AMAN ” Indigenous Peoples Penting Sebagai Identitas Masyarakat Adat
Jakarta 14/9/2015 – Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan mengatakan bahwa substansi dari draf Intended Nationally Determined Contribution (INDC) yang akan dibawa ke acara Conference of Parties (COP) 21 (konferensi perubahan ikim) di Paris, belum mampu menjangkau harapan AMAN dan harapan Presiden RI. Hal tersebut disampaikannya dalam acara konferensi pers “Tanggapan Kritis AMAN Terhadap INDC Indonesia” bersama Rukka Sombolinggi dan Wimar Witolear berlangsung di Locanda Food Voyager, Panin Building Ground Floor, Jl. Jend. Sudirman, Jakarta Pusat (14/9/2015). Lebih jauh Abdon mengatakan bahwa sebenarnya ada niat dari pemerintah untuk memasukkan kontribusi masyarakat adat di dalam dokumen INCD.
“Tapi kami merasa niat itu belum kesampaian. Bisa kita lihat dari angka-angka yang digunakan dalam dokumen tersebut. Memasukkan peranan masyarakat adat namun belum disertai dengan kajian atau pendataan yang kuat terhadap masyarakat adat,” kata Abdon.
“Penggunaan terminologi adat communities dalam dokumen berbahasa Inggeris yang disiapkan oleh pemerintah juga akan menimbulkan masalah serius dalam proses perundingan nanti. Kami melihat bahwa draf INDC tersebut belum sepenuhnya menerima bahwa masyarakat adat Indonesia sepadan dengan Indigenous Peoples dalam terminologi perundingan,” lanjutnya.
“Kalau kita lihat semua perundingan internasional terkait dengan HAM dan Lingkungan Hidup baik diversity maupun perubahan iklim, untuk masyarakat yang punya karakteristik dan sejarah seperti masyarakat adat di Indonesia, di dunia internasional itu disebutkan Indigenous Peoples. Kelompok-kelompok yang punya identitas budaya bersama dan punya wilayah yang secara turun temurun dari nenek moyangnya dan sepenuhnya mereka dikelola. Mereka punya pranata sosial budaya, ekonomi politik yang berbeda dari warga negara lainnya. Tetapi di dalam INDC ini, Indigenous Peoples justru tidak digunakan,” Abdon menambahkan.
“Pertanyaannya kalau ini dibawa dalam negosiasi internasional seperti di The United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) orang tidak tahu apa itu adat communities dan bagaimana nanti mengukur kontribusinya. Kami melihat ada semacam pengakuan setengah hati terhadap masyarakat adat sebagai Indigenous Peoples. Padahal pemerintah Indonesia dalam negosiasi-negosiasi internasional sudah menggunakan Indigenous Peoples untuk masyarakat adat,” kata Abdon menjelaskan.
“Kok tiba-tiba dalam draf INDC ini hilang, menurut kami ada keanehan. Local Communities yang punya sejarah, punya keterikatan antara budaya dan lingkungannya yang sangat kuat itu Indigenous Peoples. Jadi sebenarnya tidak ada pilihan lain kecuali menggunakan Indigenous Peoples. Justru ketika dipakai adat communities, INDC ini sebenarnya menjadi tidak bermakna,” tegas Abdon.
“Indonesia adalah salah satu negara yang paling maju pengakuan dan penghormatannya terhadap masyarakat adat di antara negara-negara yang baru merdeka paska perang dunia ke-2. Indonesai itu negara yang konstitusinya dengan tegas menyatakan mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat hukum adat dalam hal ini kita sebut sebagai Indigenous Peoples. Itulah sebenarnya modal pemerintah untuk memimpin proses perundingan di Paris nanti, jadi jangan mundur,” kata Abdon.
“Dari peta indikatif wilayah adat yang sudah kami buat bersama JKPP, BRWA, FWI luasnya tidak kecil, hampir 84 juta hektar dan 65 persen lebih kawasan berhutan, itu berarti 54,7 juta hektar. Kalau ini diurus baik-baik kontribusi kita di tingkat internasional akan luar biasa akan menunjukan kebesaran Indonesia dalam proses perundingan internasional,” tambah Abdon
“Pemerintah punya kesempatan untuk memperkenalkan NAWACITA ke dunia internasional kalau mau mengelola dokumen-dokumen ini dengan baik di Paris. Bisa menunjukan NAWACITA ke masyarakat internasional, salah satunya lewat masyarakat adat yang sudah ada dalam NAWACITA. Kami menilai draf INDC yang sekarang jauh sekali dari semangat dan substansi NAWACTA,”papar Abdon Nababan.
Dalam kesempatan ini Rukka Sombolinggi mengatakan,” bagaimana Indonesia mendapat manfaat yang maksimal dari kontribusi masyarakat adat dalam perubahan iklim, baik itu mitigasi maupun adaptasi. Seperti dalam komunikasi radio yang menggunakan frekwensi tertentu. Kalau frekwensi internasional menggunakan frekwensi tertentu misalnya, maka Indonesia juga harus menggunakan frekwensi yang sama supaya bisa nyambung,” papar Rukka.
Lanjut Rukka, ketika dunia internasional menggunakan istilah generik masyarakat adat yaitu Indigenous Peoples supaya nyambung frekwensinya selayaknya pemerintah juga menggunakan istilah yang sama. “Karena ketika nanti pemerintah bernegosiasi itu sangat penting, mereka akan menemukan cantelannya, mereka menemukan dimana meletakkannya. Memang ini hal fundamental membantu pemerintah untuk memastikan bahwa bangsa Indonesia mendapat manfaat sebesar-besarnya dari kontribusi masyarakat adat,” Rukka menambahkan.
“Kami ingin mengingatkan pemerintah bahwa penggunaan istilah masyarakat adat dalam bahasa inggeris digunakan indigenous peoples, itu bukan hal baru. Sudah banyak sekali dokumen resmi pemerintah yang bisa menjadi referensi, dimana istilah itu sudah digunakan. Sehingga tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak menggunakan istilah yang sama,” tegas Rukka
“Seperti dalam putusan MK 35 menjadikan UNRIP atau UN Declaration The Rights Indigenous Peoples dan ILO Convention No 169 tentang Indigenous and Tribal Peoples In Independent Countries sebagai bukti. Bukti yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan Judicial Review AMAN. Terakhir tahun 2015 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH-K) mengeluarkan laporan (country report) tentang pelaksanaan CPD di Indonesia menggunakan kata Indigenous Peoples,” papar Rukka.
“Juni 2014 Komite Untuk Hak Atas Ekonomi Sosial dan Budaya mengeluarkan rekomendasi dalam sidangnya di Jenewa. Waktu itu Indonesia menjadi negara yang dinilai, Indonesia harus segera punya UU Masyarakat Adat. To Divine masyarakat adat as Indigenous Peoples. Kalau ini diabaikan maka itu akan menjadi preseden buruk bukan hanya pemerintahan tapi juga raport Indonesia di Human Right Council. Sementara itu pada tanggal 13 September 2007 di New York General Essembly mengadopsi UN Declaration Indigenous Right, pemerintah Indonesia mengatakan bahwa mereka tidak menemukan-punya Indigenous Peoples, itulah yang selama bertahun-tahun kita coba untuk membantu pemerintah,” ungkap Rukka.
Wimar Witoelar meyampaikan “Kita tidak boleh meninggalkan prinsip, kita harus mengutamakan perangkuman INDC agar pada tanggal 20 September bisa disubmit ke UNFCCC. Saya melihat bendera Indonesia pada COP 21 yang paling tepat adalah bendera masyarakat adat, bendera tampilnya masyarakat adat sebagai aset unik yang dimiliki Indonesia,” ujarnya.
“Bukan hanya karena dirinya tetapi karena pemerintah bisa menerimanya. Presiden Jokowi waktu menerima draf INDC yang pertama pada tanggal 21 Agustus hanya mengajukan satu pertanyaan, masyarakat adatnya gimana? karena beliau melihat banyak sekali keuntungan yang akan didapat Indonesia, membedakan Indonesia dari masyarakat adat di Amerika Latin. Di Indonesia masyarakat adat itu sudah menjadi suatu permata di dalam untaian bangsa Indonesia,” Wimar Witoelar mengingatkan.****JLG