Muara Enim 14/9/2015 – Untuk meningkatkan kesadaran generasi muda terhadap persoalan adat dan lingkungan hidup, sekitar 23 remaja dari masyarakat adat Benakat, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan (Sumsel), mengikuti Workshop Teater Lingkungan Hidup yang diselenggarakan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Mongabay Indonesia, 12-13 September 2015 lalu. Kegiatan yang menghadirkan fasilitator seniman teater Palembang yakni Jaid Saidi dan Ical Wrisaba, pegiat lingkungan hidup dan komunikasi Rustandi Adriansyah (AMAN Sumsel) serta Taufik Wijaya (Mongabay Indonesia).
Pada hari pertama, kegiatan berupa diskusi mengenai lingkungan hidup dan budaya yang berlangsung di rumah Nopiansyah Syarifudin, Ketua BPH AMAN Kabupaten Muara Enim. Saat itu diskusi berkisar persoalan lingkungan hidup di Benakat, seperti perambahan di hutan adat Rimbo Sekampung, ancaman kebakaran, serta berbagai persoalan terkait kehadiran perkebunan sawit, hutan tanaman industri (HTI) dan penambangan batubara.
“Hutan Rimbo Sekampung merupakan simbol masyarakat adat Benakat. Jadi sudah seharusnya hutan ini dijaga. Apalagi di hutan adat ini masih ditemukan satwa langka dan dilindungi seperti harimau Sumatera dan gajah Sumatera, serta beragam jenis tanaman khas Sumatera,” kata Rustandi Adriansyah.
Yang menarik, sebagian besar peserta workshop yang usianya berkisar 12-20 tahun, tidak pernah masuk ke dalam hutan Rimbo Sekampung. “Kami hanya tahu namanya, tapi kami belum pernah masuk ke sana. Jadi Mang (Paman, red), jujur kami belum pernah melihat harimau atau gajah di sana,” kata Wisnu, seorang peserta workshop.
“Terima kasih Mang dengan penjelasan malam ini. Kami jadi malu, dan kami akan belajar lebih banyak soal hutan adat kami itu. Mudahan dengan perkumpulan teater ini kami akan banyak belajar. Bukan hanya soal seni teater juga soal adat kami, khususnya hutan Rimbo Sekampung,” kata Wisnu, yang baru setahun selesai sekolah menengah atas (SMA).
Pada saat materi seni peran yang diadakan pada Minggu (13/09/2015) pagi hingga siang, kegiatan dilakukan di sebuah kebun duku di ujung dusun milik warga. Materi dasar seni peran yang diberikan mulai dari olah vocal, olah tubuh, penghayatan, improvisasi dan pengenalan panggung.
“Berbagai pengetahuan dan pemahaman ini tidak hanya dipahami, tapi juga dipraktikan. Sebaiknya materi dasar seni peran ini dilakukan minimal selama tiga bulan dengan frekwensi yang banyak. Misalnya sepekan dua kali. Setelah itu dapat dilakukan sepekan sekali sambil praktik penggarapan sebuah pertunjukkan. Ya, minimal lima-enam buah naskah pertujukan digarap,” kata Jaidi Saidi.
“Jadi, setelah workshop ini bukan bisa langsung pentas. Tetap latihan yang banyak dan fokus, yang membuat kalian dapat dan layak mementaskan sebuah pertunjukkan,” kata pekerja teater yang pernah aktif di Teater Bengkel pimpinan WS Rendra ini.
Meskipun baru mendapatkan pelatihan, sejumlah peserta workshop berkeinginan mementaskan sebuah pertunjukkan teater ke dunia luar. “Kami akan terus melakukan latihan ini, kemudian akan memainkan sebuah naskah, mudah-mudahan kami dapat tampil di Palembang, Jakarta, Yogyakrata bahkan ke Sulawesi atau Papua, sehingga banyak orang tahu mengenai marga Benakat dan juga kehebatan hutan Rimbo Sekampung,” kata Dian, seorang peserta workshop.***