Jakarta 01/05/2016 ̶ Dampak dari program pembangunan pemerintah belum punya solusi yang kongkrit untuk para korban terutama korban penggusuran pemukiman. Melihat realita ini, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menggelar acara “Aksi Melawan Perampasan Tanah” pada tanggal 31/5/2016 bertempat di Gedung Joang 45, Menteng, Jakarta Pusat.
Sebagai narasumber hadir Marlo Sitompul, Ketua Umum Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), Sandyawan Sumardi, Ketua Umum Komunitas Ciliwung Merdeka, Dandhy Dwi Laksono pendiri Watchdoc, Iwan Nurdin Sekretaris Jenderal KPA.
Dalam paparannya Iwan Nurdin mengatakan perampasan tanah di Indonesia didominasi oleh sektor perkebunan, sektor pertanian, sektor kehutanan, sektor pesisir dan kelautan. Pada tahun 2016 pemerintah dan korporasi berkolaborasi merampas hak rakyat atas tanah dalam berbagai kebijakannya pemerintah masih saja melakukan penggusuran. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah belum sadar dan masih lalai dalam merealisasikan kebijakannya, karena belum tepat sasaran.
Iwan menambahkan KPA mencatat Konflik Agraria disektor Infrastruktur Pemerintah menempati peringkat tertinggi. Sekitar 215 kasus Konflik Agraria terjadi di sektor Infrastruktur pada tahun 2014, tahun 2015 meningkat lagi dengan bertambahnya 70 kasus Konflik Agraria disektor Infrastruktur. Penggusuran diprediksi akan terus meningkat karena belum dilaksanakannya perencanaan pembangunan yang adil, merata, berkelanjutan dan partisipatif.
“Dalam catatan KPA beberapa kasus penggusuran dan menyita perhatian publik diantaranya adalah penggusuran Pasar Ikan di Penjaringan terkait isu reklamasi, penggusuran terkait Bandara Internasional di Jawa Barat, penggusuran Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, penggusuran Kampung Pulo Bukit Duri, penutupan akses di Zona Konservasi Taman Nasional Pulau Komodo dan Dongi-dongi,” papar Iwan Nurdin.
Dalam kesempatan ini Marlo Sitompul mengatakan program normalisasi pemerintah berdampak negatif bagi warga miskin. Dampak penggusuran paling dirasakan oleh buruh cuci gosok. Sebelum pemukiman mereka digusur biasanya mereka hanya turun ke sungai untuk mencuci, setelah digusur dan dipindahkan ke pinggiran Marunda mereka harus mengeluarkan biaya tambahan sebesar Rp 5.000,00 per harinya untuk menuju tempat mereka mencuci.
Menurut Marlo kondisi di lapangan IMB memang tidak ada tetapi mereka harus membayar PBB hal seperti ini merupakan polarisasi perkotaan oleh pemerintah, karena dalam UU Pertanahan jika sudah dua puluh tahun menduduki suatu tanah maka dia berhak atas tanah tersebut.
Melihat kondisi tersebut Marlo berpesan agar masyarakat kritis mengidentifikasi rencana pemerintah, supaya tidak hanya jadi kepentingan pihak swasta, lalu rakyat kecil tidak lagi menjadi tumbal kebijakan dalam pembangunan pemerintah.
Pada kesempatan ini Sandyawan Sumardi menyampaikan pada tahun 2003 Indonesia mendapat penghargaam sebagai kaum tergusur di negeri sendiri. Hal tersebut diperkuat oleh Peraturan Daerah tahun 2012 terkait normalisasi Ciliwung menggusur 13.000-an KK dari Kampung Pulo karena ada perubahan peruntukan tanah. Selanjutnya tahun 2015 terdapat 30 kasus, 443.000 unit usaha yang menjadi korban penggusuran. Sandyawan mengatakan masyarakat harus mengerti akan pemetaan tanah, menggali sejarah, memberikan syarat alternatif dan pemetaan hukum, supaya ke depannya dampak dari program pemerintah dapat dipahami oleh masyarakat dan tidak mempersulit kehidupan warga setempat.
Sebelum memulai paparannya Dandhy Laksono memutar film Semen VS warga Samin di Pegunungan Kendeng Jawa Tengah dan film “Rayuan Pulau Palsu” sebagai bentuk menolak reklamasi. Dandhy memaparkan kampanye melalui pemutaran film merupakan kampanye yang sangat efektif, mudah dipahami dan menyentuh terutama untuk masyarakat luas. Reklamasi dapat diartikan sebagai bentuk pembangunan infrastruktur yang tidak partisipatif dan mengabaikan hak-hak masyarakat.
Beberapa Korban Program Pemerintah Memaparkan Pengalaman Mereka
Fitri dari Penjaringan mengatakan ada 200 KK di daerahnya tergusur akibat dampak normalisasi. Dalam proses normalisasi ini dilakukan tanpa sosialisasi akan adanya penggusuran. Hanya himbauan spontan dari pemerintah datang menyampaikan pada warga harus pindah dalam waktu 1 x 24 jam, jika tidak maka air dan listrik akan diputuskan alirannya.
Bambang Nurdiansyah memberi kesaksian sejak tahun 2004 hingga tahun 2016 belum ada sosialisasi dari pemerintah tentang akan dibangunnya bandara seluas 1.800 hektar di Suka Mulya. Pemerintah melakukan berbagai cara mulai dari mendatangi rumah warga lalu mengambil KTP, mengancam jika tidak menyerahkan KTP warga akan dihadapkan ke pengadilan.
Intimidasi lainnya jika tidak menyerahkan KTP, digusur tiba-tiba dan ruang geraknya dipersulit, ini merupakan ancaman dari bupati setempat. Bambang juga memaparkan dampak dari penolakan mereka selama 10 tahun infrastruktur jalan tidak dibangun. Pada tahun 2014, 400-an orang personil aparat hendak menggusur paksa rumah warga dilawan oleh 20 orang warga, berujung bentrok, sebanyak 6 orang warga mengalami patah tulang dan luka-luka.
Anto dari Cipini memberi kesaksian kampungnya dieksekusi pukul 05:00 WIB, mereka berhadapan dengan Polisi dan Satpol PP. Karena tak mampu menghadapi serbuan aparat tersebut mereka menyerah dan terpaksa tinggal di rumah susun dengan kwalitas jika hujan bocor dan harus membayar listrik, air. Akibatnya banyak warga terhimpit hutang sampai sekarang tidak mampu membayar biaya perbulan, sebab tidak tersedia lapangan kerja di tempat baru itu.
Ratna dari Kampung Pulo mengatakan sosialisasi pemerintah sangat mendadak, pemerintah hanya punya solusi rumah susun. Pemerintah memaksakan program normalisasi Ciliwung dengan arogan tanpa mendengar aspirasi dan partisipasi masyarakat.
Di tempat sama Vera Wheni Soemarwi, SH., LL.M. sebagai Akademisi Pusat Studi Hukum Ekonomi dan pendamping warga Kampung Pulo berpendapat bahwa acara diskusi “Aksi Melawan Perampasan Tanah” yang diselenggarakan KPA ini, sangat baik untuk mengumpulkan korban, sehingga masyarakat mengetahui dengan apa yang mereka sampaikan.
Semakin banyak korban bersuara maka semakin terbangun kekuatan untuk menuntut keadilan yang substansial. Hukum di negara ini tujuannya positif dan merupakan mandat UU No. 2 tahun 2012 dan Perpres tahun 2012, tetapi mekanisme dan hukum harus diperhatikan dengan matang, mengingat banyak terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Vera berharap agar pemerintah dalam membangun infrastruktur harus memperhatikan apakah pemerintah daerah menerapkan keadilan, jika tidak maka akan memberikan peluang pelanggaran HAM dilakukan oleh Pemda secara masif. Vera juga berpesan kepada masyarakat khususnya korban perampasan hak tanah terus berjuang dan tetap semangat. “Diplomasi tanpa perjuangan tidak akan ada keadilan,” ujarnya *** Paulus Ade Sukma Yadi