Langgar PERDA No.12 tahun 2004 Dan SK Bupati no. 300 tahun 2004 Demi Investasi
Penolakan Masyarakat Adat Seko atas rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) oleh PT. SEKO POWER PRIMA dan PT. SEKO PRADA di Wilayah Masyarakat Adat mereka mengundang banyak komentar dan opini dari berbagai kelompok Masyarakat, bahkan banyak yang menganggap penolakan Masyarakat Adat tersebut sebagai bentuk anti pembangunan sampai menyangkutpautkannya dengan urusan politik Pilkada.
Komentar dan opini yang muncul pun beragam, ada yang pro PLTA dan ada yang ikut menolak dengan berbagai alasan. Kelompok yang pro PLTA didominasi oleh politisi, birokrasi dan sebagian kelompok intelektual yang membenarkan proses perampasan atas wilayah Masyarakat Adat. Hal itu dapat dipahami, karena dimanapun koorporasi (baca: kapitalisme) bekerja pasti memerlukan dukungan dari tiga kelompok tersebut, sebab tugas mereka mengawal dan memuluskan jalannya investasi atas nama pembangunan.
Perlu dipahami bahwa apa yang melatarbelakangi penolakan Masyarakat Adat di wilayah adat Amballong, Pohoneang dan Hoyyane Kecamatan Seko tersebut atas rencana pembangunan PLTA di Wilayah Adat mereka.
Karena pembangunan PLTA selain mengancam hilangnya hak kelola Masyarakat Adat atas wilayahnya, juga akan berdampak secara sosial dan ekonomi, lebih jauh lagi berpotensi menimbulkan konflik sosial antar masyarakat yang pro-dan kontra, sebab dipastikan banyak investasi akan masuk pasca pembangunan PLTA tersebut.
Bukan hanya itu, hal tersebut juga melanggar hak Masyarakat Adat Seko yang secara tegas diatur dalam PERDA No.12 tahun 2004 tentang Perlindungan Masyarakat Adat di Luwu Utara, diperkuat lagi dengan SK Bupati no. 300 tahun 2004 tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Seko. Pada pasal 10 (a) SK Bupati Luwu Utara No. 300 tahun 2004 dengan tegas menyebutkan “Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 (sembilan) di atas diwujudkan dengan cara : Setiap pemberian izin pemanfaatan sumber daya alam di wilayah masyarakat adat Seko harus sepengetahuan masyarakat adat Seko”
Melihat fakta hukum tersebut. Maka Masyarakat Adat Seko wajib diberitahu dan mengetahui setiap proses perencanaan, pelaksanaan, tujuan dan dampaknya atas setiap proyek dan kebijakan pembangunan yang akan dilakukan di wilayah adat mereka. Hal ini sejalan dengan prinsip FPIC (Free, Prior, Informed, Consent).
Namun sejak perencanaan sampai izin eksplorasi dikeluarkan oleh pemerintah daerah Kabupaten Luwu Utara, tidak pernah ada proses sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk meminta persetujuan dari Masyarakat Adat, khususnya di Wilayah Adat Amballong, Pohoneang dan Hoyyane agar mengijinkan wilayah adat mereka sebagai lokasi pembangunan PLTA, dimana persetujuan tersebut harus melalui musyawarah adat Seko dikenal dengan istilah “Mukobo” yaitu proses pengambilan keputusan tertinggi melalui Musyawarah Adat.
Alih-alih melakukan proses-proses tersebut, pemerintah malah memaksakan agar pembangunan PLTA tersebut berjalan. Sebagai reaksi atas pembangun tersebut pada bulan September 2014, 500-an warga adat di Pohoneang dan Hoyyane menanda tangani dan melayangkan surat protes yang ditujukan kepada pemerintah daerah sebagai bentuk penolakan terhadap kehadiran PLTA di wilayah adat mereka.
Kepentingan Siapa?
Benarkah tujuan utama pembangunan PLTA oleh PT. SEKO POWER PRIMA dan PT. SEKO PRADA untuk pemenuhan kebutuhan energi listrik bagi masyarakat Luwu Utara melalui PLN, bukan untuk kebutuhan rencana industri pertambangan ekstraktif seperti yang selama ini disosialisasikan oleh pemerintah dan para kaki tangan perusahaan?
Mari kita bedah, berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No.19 tahun 2015 tentang pembelian Tenaga Listrik Dari Pembangkit Listrik Tenaga Air Dengan Kapasitas Sampai Dengan 10 MW. Dari judulnya PERMEN ESDM itu saja sudah dapat diketahui bahwa pembelian tenaga listrik yang bisa dilakukan oleh PLN pada perusahaan PLTA hanya bisa dengan batas maksimal 10 MW. Sementara PT. SEKO POWER PRIMA dan PT. SEKO PRADA investasinya untuk membangun PLTA dengan kapasitas 380 MW. Pertanyaannya 370 MW listrik itu mau dijual kepada siapa kalau bukan untuk menyuplai kebutuhan listrik untuk mendukung investasi pembangunan perusahaan-perusahaan tambang yang telah mengantongi izin eksplorasi di Kecamatan Seko dan Rampi.
Berdasarkan data dari Dinas Pertambangan Luwu Utara, terdapat 10 perusahaan tambang yang telah mendapat Izin Usaha Pertambangan (IUP) sejak tahun 2011, yaitu :
1. PT. Aneka Tambang, (Emas)
2. PT. Seko Bukit Mas, (Bijih Besi)
3. PT. Sapta Cipta Kencana Wisma, (Bijih Besi)
4. PT. Andalan Prima Cakrawala (Bijih Besi)
5. PT. Trisakti Panca Sakti (Bijih Besi)
6. PT. Citra Palu Mineral (Logam Dasar)
7. PT. Kalla Arebamma (Bijih Besi)
8. PT. Kalla Arebamma (Emas)
9. PT. Dataran Seko Perkasa (Bijih Besi)
10. PT. Samudra Raya Prima (Bijih Besi)
Dengan total luasan 237.984 Ha. Saat ini ada delapan perusahaan tersebut dicabut izinnya karena belum membayar pajak, dan dua izin yang masih berlaku yaitu; PT. Citra Palu Mineral dan PT. Kalla Arebamma.
Jadi alasan bahwa pembangunan PLTA sepenuhnya untuk kebutuhan listrik masyarakat yang selama ini dikoar-koarkan oleh kaki tangan perusahaan PLTA kepada Masyarakat Luwu Utara adalah suatu kebohongan besar seolah gayung bersambut dengan seringnya pemadaman listrik yang terjadi di Luwu Utara akhir-akhir ini.
Pertanyaannya kemudian siapakah yang akan diuntungkan dan siapakah yang akan dipinggirkan haknya dalam rencana kebijakan pembangunan yang melibatkan kelompok Bisnis, Politik dan Intelektual tersebut?
Sembari mencari jawaban atas pertanyaan di atas, saya mangajak semua pihak untuk memahami bahwa Masyarakat Adat itu tidak anti-pembangunan. Tetapi anti terhadap proses yang mengabaikan hak-hak mereka. Anti terhadap invasi pembangunan yang rakus tanah dan menghancurkan wilayah adat titipan leluhur. Anti pembangunan yang tidak memikirkan nasib dan masa depan generasi -generasi mendatang.**** Abdi Akbar Anggota Komunitas Adat Amboan – Rongkong – Staff Direktorat Politik – Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN)