Rakernas Perempuan AMAN I 2016-2020
Jakarta 20/4/2016 – “Pada Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pertama tahun 1999 perempuan adat itu sangat menonjol, membuat banyak orang kaget. Perempuan adat sangat vokal dan mewarnai keseluruhan kongres pertama. Baik lewat sidang-sidang, sarasehan dan juga aksi-aksinya,” kata Sekjen AMAN Abdon Nababan membuka Rapat Kerja Nasional PEREMPUAN Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Konsultasi Nasional PEREMPUAN yang berlangsung di Jakarta 19-23 April 2016.
Meskipun secara resmi organisasi Perempuan AMAN berdiri 16 April 2012 namun kalau berbicara mengenai kebangkitan perempuan adat sebenarnya bersamaan dengan kebangkitan masyarakat adat di Kongres Masyarakat Adat Nusantara yang pertama tahun 1999.
Pada kongres itu perempuan adat sangat menonjol, membuat banyak orang kaget, perempuat adat sangat vokal dan mewarnai keseluruhan kongres pertama. Baik lewat sidang-sidang, sarasehan dan juga aksi-aksinya.
Jadi kalau ada photo-photo terhebat yang sampai sekarang dipakai, untuk membuktikan bahwa ada kongres masyarakat adat Nusantara pertama, photo-photonya pasti perempuan adat lagi aksi. Saat itu perempuan adat sudah bersemangat punya organisasi sendiri. Semangat untuk berorganisasi sendiri banyak tantangannya.
Sejak berdiri tahun 1999 AMAN adalah organisasi masyarakat adat pertama di dunia yang memastikan bahwa Dewan AMAN nasionalnya sama jumlahnya laki-laki dan perempuan. Tiap provinsi satu laki-laki, satu perempuan. Itulah perjuangan perjuangan perempuan adat di kongres pertama.
Periode selanjutnya perjuangan perempuan adat sempat juga terancam, ada upaya untuk mengurangi bahkan meniadakan perempuan adat di dalam struktur AMAN. “Karena dalam pemikiran para pemimpin laki-laki masih sangat kental bahwa perempuan tempatnya di dapur dan mengurus anak saja. Perempuan tidak pantas mengurus hal penting itu terjadi di kongres ke dua di Lombok. Waktu itu ada perempuan adat dalam kepengurusan tetapi sudah tidak ditentukan lagi jumlahnya dengan alasan pertimbangan gender.
Pada kongres ke tiga di Pontianak para perempuan adat mengorganisir diri lagi. Berjuangan bersama lagi didukung laki-laki yang sejak awal berpihak dengan perempuan adat dan itu ditegaskan lagi di Tobelo. Dari 14 Dewan Nasional tujuh perempuan, itupun awalnya susah sekali. Bahwa ada upaya seporadik untuk mengurangi kehadiran perempuan itu tetap harus menjadi tugas kita untuk menjaganya.
Secara moral dan politik perempuan adat di AMAN itu sama posisinya dengan yang lain. Ini menjadi tugas pertama dan penting bagi perempuan AMAN, sebelum berjuang di tingkat negara ada perjuangan untuk mempertahankan garis perjuangan dimana perempuan adat posisinya setara dengan yang lain.
“Pernah juga ada satu proses untuk mendorong pendirian organisasi perempuan pada tahun 1999 tahun, sama dengan berdirinya AMAN di Bali yaitu Aliansi Perempuan Adat Nusantara (APAN), tapi tidak jalan,” sambung Abdon Nababan
Walaupun di lapangan di daerah-daerah banyak perempuan adat berjuang, tapi perempuan adat belum mampu mengorganisir diri. AMAN juga membentuk Direktorat Perempuan Adat itupun tantangannya besar. Kembali lagi pada masalah bagaimana mengelola organisasi.
“Sekarang sudah ada organisasi Perempuan AMAN sejak empat tahun lalu, juga tertatih-tatih. Perempuan adat yang berjuang banyak tapi memiliki kemampuan mengorganisir di level nasional ternyata susah sekali,” ungkap Abdon Nababan.
Melihat apa yang sudah berlangsung selama enam bulan ini, jika organisasi Perempuan AMAN ditekuni, ini akan menjadi organisasi gerakan perempuan terbesar. Abdon Nababan mengharapkan pengurus Perempuan AMAN disiplin dengan mekanisme rapat-rapat, sering bertemu, saling menguatkan, saling berbagi pengalaman dan melaporkan perkembangan di wilayahnya masing-masing. “Jika perlu melaksanakan Rakernas Perempuan AMAN sebanyak tiga kali, meski dalam statuta kewajiban melaksanakan Rakernas hanya satu kali dan itu sudah terpenuhi,” tambah Abdon Nababan.
Dalam Rakernas I Perempuan AMAN yang diikuti oleh 22 orang ini Abdon Nababan mengingatkan bahwa kekuatan perempuan adat dalam pengetahuan dan itu berhubungan dengan Garis Besar Program Kerja (GBPK). “Untuk kerja rilnya coba cari program yang memang bisa strategis untuk Perempuan Adat, walaupun isunya tetap wilayah adat, kedaulatan politik atau ekonomi,” papar Abdon Nababan lebih jauh.
“Perempuan adat yang hidup di kampung seperti kamera merekam. Kalau ada satu kejadian di satu kampung jangan tanya laki-laki, tanyakanlah pada perempuan. Kalau ada pengetahuan-pengetahuan dan bagaimana mengurus alam, merawat alam, tanya pada perempuan. Terlalu banyak pengetahuan perempuan adat sehingga harus dimulai dari sesuatu yang relevan dengan isu besarnya yaitu mempertahankan wilayah adat, mempertahankan politik adat, mempertahankan hukum adat”
“Pertanyaannya pengetahuan perempuan mana yang mau dikelola. Pengetahuan bertenun, pengetahuan menganyam, pengetahuan meramu obat-obatan, bercocok tanam. Harus lebih tajam, jangan umum,” jabar Sekjen AMAN dalam sambutannya. ***JLG