Suku Pagu merupakan komunitas adat yang mendiami pulau Halmahera bagian utara, mulai dari sekitar Teluk Kao sampai ke arah timur dari dataran Maliput dengan titik koordinat 1° 11’ 22’’U 127° 51’ 59’’ T. Masyarakat adat Pagu telah mendiami wilayah ini sejak ratusan tahun lalu. Wilayah adatnya berbatasan dengan Suku Modole dan Suku Sahu. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan, dengan memanfaatkan hasil alam yang melimpah.
Di wilayah Pagu, masih bisa dijumpai hutan-hutan Sagu (metroxilon sp) yang tumbuh secara alami. Ini merupakan salah satu pangan lokal. Selain itu masyarakat secara rutin mengusahakan padi ladang (oriza sativa), khas Halmahera. Tidak diketahui pasti kapan masyarakat Pagu mengenal padi dan mulai mengusahakannya, namun berdasarkan cerita tutur padi sudah ratusan tahun menjadi salah satu komoditas pangan yang dibudidaya dan diusahakan masyarakat.
Dalam mengusahakan padi ladang, masyarakat memiliki penanggalan khusus untuk menentukan musim tanam sampai kepada musim panen berdasarkan pengetahuan lokal yang dimiliki. Menurut warga Pagu, bulan tanam biasanya bulan Oktober dan November. Musim panen dilakukan antara bulan April-Mei.
Tradisi Berladang – Berkebun
Proses penyiapan lahan berlangsung setelah panen dilaksanakan. Penyiapan lahan ini bukan dilakukan pada lahan yang baru selesai ditanam, namun pada lokasi lahan lain yang pernah ditanami kemudian ditinggalkan beberapa waktu. Orang Pagu mengenalnya dengan Jorame. Jorame biasanya berisi pohon -pohon kecil atau semak dan bambu. Jorame inilah yang dibersihkan kembali.
Penyiapan lahan untuk musim tanam baru biasanya 4 – 6 bulan di Jorame yang sudah lama ditinggalkan. Prosesnya mulai dari penebangan pohon-pohon, pembersihan semak dan bambu. Setelah pohon-pohon tersebut sudah ditebang, ada masa untuk membiarkan pohon-pohon tebangan tersebut di atas tanah sebelum dibakar. Waktu bakar ditentukan dengan melihat cuaca dan waktu tanam agar lahan yang telah bersih tersebut tidak dibiarkan lama dan juga menghindari tumbuhnya alang-alang.
Cuaca juga menjadi pertimbangan para petani di Pagu untuk menghindari api merembet ke lokasi lain, makanya waktu bakar biasanya dekat dengan musim hujan bulan Agustus atau September. Menurut beberapa orang tua Pagu, jika siang hari cuacanya terlalu panas jadi lahan baiknya dibakar pada malam hari. Dengan alasan siang hari tak ada embun, sedangkan malam hari lebih banyak embun kemungkinan api merambat itu kecil peluangnya.
Pada saat membakar pun, lahan dijaga oleh pemilik lahan. Pada batas-batas lahan yang dibakar biasanya tidak ada timbunan kayu hasil pembersihan ladang, semuanya dibersihkan dan diletakan di bagian tengah ladang. Karena biasanya lahan untuk tanam padi dekat dengan kebun-kebun tanaman umur panjang seperti kelapa, pala dan cengkeh. Maka pada saat pembakaran lahan untuk tanam padi, lokasinya dijaga.
Pesta Padi Baru
Setelah musim panen, ada satu tradisi yang merupakan perayaan masyarakat adat atas hasil panen padi. Upacara ini biasanya dikenal dengan Pesta Padi Baru. Upacara ini dimulai dengan mempersiapkan peralatan upacara pada tiap marga. Ada belanga khas yang merupakan peralatan wajib yang harus disiapkan tiap marga guna dipakai memasak nasi, yang nanti disajikan di meja panjang pada saat upacara.
Bila semuanya telah siap, upacara diawalli dengan memberikan persembahan berupa beras yang telah dimasak menjadi nasi dari hasil panen kepada Gomanga. Masyarakat Pagu mengenal Gomanga sebagai leluhur yang memberi hasil panen yang baik. Persembahan ini biasanya diberikan per tiap marga dari hasil terbaik panen yang sudah disisihkan dengan di iringi doa-doa yang bersyukur dan meminta hasil panen yang baik di musim depan.
Setelah persembahan kepada leluhur diberikan, acara makan bersamapun dimulai. Para tetua dari masing-masing marga kemudian maju ke meja panjang dan mematahkan ujung dari nasi yang dibuat berbentuk tumpeng (tapi tidak mengerucut),dimasak menggunakan belanga, pertanda acara makan bersama dimulai.
Semua yang mengikuti upacara bisa menikmati seluruh makanan yang telah disajikan di atas meja panjang. Marga A bisa mencicipi makanan dari marga B ataupun sebaliknya. Selain makanan dari beras, ada juga sagu, ubi-ubian, ikan, kerang, daging, dan aneka macam sayuran, asli tanpa bahan pengawet dan bahan kimia lainnya. Ada juga minuman asli masyarakat adat yang disajikan, Saguer yang disadap dari nira pohon Aren (arenga pinnata), menambah keramaian upacara ini. Acara ini juga diisi dengan pentas tari tradisional sepeti cakalele dan tide-tide dengan di diiringi music dari group Yangeree.
Setelah pesta selesai, masyarakat kembali beraktifitas di kebun dengan memperbaiki lumbung, menyimpan beras di lumbung sampai menyiapkan lahan kembali untuk ditanam. Jadi kedaulatan pangan masyarakat adat itu ada dan sudah saatnya kita merdeka terhadap pangan lokal kita sendiri. ****Abe Ngingi dipublish di Halmahera Ekspedition Project