Tuapejat 9/3/2016 – AMAN Kepulauan Mentawai melakukan seminar tentang urgensi pengakuan Masyarakat Hukum Adat pada 7 Maret 2016 di Bundo Guest House KM 6 Tuapejat Mentawai. Menurut Roland Pangaribuan salah satu narasumber dari kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (KLHK) bahwa sesuai Pasal 67 ayat 2 UU nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, pengakuan masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
“Masyarakat adat sebagai subjek hukum harus diakui dulu melalui penetapan Peraturan Daerah. Lalu wilayah adatnya sebagai objek diajukan ke Menteri untuk ditetapkan sebagai Hutan Hak bagi masyarakat adat yang bersangkutan,” papar Roland.
Dikatakannya jika hutan adat atau wilayah adat berada di Areal Penggunaan Lain (APL), maka penetapannya cukup dengan Surat Keputusan Kepala Daerah, sedangkan untuk wilayah adat yang berada di hutan negara, maka dilakukan melalui penetapan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan masyarakat hukum adat untuk kemudian ditetapkan oleh Menteri sebagai hutan hak yang merujuk kepada Permen LHK no 32 tahun 2015.
Saat ini kementerian LHK sedang melakukan pendampingan kepada daerah untuk menyusun Perda penetapan masyarakat hukum adat. “Untuk Sumatera Barat, kabupaten kepulauan Mentawai dan Tanah datar merupakan lokasi dampingan KLHK untuk penyusunan Perda Penetapan Pangakuan Masyarakat Hukum Adat” jelasnya. Ia menyebutkan bahwa pada 15 Maret 2016 akan dilakukan komunikasi multi pihak dalam rangka proses pendampingan pengakuan masyarakat hukum adat dan hutan adat di Padang.
Pada diskusi panel ia juga menjelaskan masuknya investasi Hutan Tanaman Industri (HTI) di Pulau Siberut Kepulauan Mentawai. Menurutnya hal ini terjadi karena belum adanya Perda, “hak-hak masyarakat adat belum diakui melalui Peraturan daerah sehingga HTI bisa masuk ke wilayah adat yang saat ini areal itu masih berstatus hutan negara,” terangnya.
Tidak hanya masalah wilayah adat, menurut Roland ketika pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat ditetapkan melalui Perda maka hak-hak trradisional dan pengetahuan tradisionalnya pun akan inklud dalam pengakuan itu. Ia mencontohkan buah merah dari Papua, karena tidak ada pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat di Papua maka hak paten obat dari buah merah diambil oleh pihak lain.
Pengertian masyarakat hukum adat pada prinsipnya sama dengan pengertian masyarakat adat versi AMAN dan bahkan ada yang menyebutnya indigeous peoples. Untuk itu ia menyarankan kepada DPRD Mentawai menyesuaikan penyebutan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum dengan menyesuaikannya dengan kondisi lokal.
Sementara itu Willianto Siagian dari Kementerian Dalam Negeri, dalam pemaparannya menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat telah ada sebelum NKRI. Ia menjelaskan bahwa UUD 1945 pada 18B ayat 2 menyebutkan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang-undang”.
Namun kelemahannya adalah belum ditetapkannya rancangan undang-undang tentang masyarakat hukum adat. Selain itu pemerintah daerah juga belum menetapkan regulasi hukum tentang pengakuan masyarakat hukum adat. Masalah lainnya menurut Willianto adalah tidak ada SKPD yang secara khusus mengurusi Masyarakat Hukum Adat.
Selanjutnya Wiliam Siagian mengatakan bahwa amanat Permendagri Nomor 52 tahun 2014 adalah agar Gubernur dan Bupati, Walikota melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dengan cara membentuk Panitia masyarakat hukum adat di kabupaten/kota yang akan melakukan indentifikasi, verifikasi masyarakat hukum adat untuk penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat.***Rapot Simanjuntak