Diskusi Publik “Selamatkan Wilayah Adat Hutan Moi Yang Tersisa”
Aimas 26/05/2016 – Sekda Kabupaten Sorong, Lasarus Malagam, S Sos. M.SI saat membuka acara Gelar Diskusi Publik “Selamatkan Wilayah Adat Hutan Moi Yang Tersisa” di Hotel Aquarius Aimas (26/5/2016) menyambut dengan baik pelaksanaan acara diskusi yang diselenggarakan Pengurus PD AMAN Sorong Raya dengan Ketua Kostan Magablo.
“Tanpa hutan kita menangis, lalu bagaimana diskusi ini bisa mencari solusi terhadap hutan Moi,” katanya.
Lebih jauh beliau menyampaikan bahwa melalui diskusi seperti ini diharapkan membawa dampak baik, sehingga ketika masyarakat dilembaga adat nantinya melakukan musyawarah akan mengingat apa yang rekomendasikan. Kemudian apakah masyarakat menilai positif atau negatif Pemeritah Daerah Kabupaten Sorong yang dipimpin oleh Bapak Stepanus Malak dalam menjalankan akhir kepemimpinannya selama dua priode, membangun Kabupaten Sorong adalah soal lain.
Masyarakat sering mengalami kesulitan saat berhadapan dengan perundang-udangan yang berlaku di negara ini.Presiden ganti presiden ada aturan baru, DPR ganti DPR ada aturan baru. Kepentingan lainnya masih pakai UUD 1945, yang sebagian lagi sudah pakai aturan untuk kepentingan tahun 2017-2023.
“Bagaimana kita mau bicara kepentingan bersama, kita pakai aturan ini, sementara negara sudah pakai aturan baru, kita mau bikin apa?” tanya Lasarus Malagam dalam sambutannya membuka acara.
Luas Tutupan Hutan Malamoi
Pemaparan materi yang disampaikan oleh Ir. Bennyamin Hallatu Kadis Kehutan Kabupaten Sorong tentang luasan hutan yang mulai hilang akibat terjadinya pemekaran-pemekaran wilayah. Data ini masih sementara, tetapi rilnya di provinsi 832 hektar, fungsi kawasan konservasi kurang lebih 14 ribu hektar, hutan lindung 61700 hektar, hutan produksi 148 ribu hektar, hutan produksi terbatas 16000 hektar, hutan produksi konversi 479 hektar dan ATLnya adalah 18000 ribu hektar.
Tetapi dari hasil peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) masih berada di atas 30%. Ada juga kawasan-kawasan sudah berada dalam kawasan lahan kritis demikian disampaikan oleh Kepala Dinas Kehutanan tersebut bahwa lahan kritis di Kabupaten Sorong harus ditanami kembali meski bukan karena perbuatan masyarakat.
Selanjutnya beliau juga meminta seluruh Dewan Masyarakat Adat Moi, mahasiwa, pemuda dan LSM lokal, ikut aktif dan perlu melakukan evaluasi bersama agar bisa mengetahui berapa luasan hutan yang sudah dilepaskan untuk perkebunan, berapa luasan yang dilepaskan untuk infrastruktur semua itu tentu berada dalam tata ruang wilayah. Itulah yang menjadi dasar ketidak tahuan warga adat bahwa ternyata kawasan hutan Moi yang masih ada pun berada dalam konsesi sawit, pembagunan infrastruktur dan sebagainya.
“Kalau bicara masalah perlawana, saya sendiri pernah terlibat. Pada saat itu saya masih SMP, dan kamipun membentuk kelompok perlawanan pada tahun 1993 waktu itu ada mahasiswa yang ikut yaitu Jhon Fami, Maikel Wali. Mereka mendengar informasi bahwa akan ada trasmigrasi dan HPH yang akan masuk ke wilayah Kabupaten Sorong. Mereka kemudian cepat melakukan sosialisasi kepada masyarakat, ternyata perjuangan mereka sampai saat ini tidak berhasil, Bapak paulus sampisa mengatakan saya secara pribadi kecewa karena, sampai saat ini sawit masi beroperasi diwilayah Kabupaten Sorong.
Dilanjutkan oleh Jhosua Ulim Sekretaris Dewan Adat Malamoi Distrik Makbon mengatakan bahwa mereka pernah melakukan demo di kator polisi Distrik Makbon menolok kebijakan pemerintah Kabupaten Sorong yang memberikan izin pekebunan di lembah Klaso. Sudah jelas kami tidak menerima investasi apapun masuk ke wilayah adat kami,” ujarnya.
Jhosua Ulim kemudian menyampaikan keluhan kepada Kepala Dinas Kehutanan Sorong,” kenapa bapak-bapak pada tahun-tahun sebelumnya membodohi kami? Saat ini kami masyarakat adat sudah jelas tahu, bahwa itu adalah hak kami, karena kami belajar dari Putusan MK No 35, semua hak atas hutan adat harus dikembalikan kepada masyarakat sebagai pemilik hak ulayat. Peran Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi dalam hak-hak masyarakat adat, dalam pemaparan materi beliau lebih memilih untuk pemutara film Dokumenter tentang perjuangan Masyarakat adat Ekuador dalam mempertahankan hak-hak adat.
Ketika menonton film tersebut tokoh adat Kampung Mibi Distrik Makbon Paulus Sapisa mengatakan, film ini sangat relevan dengan kehidupan adat di tanah Moi. Seharusnya ada generasi-generasi baru yang mampu menjadi pejuang-pejuang untuk mempertahankan budaya dan hutan. Pemerintah harus menjalin kemitraan dengan masyarakat adat serta memfasilitasinya dalam segi finansial untuk memberikan solusi bidang pendidikan, agar masyarakat bisa mengusahakan hidupnya tanpa mengganggu keutuhan hutan.
Kesimpulan akhir dari diskusi ini mendesak pemeritah daerah memperkaya produk regulasi peraturan yang digagas bersama oleh pemeritah, mahasiswa dan LMA mengasilkan satu produk hukum Regulasi PERDA Tentang perlidungan hutan dan hak-hak masyarakat adat.***Achel Ulimpa