Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, terdiri dari beberapa pulau dan disatukan oleh poros bahari. Setiap pulau memiliki beberapa suku yang berbeda-beda dan kekayaan budayanya masing-masing, kebudayaan itu adalah hasil cipta atau karya pemikiran para leluhur masyarakat adat di masa lalu. Suku yang ada di suatu pulau mengembangkan kebudayaannya dengan alam sekitarnya, oleh karenanya jarang kita jumpai dalam satu pulau di Indonesia hanya ada satu suku dan kebudayaannya.
Kebudayaan yang lahir dari masyarakat adat terkikis sejak masuknya penjajahan Kolonialisme di Hindia Belanda. Melalui misi 3G (gold, gospel, dan glory), Belanda berhasil menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang sudah modern dan memperkenalkan kebudayaan baru yang diadopsi dari barat. Agama (glory) adalah senjata utama kolonial belanda untuk menghancurkan kebudayaan masyarakat adat di Nusantara.
Memasuki babak baru (globalisasi) di era kemerdekaan Republik Indonesia saat ini, masyarakat adat serta kebudayaannya semakin terpinggirkan. Masyarakat semakin jauh dari kebudayaan aslinya dan bahkan ada sebahagian rakyat Indonesia yang sudah tidak mengakui dirinya sebagai masyarakat adat. Para pemuda di negeri ini seolah dipaksa untuk mengikuti arus kapitalisme, dan menghasilkan pemuda yang hedon serta individualis.
Refleksi Sungai Utik
Para pemuda adat dari berbagai penjuru Nusantara yang peduli terhadap situasi porak porandanya negeri ini berkumpul di Sungai Utik selama 23 hari (1- 23/9/ 2015), untuk membangkitkan keterpanggilan pemuda-pemudi adat kembali mengurus wilayah adatnya, membangun kemampuan pemuda-pemudi adat dalam hal menganalisa setiap persoalan di masing-masing wilayah adatnya, dan pemuda-pemudi adat dilatih memfasilitasi proses Rencana Kehidupan partisipatoris untuk mengurus wilayah adat secara arif dan berkelanjutan, berdasarkan adat-istiadat setempat.Sungai Utik adalah tempat bagi orang-orang yang ingin belajar. Sungai Utik terletak di Desa Batu Lintang Kabupaten Kapuas Hulu Kecamatan Embaloh Hulu Provinsi Kalimantan Barat. Sungai Utik dihuni oleh Suku Dayak Iban. Mata pencaharian utamanya adalah bertani dan menganyam.
Alam dan budaya menyatu di dalam jiwa setiap individu masyarakat Suku Dayak Iban di Sungai Utik. Perpaduan inilah yang menjadi bahan pembelajaran bagaimana menyelamatkan hutan adat yang selama ini telah diklaim sebagai tanah negara atau hutan negara untuk dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan raksasa. Keharmonisan dalam kehidupan sosial masyarakat Dayak Iban dapat dilihat dalam hidup kesehariannya masih tetap teguh memegang tradisi para leluhurnya.
Berkaca pada masyarakat adat Dayak Iban, kekuatan utama masyarakat adat terdapat pada kesadaran terhadap apa yang diwariskan oleh leluhurnya. Tanah, air, udara adalah bentuk sumbangsih para leluhur kepada para generasi penerusnya untuk dapat bertahan hidup di muka bumi ini. Oleh karenanya, semua peninggalan itu harus kita jadikan sebagai bagian dari hidup kita dan harus kita jaga. “Ketika kita menjual tanah, sama saja kita telah menjual ibu kita sendiri,” demikian ungkapan Apay Janggut.
Begitu banyak pelajaran berharga yang didapatkan dari masyarakat adat Dayak Iban, mulai dari menghargai setiap benda yang ada di atas tanah melalui ritual-ritual adat, sampai pendidikan terhadap para generasi muda yang harus tetap melestarikan dan menjaga semua kekayaan budaya dan alam mereka.
Diskusi selama di Sungai Utik berlangsung sesuai jadwal, semua peserta saling berbagi tentang persoalan-persoalan yang terjadi di wilayah adatnya masing-masing. Format diskusi dalam bentuk ”Pasar Malam”. Pada acara pasar malam kami gunakan bertukar informasi. Melalui proses diskusi ini bisa disimpulkan bahwa konflik agraria yang terus berlanjut pada masyarakat adat di seluruh penjuru Nusantara sebagai bentuk penjajahan baru terhadap masyarakat adat.
Tanah adat adalah alat produksi bagi para petani, yang merupakan mata pencaharian pokok bagi masyarakat adat telah diklaim sebagai hutan negara melalui pemerintah – Dinas Kehutanan untuk dikelola oleh investor – perusahaan-perusahaan yang memiliki modal besar. Tidak satupun perusahaan yang berdiri di wilayah adat yang memberi kesejahteraan bagi masyarakat adat. Yang ada hanyalah kesengsaraan dan tangisan bagi masyarakat adat.
“Belajar sama-sama, bertanya sama-sama, kerja sama-sama. Semua orang itu guru, alam raya sekolahku, sejahteralah bangsaku”. Lirik lagu ini memberi motivasi bagi kami untuk tetap semangat dalam menjalani pelatihan di Sungai Utik. Semangat dan tegar tiap kali menyanyikan lagu ini secara bersamaan dengan gerak tepuk tangan bersambutan. Lagu ini mengingatkan kami bagaimana melawan sifat individualisme, semua yang ada di alam raya ini adalah guru.
Selama dalam proses pembelajaran, para pemuda melakukan metode pendidikan populer atau pendidikan kritis. Semua peserta dipersilahkan untuk memberikan ide-ide yang dimilikinya, untuk dituangkan dalam diskusi. Peserta juga diberi ruang untuk mengkritisi materi yang diberikan. Dialog sesama peserta dan dengan para fasilitator berjalan dengan baik, karena metode dalam pembelajarannya adalah belajar sama-sama.
Pendidikan adalah suatu alat untuk mencerdaskan manusia atau alat untuk memanusiakan manusia (humanisasi). Inilah yang menjadi persoalan besar di negeri kita. Pendidikan yang kami dapatkan selama ini ternyata tidak ubahnya dengan pendidikan semasa kolonial Belanda. Masyarakat hanya disuguhi pendidikan palsu. Konsep pendidikannya tidak mengakar dari kebudayaan bangsa ini, dan tidak pernah bisa menyelesaikan persoalan negeri ini.
Pendidikan populer adalah konsep pendidikan yang berpihak kepada kaum tertindas. Pendidikan populer inilah yang menjadi refleksi kami selama di Sungai Utik. Konsep pendidikan ini sangat dibutuhkan dalam memperkuat gerakan masyarakat adat Nusantara, seperti yang telah diimplementasikan oleh masyarakat adat Misac di Kolombia.
Mengikuti acara di Sungai Utik ini merupakan sebuah proses pendidikan yang sekaligus membahagiakan. Tidak ada kata menyerah untuk sebuah perjuangan kemerdekaan sejati. Bagi pemuda adat se-Nusantara (peserta pelatihan), persatuan adalah kunci dari sebuah perlawanan. Bangkit dan bergerak adalah kewajiban bagi seluruh pemuda adat untuk mewujudkan cita-cita para leluhur dan pendahulu kita, yakni kemerdekaan sejati.
Sungai Utik juga menjadi saksi bersatunya pemuda adat melawan penjajahan di bumi pertiwi ini. Pelajaran yang kami dapat, serta janji yang telah kami ucapkan di Sungai Utik akan menjadi bahan untuk memperkuat gerakan masyarakat adat ke depannya. Terimakasih untuk Sungai Utik.****Lasron P Sinurat