Habinsaran 3/3/2016 – Tanah adat Matio adalah salah satu wilayah yang diklaim oleh PT TPL sebagai wilayah konsesi mereka di Tano Batak. Wilayah adat Matio memiliki luas ± 2500 Ha. Masyarakat adat Matio sudah tiga abad mendiami tanah adatnya itu. Dari luas tersebut hampir total keseluruhan berada dalam konsesi TPL. Artinya, hanya pemukiman, fasilitas umum seperti sekolah, gereja dan lahan di sekitar pemukiman yang tidak dikuasai oleh TPL. Sisanya ditanami eukaliptus, bahan baku pabrik TPL. Atas nama pembangunan masyarakat adat Matio nyaris punah. Hutan di wilayah adat Matio tidak akan ditemui lagi. Andai kata pada masa sekarang pemerintah meninjau dan mendata hutan, maka di Matio tidak akan ditemui lagi jenis tumbuhan hutan. Sederhananya Hutan Lindung pun tidak ada lagi.
Pada tahun 2014 TPL semakin menjadi-jadi, mereka meratakan lahan produksi masyarakat yang sangat sempit itu, padahal di dalamnya terdapat makam-makam leluhur Matio. TPL sama sekali tidak memperhatikan keberadaan masyarakat sekitar dengan segala hak asasinya yang paling mendasar sekalipun.
Masyarakat Adat Matio samapai saat ini terus berjuang melawan TPL. Mereka sudah melakukan pemetaan partisipatif atas wilayah adatnya, melayangkan surat audiensi ke Bupati Toba Samosir (Tobasa), Kadis Kehutanan Tobasa, pertemuan-pertemuan kampung hingga aksi turun ke jalan. Bersama AMAN, mereka semakin kukuh memperjuangkan tanah leluhurnya secara khusus dan Tano Batak secara umum.
Karena desakan dan perlawanan tegas yang tak henti, pada Kamis (3/3/2016) lalu diselenggarakan pertemuan Masyarakat Adat Matio, AMAN Tano Batak dengan pihak terkait langsung: Pemkab Tobasa diwakilkan oleh Asisten I, Kadis Kehutanan Alden Napitupulu, Kapolres Tobasa AKBP Jidin Siagian, Kakan Satpol PP Tobasa Elisber Tambunan, Camat Habinsaran Santo Pane, Kepala Desa Parsoburan Barat Demas Simangunsong, dan Tagor Manik Humas TPL. Pertemuan berlangsung di wilayah adat Matio yang secara administratif berada di Desa Parsoburan Barat, Kec. Habinsaran, Kab. Tobasa, Sumatera Utara.
Berikut hasil pertemuan membahas konflik tanah adat Matio dengan TPL
Laiknya dengar pendapat, masyarakat lebih dulu dipersilakan menyampaikan tuntutannya.
“Sejak kehadiran TPL yang dulunya masih bernama Indorayon, mereka dengan semena-mena memasuki wilayah adat kami mulai dari perusakan kolam ikan dan lahan perkebunan untuk dibuka jalan. Tetapi karena waktu itu masih di zaman orde baru, kami tidak bisa berbuat banyak untuk mengusir kehadiran mereka, karena kekuatan militer yang tidak bisa kami hadapi,” ujar salah seorang warga bermarga Siagian.
Seorang Natua-tua ni Huta (tetua adat) menambahkan, “kami sudah menguasai dan mengusahai tanah adat Matio sejak leluhur kami yaitu Ompung Puntumpanan Siagian membuka kampung tiga ratus tahun yang lalu. Itulah warisan leluhur kepada kami,” sergahnya.
“Namun sejak kehadiran PT Indorayon yang saat ini berganti nama menjadi TPL, tanah adat kami porak-poranda dirusak perusahaan. Pohon kemenyan yang masih diusahai ketika itu sudah habis karena dibabat TPL. Kini justru tanaman eukaliptus yang mengepung hingga ke perkampungan kami. Jadi, kami mendesak kepada pemerintah agar tanah adat yang diklaim sebagai hutan negara dan konsesi TPL untuk dikembalikan kepada kami,” kata tetua adat tersebut.
Sebuah peristiwa mengerikan kembali muncul sekitar dua tahun lalu, TPL dengan sesukanya, TPL memporakporandakan pemakaman leluhur Masyarakat Adat Matio, tanpa pemberitahuan, apalagi penghormatan. Tidak hanya itu, sumber air yang menjadi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat turut diracuni dan diputusnya sirkulasi kehidupan.
Batas – Batas Konsesi TPL Tidak Jelas
“Di tahun 2014 TPL merusak makam leluhur kami dengan menggunakan alat berat. Sumber air minum kampung ini juga disemprot dengan menggunakan racun kimia sehingga tidak layak untuk diminum. Demikian juga dengan debu yang ditimbulkan oleh lalu lalang kendaraan perusahaan juga membuat dinding rumah warga retak. Hal tersebut pernah dilaporkan kepada pihak kepolisian ketika terjadi perusakan makam leluhur kami. Tetapi sampai saat ini kami tidak pernah mendapatkan keterangan dari polisi terkait laporan tersebut.” Kata tetua tersebut
“Kami meminta kepada TPL dan Dinas Kehutanan agar memperjelas batas areal kerja TPL sampai di mana, agar warga Matio tidak ditangkapi ketika bekerja di ladang,” tambah Amani Marisa Siagian yang juga Ketua Pengurus Daerah AMAN Tobasa.
Menanggapi tuntutan masyarakat Matio tersebut Kadishut Napitupulu merespon dengan baik dan beliau sepakat dengan tuntutan warga.
“Seharusnya dua puluh tahun yang lalu sejak Indorayon mengantongi izin dari Menhut perusahaan telah melakukan tata batas. Kami saja pun tidak tahu yang mana batas kerja TPL. Oleh karena itu harus segera kita lakukan penatabatasan tanah adat dengan areal kerja TPL. Usul saya secepatnya kita buat bersama di lapangan,” ujar Napitupulu.
Kadishut juga menambahkan bahwa menurut aturan di kehutanan karena areal ini masuk dalam Hutan Produksi Terbatas seharusnya TPL tidak boleh merusak mata air dan tidak boleh menebang di pinggiran sungai.
Adapun pernyataan Kadishut Alden Napitupulu tersebut hanyalah pengualngan janji. Ia pernah menyampaikan hal serupa di kantornya sendiri di Balige, Agustus 2015 lalu. Dia Dia bahkan melakukan pendekatan secara kekeluargaan dengan nadanya yang ceplas-ceplos seolah meyakinkan. Sejauh ini tak pernah terlaksana jadi hanya bualan semata. Ia tidak pernah menindaklanjuti pernyataannya tersebut.
Masyarakat Adat Matio sendiri sudah melakukan pemetaan wilayah adatnya secara partisipatif. Peta gelang yang digambar pun sudah diserahkan pada Kadishut. Padahal warga Matio yang sudah siap dengan petanya sendiri ketika diminta melakukan pemetaan bersama juga menyatakan bersedia menemani tim pemetaan dari Dinas Kehutanan.
Masyarakat adat Matio menanti kehadiran tim tersebut, namun hingga pertemuan ini kembali digelar, Napitupulu memainkan kartu yang sama tanpa ada pelaksanaan di lapangan.
Menanggapi laporan warga, Kapolres Tobasa AKBP Jidin Siagian mengatakan bahwa pihak kepolisian tidak bisa menindaklanjuti hal tersebut karena tidak dilengkapi alat bukti. Kehadiran polisi di tanah adat pada umumnya tidak ubahnya sebagai tameng perusahaan. Berkali-kali kejadian bersifat pidana yang terjadi dilapangan ketika dilaporkan masyarakat, ke kepolisian hasilnya nihil. Sebaliknya saat masyarakat dianggap melakukan tindak pidana terhadap salah seorang buruh TPL, kepolisian akan turun ke lapangan menjemput tersangka. Biasanya berujung di penjara.
Pernyataan Kapolres Siagian pada pertemuan ini seolah tidak mengetahui persoalan. Tanpa bukti baginya, tidak bisa bertindak. Aparat membela diri dengan mengetengahkan hal-hal kecil namun diperbesar. Saat tanah adat dirampas, bagi mereka itu bukan bukti pelanggaran hukum.
Sementara itu pihak TPL yang diwakili oleh Tagor Manik mengatakan bahwa TPL bekerja berdasarkan izin yang diberikan oleh pemerintah. Begitulah Dinas Kehutanan, Kepolisian, TPL bahkan Pemkab Tobasa berprinsip setali tiga uang.
Meskipun demikian, Masyarakat Adat Matio tetap kukuh memperjuangkan tanah leluhurnya. Di sisi lain, setelah terpilihnya Darwin Siagian sebagai Bupati Tobasa diharapkan lobi politik bisa dimainkan masyarakat untuk memaksa TPL secepat-cepatnya keluar dari wilayah adat Matio.***Roganda Simanjuntak Ketua PW AMAN Tano Batak