Pandumaan-Sipituhuta 8/10/2015 – Untuk mendengarkan penjelasan tim verikasi dan validasi Dirjen Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat KLHK, tentang perkembangan konflik tombak haminjon ( kemenyan) yang sudah berlangsung selama enam tahun ini, 300-an orang warga Pandumaan-Sipituhuta berkumpul di salah satu rumah ibadah Desa Pandumaan. Pada pertemuan ini hadir Kepala Dinas Kehutanan Kab. Humbang Hasundutan, Camat Pollung, Dirjen Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan adat KLH-K bersama tim, Anggota DPRD Kab. Humbang, Kapolsek Pollung.
Pertemuan berlangsung tertib, sebab acara ini ditunggu oleh warga, karena penanganan kasus tombak haminjon telah berlarut-larut dan warga Pandumaan-Sipituhuta sudah jenuh. Mereka berharap pertemuan ini bisa mengobati rasa kecewa pada pemerintah kabupaten dan provinsi yang selama ini tidak perduli terhadap hutan adat mereka.
James Sinambela Ketua Perjuangan Hutan Kemenyan, mengatakan terimakasih atas kedatangan tim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta pemerintah kabupaten. Kepada warga masyarakat adat pandumaan-sipituhuta dia minta untuk tenang dan tertib mendengar penjelasan yang disampaikan oleh tamu dari Jakarta tersebut.
Jhonny Purba Dirjen Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan adat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjelaskan kedatangannya bukan sebagai pengambil keputusan, namun untuk melengkapi data, sekaligus secara langsung melihat kondisi tombak haminjon masyarakat seperti laporan ke kantor KLHK Jakarta.
“Jika saya tidak melihat, bagaimana tahu tentang faktanya di lapangan. Makanya, kita saling mendoakan supaya apa yang saya temukan hari ini bisa mempercepat proses penyelesaian. Menyelesaikan kasus hutan adat tidak segampang membalikkan tangan. Untuk itu, saya sudah bicara kepada DPRD kabupaten segera membuat peraturan daerah yang mengatur tentang hutan adat dan masyarakat adat, supaya bisa cepat menangani kasus tanah adat di kabupaten ini,” lanjut Jhony.
“Sebab, masyarakat adatlah yang paling arif dalam menjaga dan melestarikan hutan. Yang paling utama bahwa haminjon adalah sumber kehidupan masyarakat adat Desa Pandumaan-Sipituhuta,” jelas dirjen Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan adat Kementrian kehutanan dan Lingkungan Hidup itu.
“Perjungan sejak tahun 2009, mendesak dan meminta pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan mendesak terbitnya perda masyarakat adat sudah berulang kali dilakukan. Hingga saat ini niat baik dari pemerintah untuk menyelesaikan konflik hutan adat ini tidak ada”
“Pernah Dirjen BUK dan Komnas HAM mengatakan bahwa bupati dapat menyelesaikan permasalahan ini dengan menerbitkan SK pengakuan terhadap tombak haminjon. Namun hingga saat ini belum ada SK. Kami berharap pada pak purba, supaya kami aman dalam mengerjakan haminjon kami mohon bapak membuat garis batas antara tombak haminjon kami dengan TPL. Supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” jelas Pendeta Haposan Sinambela.
Op. Pebri Lumban Gaol mengatakan, ” kami sudah muak dengan pemerintah, sebab yang saya tahu molo horbo talina do sitiopon jala jolma hatana do sitiopon ( kalau kerbau talinya yang dipegang dan manusia perkataannyalah yang diingat). Namun hingga detik ini pemerintah hanya berpangku tangan, melihat penderitaan kami, setiap tahun semakin sengsara karena hasil getah haminjon kami terus menurun,”tegas pengurus perjuangan tersebut.
Setelah saling memberi penjelaskan, Ketua Perjuangan Hutan Kemenyan Pandumaan-Sipituhuta kemudian menyerahkan data-data yang sudah disiapkan dalam bentuk buku cukup tebal mengenai sejarah, asal-usul, peta serta berbagai upaya yang pernah dilakukan oleh masyarakat Pandumaan-Sipituhuta, kepada tim verikasi dan validasi KLH-K.
Beberapa warga Pandumaan-Sipituhuta bersama tim Validasi dan Verifikasi data KLHK, pemkab serta camat, pergi ke lokasi sengketa tombak haminjon (PT Toba Pulp Lestari sedang melakukan penanaman eucalyptus di tombak Simonggo, Dolok Nabarat dan Dolok Ginjang).
Warga kemudian mempraktekkan bagaimana cara mengerjakan penyadapan getah haminjon atau biasa disebut manige dan ritual adat sebelum proses pengerjaan atau martonggo hal tersebut menggambarkan bahwa warga kedua huta (kampung) menyakini haminjon adalah titipan Maha Pencipta Langit dan Bumi serta leluhur yang harus dilestariakan, dijaga, agar terhindar dari kepunahan. Bisa dikatakan sebagai pememberi nafkah hidup bagi masyarakat adat Tapanuli khususnya bagi warga adat Pandumaan dan Sipituhuta.***Lambok Lumban Gaol