presumption of Innocence” sangat penting dihormati sebelum putusan hukum. Tidak boleh ada opini di media massa yang diciptakan melangkahi putusan hakim. Bokumu dan Nuhu adalah dua orang yang disidangkan, dan belum dijatuhkan vonis bersalah atau tidak.
Termasuk dalam proses sidang ini harus mencari fakta-fakta hukum untuk menemukan siapa pelaku sesungguhnya. Keterangan saksi menjadi salah satu diantaranya. Ketidakhadiran saksi kunci seperti Jabanur Umar dimana keterangannya hanya dibacakan oleh JPU, sesungguhnya itu tidak boleh terjadi, apalagi prosedur pemanggilan saksi tidak dilakukan dengan benar. Saksi hanya dipanggil sekali dan lewat telpon. Namun karena alasan jarak dan mengikuti istri berobat, yang bersangkutan tidak hadir dipersidangan.
Ketidakhadiran saksi kunci tersebut tentu akan menyulitkan Pendamping Hukum Bokumu dan Nuhu untuk mengkonfrontir kesaksian beliau. Belum lagi pada sidang mendengar keterangan ahli, saksi ahli yang dihadirkan JPU ternyata orang yang tidak punya kompetensi. Bisa dibilang tidak tahu apa-apa tentang Togutil, baik tentang ruang hidup mereka, kearifan lokal, hukum adat, tata krama, dst. Yang bersangkutan hanya punya pengalaman menjadi pendamping Togutil di Rai Tukur-Tukur. Padahal kita berharap kehadiran ahli dapat memberi penjelasan terhadap pola hidup orang Togutil. Mungkin dengan begitu, akan sedikit kita temukan jawaban terkait peristiwa di Waci.
Kita sepakat pelaku pembunuhan harus dihukum seberat-beratnya, karena itu kasus ini adalah perkara yang sangat serius. Namun setiap orang tentu berkeinginan peradilan bisa mengungkap perkara ini sebenar-benarnya berdasarkan fakta hukum. Tidak ada yang tambah, tidak ada yang dikurangi, tidak ada yang rekayasa, semua harus bersumber dari kebenaran dan kejujuran sebagaimana disumpahkan.
Peradilan harus menghormati asas praduga tak bersalah sebelum putusan hakim yang berkekuatan hukum. Para terdakwa harus diberikan haknya termasuk dalam hal melakukan pembelaan terhadap dirinya, memperoleh penerjemah yang baik dalam hal mengerti dan bisa bercakap secara lancar dalam bahasanya para terdakwa, bahkan juga mendapat kunjungan dari keluarga atau pengacara mereka. Para saksi dan pihak yang dimintai keterangan di persidangan pun memberikan keterangan benar.
Nasib Togutil Halmahera
Togutil tersebar di Halmahera Tengah, Halmahera Timur dan Tidore Kepulauan mereka terbagi dalam 21 kelompok. Batas-batas antar kelompok ini disebut madedengo. Madedengo adalah tanda batas wilayah adat antara Togutil yang satu dengan Togutil lainnya atau dengan komunitas masyarakat adat lainnya. Mereka sendiri saling menghormati batas tersebut dan tidak ada yang melewati madedengo tanpa seizin pemilik hak ulayat, karena hukumnya sangat berat. Misalnya Togutil Akejira (di belakang Desa Lelilef) punya batas madedengo dengan Togutil Woesopen (di belakang Desa Dote dan Desa Waci). Kelompok ini tidak saling berinteraksi. Bahkan bertatap muka pun jarang terjadi, karena itu Bokumu dan Nuhu berulang-ulang kali menyebut dalam persidangan, mereka tidak pernah sampai ke Waci, sebab di sana merupakan wilayah adat Togutil Woesopen.
Togutil adalah kelompok masyarakat adat yang keberadaan mereka beserta hak-haknya diatur oleh berbagai aturan. Pada tingkat internasional terdapat konvensi ILO 169, juga UNDRIP. Di tingkat nasional sendiri, berbagai peraturan sektoral yang menjelaskan larangan diskriminasi rasial terhadap masyarakat adat. Diskriminasi ini sering kali diterima Togutil. Mereka dijastifikasi sebagai pembunuh, perampok, primitif dan label-label negatif yang melekat pada mereka sebagai entitas yang harus dijauhkan dari pergaulan sosial. Padahal diskriminasi rasial ini bertolak belakang dengan keseharian orang Togutil. Togutil malah sebaliknya, mengajari kita untuk hidup bersahabat dengan alam.
Togutil Halmahera saat ini berada ditengah gempuran investasi tambang, sawit, HPH. Ada upaya-upaya sistematis lewat cara-cara yang tak beradab yang dilakukan pihak-pihak terkait untuk mengeluarkan Togutil dari hutan. Tujuannya satu, kekayaan yang ada di hutan bisa dikeruk habis tanpa ada gangguan dari kelompok masyarakat. Cara ini sudah berlangsung sejak lama, saat geliat pembangunan ekonomi di daerah mengandalkan sektor SDA. Togutil harus dipandang sebagai satu entitas yang keberadaan mereka beserta hak-haknya diakui oleh UU. Entitas ini berbeda cara hidupnya dengan entitas yang sudah terkomodifikasi oleh perkembangan dunia luar.
Mereka masih hidup dengan cara-cara yang tradisional. Bukan berarti ketradisionalan itu kemudian mereka menjadi kuno dan harus dieksploitasi. Togutil membutuhkan komunikasi dengan orang luar, namun komunikasi itu harus dibangun dengan kejujuran hati sebagaimana adanya mereka – termasuk Bokumu dan Nuhu praktekan dalam kehidupan sosial di lingkungan mereka, juga saat berhadapan orang yang mereka temui. **** (Munadi Kilkoda)