Lahan bekas HGU Nangahale-Patiahu Hak Wilayah Adat Wairkung-Pematuli
Jakarta 3/11/2015 – Delapan orang dari Suku Soge dan Suku Goban sebagai utusan Komunitas Adat Wairkung & Pematuli dari Kecamatan Waigete, Kecamatan Talibura, Kecamatan Waiblama, Kabupaten Sikka, Propinsi Nusa Tenggara Timur tiba di rumah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di bilangan Tebet Timur, Jakarta Selatan (3/11/2015 subuh). Mereka adalah Ignasius Nasi Soge, Leonardus Leo, Januaris Aris, Lodofikus Lado, Romanus Ruben, Yakobus Juang didampingi John Bala dan Are De Peskim. Menurut Are warga Wairkung – Pematuli akan mengklarifikasi tanah adat mereka ke Badan Pertanahan Nasional pusat tanggal (5/10/2015).
Dengan biaya swadaya mereka berangkat dari Maumere ke Jakarta menumpang KM Umsini dan tiba di Ibukota untuk satu tekad, memastikan bahwa status lahan bekas HGU Nangahale-Patiahu adalah hak wilayah adat Wairkung & Pematuli sejak dulu, jauh sebelum periode Belanda masuk ke sana. Belanda menguasai tanah adat mereka pada tahun 1912 melalui badan usaha Amsterdam Soenda Compagny sebagai suatu Naamlose Vennotschap (NV) dengan luas tanah 1,438 Ha untuk perkebunan kapas – kapuk kemudian kelapa. Pada tahun 1926 Amsterdam Soenda Compagny menjual lahan ini kepada kepada Apostolishe Vicariaat Van de Kleine Soenda Hilanden.
Sebelumnya pada tahun 1912 masyarakat Tana Pu’an Suku Soge dihalau dari lokasi pemukimannya di Pedan karena Pemerintahan Belanda melalui Amsterdam Soenda Compagny didukung Kerajaan Sikka untuk mengembangkan usaha perkapasan di atas wilayah masyarakat adat tersebut. Pada saat itu Moat Sugi tewas ditembak oleh Belanda dan dikuburkan di situ.
Setelah melewati berbagai rezim pemerintah termasuk stigma negatif pada tahun 1965 hingga akhirnya dikuasai oleh PT DIAG yang kemudian dialihkan (over) kepada PT Krisrama sebagai pemegang izin Hak Guna Usaha dari Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4/ HGU/89 dan berakhir pada tanggal 31 Desember 2013 lalu.
Usaha untuk menguasai kembali wilayah adat mereka ini sebenarnya berbagai upaya terus menerus dilakukan antara lain tahun 1996 Suku Soge diwakili komunitas Utanwair, Likonggete dan Runut menghadap Bupati Sikka, Aleks Idong, meminta pembebasan sebagian tanah HGU untuk pemukiman penduduk namun tidak berhasil. Pada Oktober 1999, Yoseph Lewor Goban mengorganisir Masyarakat Adat Utan Wair dan Likong Gete melakukan protes atas tanah HGU dan hutan tutupan di Tana Ai (kesatuan adat yang lebih besar).
Tanggal 15/2/2000 terjadi gerakan besar masyarakat Tana Ai Suku Soge dan Suku Goban memimpin aksi ke DPRD Kabupaten Sikka . Kemudian ada 86 KK warga Utan Wair melakukan reclaming tanah HGU Nagahale pada 26 Agustus 2000. Tanggal 13 September 2000 terjadi penangkapan 7 orang warga Likonggete dengan tuduhan mencuri asam di lokasi HGU Patiahu. Atas desakan masyarakat bersama PBH NUSRA mereka kemudian dibebasakan (15/9/2000).
Tanggal 15 s/d 17/1/2001 Masyarakat Adat Utan Wair bergabung dengan komunitas adat Tana Ai dan komunitas adat lainnya melakukan aksi ke DPRD Kabupaten Sikka. Hasilnya Bupati Sikka Drs. Paulus Moa mengeluarkan SK Pembentukan Tim Penyelesaian Kasus HGU Nangahale.
Pada 31/12/2013 didalam memperjuangkan kembalinya tanah tersebut Tana Ai telah melakukan berbagai upaya untuk tidak akan memperpanjang kontrak HGU lagi lalu melakukan aksi dan berdialog dengan Bupati dan DPRD Kabupaten Sikka Propinsi Nusa Tenggara Timur
Pada tanggal 22/8/ 2014, empat puluh dua orang wakil masyarakat adat Wairkung & Pematuli berdialog dengan Pemda Sikka di Aula Setda Kabupaten Sikka. Saat itu hadir Bupati Sikka, Ketua DPRD Sikka, Wakil BPN Sikka. Dari pihak PT Krisrama (PT DIAG) hadir P. Anton SVD. Bupati menyimpulkan bahwa tanah bekas lahan HGU ini adalah kewenangan BPN Pusat.
Pada tanggal 5 September 2014, masyarakat dari Tana Pu’an Suku Soge dan Tana Pu’an Suku Goban mengirim surat permohonan ke DPRD Sikka untuk meminta difasilitai pertemuan Presentasi Proposal Usulan Rekonstruksi Pemanfaatan Tanah Bekas Hak Guna Usaha Nangahale dan Patiahu. DPRD Sikka menyetujui dan bersedia berdialog dengan masyarakat pada tanggal 17 September 2014. Namun hingga saat ini usulan terhadap pemanfaatan tanah adat bekas HGU Nangahale dan Patiahu tersebut belum mendapat respons positif dari DPRD Sikka dan para pihak.
Oleh karena itulah masyarakat adat Wairkung & Pematuli Suku Soge dan Suku Goban berinstiatif memperjuangakan hak mereka ke BPN Pusat dan Instansi terkait lainnya. ***Ferdy Siwele
Selamat Pagi Flores Pos,Saya sdh membaca harian umum Flores Pos edisi 4 November 2015 bahwa ada utusan masyarakat adat LPMA Wairkung dan Pematuli terhadap BPN Pusat Jakarta.KIra-kira bagaimana hasil tatap muka mereka dan apa tindak lanjut perjuangan masyarakat adat kedepan? saya juga turut berterimakasih kepada PBH NUSRA Sikka yang sudah memfasilitasi keberangkatan utusan MAsyarakat adat sebanyak 8 orang yang sampai berhasil bertatap muka dan berdialog dengan pihak BPN Pusat.juga terhada AMAN Pusat yang sudah menerima utusan Masyarakat adat Wairkung dan Pematuli.semoga perjuangan MADAT tetap beradadi rel regulasi dan tidak melakukan berbgai hal yang berindikasi negatif.salam.