Jakarta 6/11/2015 – Setelah menempuh perjalanan panjang selama 5 hari menggunakan kapal laut dari Maumere, Sikka NTT, Komunitas Adat Wairkung dan Pemat-Tuli akhirnya berkesempatan bertemu pihak Kementerian Agraria yang diwakili oleh Direktorat Pengaturan dan Penepatan Hak Tanah, Jamaludin pada Kamis (5/11/2015) di ruang pertemuan Direktorat Pengaturan dan Penetapan Hak Tanah.
Dalam dialog yang berlangsung lebih dari satu jam tersebut, para utusan masyarakat adat menjelaskan persoalan mereka terkait status tanah eks HGU Nangahale, Kec. Talibura, Kabupaten Sikka. Mereka menyampaikan perihal sejarah penguasaan tanah, sejarah perjuangan, dan peta pemanfaatan tanah saat ini serta proposal rekonstruksi lahan paska berakhirnya HGU oleh PT. Perkebunan Kelapa DIAG. Januarius Aris meminta Kementerian Agraria dan Tata Ruang agar turun dan memeriksa langsung lokasi di lapangan.
Senada dengan Januarius Aris, Leonardus Leo, Tana Pu’an Suku Goban, menegaskan kedua kelompok masyarakat adat tersebut merupakan pemegang hak asal usul yang selama ini tersingkir dari tanahnya sendiri dan oleh karenanya pengambilan setiap kebijakan terkait tanah tersebut ke depannya harus melibatkan masyarakat adat.
Sementara itu, John Bala dari Perkumpulan Bantuan Hukum Nusa Tenggara yang selama ini mendampingi kedua komunitas ini, menyampaikan bahwa masyarakat adat telah berusaha menempuh berbagai dialog dengan DPRD, Pemda Sikka, maupun PT. Krisrama (yang ditunjuk oleh PT. Perkebunan Kelapa DIAG, untuk mengelola), namun tidak membuahkan hasil. “Pemda hanya melepas tanggung jawab dengan menyatakan bahwa persoalan HGU bukan wewenangnya melainkan wewenang pusat, sementara dalam dialog-dialog mereka tak ubahnya dengan juru bicara PT. Krisrama,” tegas John Bala.
Selain itu, Sinung Karto dari PB AMAN menghimbau Kementerian Agraria dan Tata Ruang agar turut memperhatikan kelayakan usaha perkebunan kelapa yang dikelola di atas lahan tersebut. “Saya tidak tahu ini wewenang Kementerian Agraria atau bukan, yang jelas mohon diperhatikan kelayakan usahanya, apakah masih produktif atau tidak, lalu bagaimana kondisi pekerjanya,” tegas Sinung.
Menanggapi hal tersebut, Jamaludin, menyampaikan bahwa pihaknya akan menunda proses memberian hak guna usaha pada PT. Krisrama sampai masalah tersebut terselesaikan. “Kami akan segera menyurati Kanwil BPN NTT untuk segera melakukan penelitian lapangan,” ujarnya. Jamaludin juga menegaskan bahwa sampai dengan saat ini PT. Krisrama belum mengantongi Hak Guna Usaha atas tanah seluas 638 Ha tersebut.
Turut hadir dalam kesempatan tersebut antara lain Ken dari Konsorsium Pembaharuan Agraria, Frangky dari PUSAKA, dan Valens dari JPIC OFM.
Kemudian masyarakat adat dan rombongan mendatangi Komnas HAM dan diterima oleh Natalius Pigai. Dalam kesempatan ini, masyarakat adat melaporkan sejumlah intimidasi serta pengrusakan atas kekayaan budaya baik itu situs untuk melakukan ritual-ritual adat yakni nuba dan mahe serta ritual itu sendiri.
Kepada masyarakat adat, Pigai menegaskan pihaknya akan menyurati Keuskupan Maumere/ PT. Krisrama dan akan menyelesaiakn persoalan ini dengan sebaik-baiknya. ***Are De Peskim