Masyarakat Adat Belaban Ella Tagih Pengesahan Perda
Thomas Kepala Desa Belaban Ella, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Provinsi Kalimantan Barat menceritakan bagaimana kondisi Masyarakat Adat Belaban Ella merasa disingkirkan dari wilayah adatnya dengan keberadan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR). Desa Belaban Ella yang dihuni oleh dua sub-suku yaitu Dayak Ransa dan Dayak Kenyilu, memiliki aturan hukum adat dan wilayah adat sejak nenek moyang mereka. Oleh karena itu masyarakat adat Belaban Ella meminta keberadaan dan haknya diakui melalui Peraturan Daerah (Perda) Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat.
Karena sampai sekarang belum ada kejelasan dari Eksekutif dan Legislatif Kabupaten Melawi tentang nasib Perda yang pernah dijanjikan oleh Abang Tajudin Ketua DPRD Kab Melawi, sementara antara warga Komunitas Belaban Ella dengan pihak TNBBBR kerap terjadi ketegangan. Misalnya pada 2007 warga Belaban Ella yang ditangkap petugas patroli TNBBBR dan hal itu masih menyisakan trauma bagi warga di sana.
Pori, Toro dan Manan warga Belaban Ella ditangkap petugas patroli TNBBBR Kalbar dengan tuduhan menebang pohon di wilayah TNBBBR. Sementara mereka menebang pohon dengan tujuan membersihkan lahan sebelum berkebun dan wilayah tersebut yang diyakini merupakan wilayah adat Belaban Ella hal itu dibuktikan dengan adanya pondok tua di wilayah tersebut. Tetap saja mereka ditangkap dan pondoknya dibakar.
Sedangkan perjanjian yang dibuat oleh TNBBBR dengan warga Komunitas Belaban Ella keduanya sama-sama memiliki hak menjaga hutan. Hal ini menunjukkan pemerintah tidak menepati janji yang sudah disepakati. Dengan adanya kejadian di atas Masyarakat Adat Belaban Ella berharap Perda Adat segera disahkan untuk melindungi hak-hak mereka.
Dalam kesempatan terpisah Glorio Sanen Deputi Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Kalimantan Barat mengatakan,” seharusnya Bupati Kabupaten Melawi tidak perlu menunggu Perda pengakuan terhadap hak-hak Masyarakat Adat. Peraturan Menteri dalam Negeri No. 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, selain itu ada Peraturan menteri Agraria Dan Tata Ruang No. 09 tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu, dengan demikian ini merupakan landasan dasar masyarakat adat memiliki hak terhadap tanah mereka. Kasus di Belaban Ella menunjukkan urgensi wilayah adat dan membuktikan proses tata ruang tidak melibatkan masyarakat adat dalam proses pengelolaannya sehingga terjadi salah pengertian,” papar Rio.
Rio menambahkan hukum di Indonesia harusnya mengandung nilai keadilan tidak konservatif melainkan harus progresif, Karena tujuan hukum dibuat secara tertulis mengandung nilai keadilan dan bermanfaat melindungi masyarakat bukan mengkriminalkannya.
Di Kalbar bukan lagi jadi rahasia umum bagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah yang bertujuan membangun masyarakat, dalam realita di lapangan malah menjadi bumerang bagi masyarakat khususnya masyarakat adat. Beberapa daerah lain juga pernah mengalami kriminalisasi dari aparat seperti di Kecamatan Dait, Kabupaten Landak, bahkan di Kabupaten Sintang juga pernah terjadi di Kecamatan Kelam, Desa Engkelumik.
Dampaknya dari kurangnya sosialisasi tersebut menyebabkan masyarakat adat merasa kehidupan mereka terancam karena menyempitnya ruang hidup dan wilayah adat mereka sehingga menimbulkan rasa tidak puas dan akhirnya terjadi konflik baik dengan perusahaan maupun pemerintah.
Hal di atas mungkin terjadi akibat kurang efisiennya sosialisasi pemerintah serta tidak melibatkan masyarakat adat dalam menjalankan programnya. Masuknya pihak swasta dalam membuka lahan juga menimbulkan konflik antara masyarakat adat dengan pihak swasta dalam hal ini perusahaan sawit, tambang dan illegal logging terselubung lewat izin dan program pemerintah.***Paulus Ade Sukma Yadi