Abdon Nababan “Apakah Ada Institusi Pemerintah Yang Mengurus Bahasa Daerah?
Jakarta 1/7/2015 – Dalam rangka melindungi Bahasa Daerah dan Kesenian Daerah di Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah (DPD Komite III) menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) RUU Bahasa dan Kesenian Daerah bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang menghadirkan empat narasumber yaitu Abdon Nababan Sekjen AMAN, Rizaldi Siagian Etnomusikolog, Afrida Erna Ngato tetua Adat Suku Pagu Halmahera Utara dan Muhammad Arman Kadiv Hukum AMAN untuk memberi masukan terhadap rancangan RUU Bahasa dan Kesenian Daerah di Gedung B DPD RI, Senayan Jakarta (1/7/2015).
Dalam RDPU yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komite III Fahira Idris ini, Abdon Nababan menyampaikan bahwa sudah seharusnya ada rancangan legislasi RUU Kebudayaan nasional yang terintegrasi baik di DPD atau DPR.
“Pertanyaan mendasarnya apakah ada institusi negara atau pemerintah yang mengurus bahasa-bahasa daerah? Yang ada itu pusat pembinaan bahasa Indonesia,” terang Abdon Nababan.
“Konteks rancangan undang-undang yang harus diperjuangkan supaya ada kejelasan secara struktural dan fungsional mengurus hal ini,” papar Abdon lebih jauh.
Di daerah-daerah ada taman budaya, tapi isinya bukan mengurusi bahasa daerah dan kesenian daerah. Bisakah lewat UU hal tersebut dijelaskan, bahwa taman budaya juga berfungsi untuk membina bahasa dan kesenian daerah. Kita mengharapkan, bukan hanya tempat numpang lewat seni-seni yang entah dari mana-mana.
Menurut Abdon Nababan bahasa daerah dan kesenian daerah sebaiknya ditempatkan sebagai hak masyarakat dan menjadi kewajiban negara untuk melindunginya, dalam konteks HAM.
“Saya tidak melihat ada alasan dengan menghormati keberagaman budaya dan ada fasilitas negara kemudian akan terjadi disintegrasi. Kita sebagai bangsa sejak awal memang bhineka tunggal ika. Contoh Papua itu selalu menarik, dari segi bahasa Papua lebih membutuhkan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dari pada orang Jawa, Batak, Minang. Kita tidak melakukan apa-apa, yang kita lihat itu hanya sumber daya alamnya,” papar Abdon Nababan.
Dalam menjawab pertanyaan para senator Rizaldi Siagian menyampaikan bahwa dalam dunia kesenian yang paling diutamakan adalah proses, bukan produk akhirnya. Pendekatan yang selama ini dilakukan adalah pendekatan kebendaan. Seharusnya regulasi itu memelihara, melindungi proses terjadinya kesenian itu. Dalam kesenian ada tiga unsur yaitu ada penciptanya, ada pelakunya, ada audiensnya. Ini satu kesatuan yang utuh.
“Oleh sebab itu di masyarakat Banten Kidul bisa tiap tahun terselenggara kegiatan-kegiatan budaya, itu karena tiga unsur tersebut terpelihara oleh adat istiadat yang ada di sana. Kebanyakan kita membuat kebijakan tidak seperti itu. Sebagai contoh pelakunya saja dibuat sanggar lalu ditampilkan di taman budaya. Di taman budaya itu nanti diharapkan datang penonton. Tidak bakal ada penontonnya karena dia tidak terlatih pada satu sistem. Oleh sebab itu ketika kita membuat satu regulasi bagaimana menyatukan ketiga unsur tadi dan mengayomi mereka,” papar Rizaldi Siagian.
“Hampir di seluruh tanah air kita ini kalau bicara tentang kesenian ada perasaan rendah diri. Seolah-olah kalau bicara tentang Jazz martabatnya sudah hebat. Sehingga munculah kebijakan seperti yang dilakukan Pemda Banyuwangi, maksudnya baik. Tapi ketika kebaikannya itu menggunakan APBD, rakyatnya tidak perhatikan. Saya merasa agak aneh juga, kebetulan saya ada di Banyuwangi waktu itu lalu sampaikan kritik pada bupati, apa urusannya Jazz dengan kesenian Osing. Pada waktu itu saya sedang yakinkan Diknas supaya ritus-ritus yang terkait dengan pangan diselenggarakan bukan keseniannya yang dibawa, tapi ritualnya. Seluruh apa yang terdapat di dalam ritualnya akan ikut,” papar Rizaldi Siagian.
Afrida Ngato mengatakan jika bahasa daerah hilang maka hak sebagai masyakat adat juga berpotensi hilang. “Kita sangat membutuhkan RUU bahasa dan kesenian, sebab penting sekali ada undang-undang khusus mengatur itu,” kata Afrida
Dalam menjawab pertanyaan senator apakah deklarasi PBB itu perlu diratifikasi Muhammad Arman mengatakan “Deklarasi PBB tidak untuk diratifikasi, hanya konvensi dan kovenan yang diratifikasi. Jika kita membaca deklrasi PBB itu sebenarnya mengulang pasal-pasal yang ada disebutkan di konvensi dan bisa menjadi landasan hukum,” terang Arman***JLG