Penataan Ruang Wilayah Adat Kepulauan Mentawai Berbasis Ekologi
Jakarta 7/1/2016 – Dalam acara Share Knowledge (berbagi pengetahuan) tentang penanggulangan bencana di Kepulauan Mentawai yang berlangsung di Auditorium Perpustakaan Nasional Jalan Salemba Raya No 28 A Jakarta Pusat (7/1/2016) Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan mengatakan ada tiga hal penting yang menjadi fondasi masyarakat adat yaitu hubungannya dengan sang pencipta, hubungannya dengan alam semesta dan hubungan antar sesama. Jika diantara ketiganya tidak seimbang maka terjadilah bencana.
Pada kesempatan yang diselenggarakan Perkumpulan Skala, AMAN dan The Samdhana Institute ini Abdon Nababan lebih jauh menyampaikan dalam mengurangi resiko bencana sudah seharusnya melibatkan masyarakat adat.
“Alam kita sekarang sudah ganti, dulu hutan alam yang basah, sekarang hutan sudah kering. Manusianyapun beda, dulu masyarakat adatnya dominan, sekarang tidak lagi. Dalam situasi seperti ini kami senang bekerjasama dengan kawan-kawan Perkumpulan Skala. Karena kami sudah memulai upaya ini sebenarnya tahun 2010. Tapi kami mengambil kesimpulan kalau AMAN mengerjakannya sendiri tidak mampu, itu sudah terbukti,” kata Abdon.
“Yang bisa kita lakukan adalah membantu masyarakat adat memulihkan kembali hubungan-hubungannya dengan menyeimbangkan antara maha pencipta, alam semesta dan manusia. Bencana bukan sebagai peluang tapi kita mengingatkan ada masalah dalam relasi yang mendasar antara alam, maha pencipta dan manusia,” papar Abdon Nababan.
Sementara itu Wakil Bupati Mentawai, Rijel Samaloisa mengatakan bahwa masyarakat lokal selama ini telah mengalami diskriminasi baik dari pihak pemerintah maupun lembaga keagaamaan. Di Mentawai lembaga keagamaan punya peran besar menyingkirkan masyarakat adat dari posisi kehidupan mereka.
Konsep melibatkan masyarakat adat atau masyarakat lokal dalam penangulangan bencana perlu dipikirkan bersama-sama. Karena mereka bagian tak terpisah dari wilayah dan bencana itu sendiri.
Berbicara mengenai pembangunan tentu tidak lepas dari perencanaan. Pembangunan yang selama ini berlangsung perlu kita kritisi, masyarakat adat atau lokal perlu diberikan ruang yang besar untuk bersama-sama berperan dan berkontribusi dengan stakeholder lainnya memikirkan bagaimana sebaiknya menanggulangi bencana yang terjadi di wilayah Indonesia.
Pembangunan tidak akan bisa langsung dan dimonopoli oleh pemerintah. Ruang kekuasaan dan dukungan politik yang ada sekarang memberikan otonomi desentralisasi namun tidak bermakna bagus karena desentralisasi berhenti pada posisi kabupaten. Desentralisasi belum sampai ke tingkat kecamatan atau desa.
Kita bersyukur adanya undang-undang No 6 tahun 2014 tentang desa memberi peluang untuk bisa mengembangkan dan melaksanakan pembangunan serta penguatan.
Rijel memberi contoh ketika terjadi bencana tsunami pada tahun 2010 membangun hunian sementara korban tsunami (Huntara) pembangunannya dilaksanakan orang provinsi. “Kita bisa bayangkan tentang jarak yang jauh, masyarakat menerima apa saja. Orang-orang di kabupaten tidak berdaya, itu keputusan pusat,” papar Rijel.
Pemerintah masih strategis membuat tidak berdaya bukan hanya masyarakat tapi juga pemerintah lokal. “Pengeluaran izin HPH itu semua di kementerian bukan di kabupaten. Tiba-tiba ada kapling yang dibuat oleh pusat dan kita di kabupaten tidak tahu sama sekali, sangat ironis. Urusan kehutanan, kelautan, pendidikan itu ada di provinsi,” sambung Rijel.
Rijel menyampaikan meski proses pembuatan Perda RTRW Mentawai yang mengakomodasi kepentingan rakyat sulit, akhirnya disahkan pada tahun 2015. Perda tentang RTRW tersebut isinya sedikitpun tidak memberi ruang bagi perusahaan skala besar.
Rangkaian acara berbagai pengetahuan ini disamping pameran photo juga diselenggarakan diskusi publik dengan thema “Masyarakat Adat Dan Perihal Bencana” menghadirkan Annas Radin Syarif (AMAN), Irina Rafliana (LIPI), Nurdiyansah Dalijo (Perkumpulan SKALA), Esmat Wandra Sakulo (Pemuda Adat Mentawai).
Annas Radin Syarif menyampaikan bahwa salah satu kunci penangulangan bencana sebenarnya ada di tata ruang yang mengatur masyarakat dengan alamnya dan antara masyarakat dengan masyarakat itu sendiri. Karena masalahnya sistem yang ada di masyarakat selama ini banyak yang terganggu disebabkan oleh beberapa faktor baik eksternal maupun internal yang membuat kearifan leluhur itu terganggu.
“Saat ini ada beberapa masyarakat tidak bisa mempraktekkan pengetahuan-pengetahuannya karena terkait dengan ruang hidup dan wilayah mereka. Ketika ruang hidup itu tidak bisa mereka akses atau dipenuhi secara utuh maka dia tidak bisa mempraktekkan pengetahuan-pengetahuan leluhur terkait dengan wilayhnya,” papar Annas.
Sementara itu peneliti LIPI Irina Rafliana menyampaikan beberapa masalah sehubungan dengan sosialiasi program-program yang sudah berjalan. Misalnya soal bagaimana peralatan sistem peringatan dini itu bekerja. Masalah lain yang tak kalah pelik adalah soal relokasi korban bencana. Pemilihan lokasi mukim baru tidak direncanakan secara matang, sebagaimana kondisi pemukiman mereka sebelumnya. Bahkan ada relokasi yang tidak punya cadangan air bersih, kering, tandus dan tak layak jadi hunian sebagaimana kwalitas pemukiman mereka sebelumnya.
Selama di Mentawai Nurdyansah Dalijo melakukan pendekatan yang fokus terhadap perempuan adat dan selalu dilakukan dengan diskusi. Bagaimana peran perempuan adat dalam proses kebencanaan menjadi perhatian Nurdyansah. Dia menemukan bahwa yang bekerja di ladang-ladang itu adalah perempuan dan dilakukan secara kolektif.
Nurdyansah menyimpulkan bahwa hak tata kelola wilayah adat ada di pundak perempuan adat. Peran itu sebenarnya sangat penting dalam tata kelola wilayah adat tapi kemudian menjadi seolah-olah tidak relevan karena peran itu direbut lembaga keagamaan seperti gereja dan mesjid yang sebagian besar diisi oleh laki-laki.
“ Tanpa mengurangi niat baik dari pemerintah setempat memberikan bantuan, kadang –kadang tidak memperhatikan kebutuhan khusus perempuan yang ada di sana,” papar Nurdyansah.
Pada sisi lain Esmat Wandra Sakulo menyampaikan ada banyak pengetahuan leluhur dalam menyikapi bencana, tapi saat ini tidak bisa diakomodir dan diterapkan lagi. Bagi Esmat untuk saat ini perlu menggali kearifan dan pengetahuan-pengetahuan leluhur bagaimana mereka mengatasi bencana sebab masyarakat adat yang bemukim di bibir pantai dengan yang bermukim di bukit dan hutan itu berbeda.****JLG
Kearifan leluhur kadangkala ada sisi logis dalam masalah penangulangan bencana, seperti tanda-tanda alam, tapi dengan kemajuan teknologi sekiranya bisa diedukasikan secara pelan-pelan oleh lembaga pemerintah tentunya