Seluruh Kepala Desa Sepakat Pengelolaan Hutan Di Mentawai Berskema Hutan Adat
Tuapeijat – Pengelolaan hutan Mentawai menggunakan pendekatan skema hutan adat hal ini diputuskan dalam Rapat kerja (Raker) Dinas Kehutanan, Provinsi Sumatera Barat – Dinas Kehutanan Kabupaten Kepulauan Mentawai bersama seluruh kepala desa se Kabupaten Mentawai (2/6/2016).
Meski ada pilihan skema perhutanan sosial seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan Hutan Desa (HD) yang dipaparkan Kusworo Mulyono, Kepala Seksi Perhutanan Sosial Dinas Kehutan Provinsi Sumatera Barat, namun puluhan kepala desa yang hadir tetap mendorong hutan adat.
Selain kepala desa, Raker yang difasilitasi oleh United Na United Nations Development Programme (UNDP) melalui Pokja Pengembangan Perhutanan sosial Provinsi Sumatera Barat dihadari Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Mentawai, Yayasan Citra Mandiri (YCM) Mentawai dan tokoh masyarakat.
Skema hutan adat tersebut sangat tepat dilakukan di Mentawai, karena kepemilikan tanah di Mentawai sudah jelas diwarisi masyarakat adat, dengan skema hutan adat masyarakat mendapat ruang hidup untuk mengelolah hutannya sendiri dan kepemilikannya juga tanpa ada batasan waktu.
Selester Saguruwjuw, salah satu tokoh masyarakat sekaligus narasumber pada Raker tersebut merekomendasikan agar skema hutan di Mentawai sebaiknya skema hutan adat. “Kami masyarakat adat tidak setuju dengan perhutanan sosial, kami menghimbau agar pertemuan kita ini sepakat mendorong hutan adat,” katanya pada forum yang dihadiri Yuli Prasetyo Nugroho dari Kemen LHK.
Tak hanya kepala desa yang mendorong hutan adat pada Raker ini, skema hutan adat di Mentawai juga dodorong oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Mentawai dan Yayasan Citra Mandiri (YCM) Mentawai.
Dorongan skema hutan adat juga disuarakan oleh AMAN Mentawai dimana kegiatan-kegiatan AMAN Mentawai fokus untuk memperjuangan hak masyarakat adat yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya.
AMAN Mentawai saat ini telah memetakan wilayah adat di Mentawai seperti di Komunitas Saureinu’ Matobe, Rokot dan Goiso’ Oinan, yang ada di Puau Sipora, sementara yang ada di Pulau Siberut Komunitas Salappak, Rogdok (Suku Saguruwjuw), Puro (Suku Sabulukkungan dan Satoutou).
Menanggap pemaparan yang disampaikan oleh Kusworo soal perhutanan sosial tak ada satupun kepala desa yang antusias untuk mengkaji lebih jauh apalagi jika skema perhutanan sosial seperti penjelasan Kusworo bahwa Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan Hutan Desa (HD) memiliki batas hingga 35-60 tahun dan bisa diperpanjang.
Sementara soal batasan kepemilikan hutan adat yang tidak dijelaskan Kusworo pada table pemaparannya ditanyakan Rapot Pardomuan kepada Yuli Prasetyo dari Kemen LHK ternyata hutan adat tidak ada batasnya.
“Kalau kepemilikan hutan adat tidak ada batas waktunya dan bebas dari izin,” jawab Yuli Prasetyo Nugroho, Kasubdit Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merespon pertanyaan Rapot soal batas waktu kepemilikan hutan adat.
Yuli Prasetyo Nugroho, Kasubdit Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mengatakan Kemen LHK memiliki kebijakan terkait hutan adat yang berada di kawasan hutan.
Untuk mengembalikan atau mengeluarkan hutan adat yang berada di kawasan hutan kata Yuli harus dibuat Perda, sementara untuk hutan adat yang berada di luar kawasan hutan atau Area Penggunaan Lain (APL) bisa melalui Surat Keputusan (SK) Bupati.
Dalam forum ini AMAN Mentawai menjelaskan cara kerja pemetaan wilayah adat dengan mencantumkan etnografi atau mengkaji sejarah asal-usul di suatu komunitas sebagai dasar pengakuan subjek hukum masyarakat adat.
Mangasa, Kepala Desa Betumonga menjelaskan soal klaim negara terhadap kawasan hutan sangat menyulitkan kehidupan masyarakat apalagi jika masyarakat ingin mengambil kayu untuk membangun rumah padahal menurut dia kayu tersebut berada tanah adatnya yang sudah diklaim sebagai hutan lindung.
“Sangat ironis sekali kebijakan soal klaim pemerintah, kami ingin mengambil kayu untuk membangun rumah di tanah kami tidak bisa, dikatakan sebagai tanaman lindung, ini yang kami rasakan. Tetapi soal izin lain yang mencoba masuk ke Mentawai sangat gampang contohnya saja izin sawit, kalau tidak ditolak masyarakat mungkin sudah masuk tetapi Pemda diam saja,”kata Mangasa dengan nada kesal.
Kemudian, Firman Saogo Kepala Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan mengatakan kekecewaanya dengan adanya PT. MPL yang beroperasi di Sikakap, Ia mengatakan ruang kelola masyarakat sangat minim. “Dari cerita nenek moyang kami, tanah kami tidak ada yang berbatasan dengan HPH, sawah dan pemukiman masyarakat saja dimasukan kawasan HPH,” kata Firman.
Dengan banyaknya masukan terkait hutan adat tersebut akhirnya disepakati oleh seluruh kepala desa bahwa skema pengelolaan hutan di Mentawai menggunakan skema hutan adat. “Kalau percepatan hutan adat kami sangat antusias,” kata Alizar, Kepala Desa Muara Siberut.
“Saya sepakat apa yang dilakukan oleh teman-teman kita AMAN Mentawai yang telah memetakan beberapa wilayah adat, karena saya kasihan melihat masyarakat yang mau bikin sampan tidak bisa, jadi saya mendukung hutan adat adat, apa yang dilakukan oleh AMAN Mentawai saya akan ikut untuk sosialisasikan hutan adat,” kata Alizar.
Perwakilan dari Desa Matobe, Supono Samanginlailai juga sangat mendukung skema hutan adat di Mentawai. “Tidak menjadi persoalan apa yang sudah dilakukan oleh teman-teman AMAN Mentawai, itu yang seharusnya kita lakukan dan kita harus segera memetakan secara keseluruhan wilayah adat kita, sekarang kita sudah temukan persoalannya ada di DPRD,” kata Supono.
Seluruh kepala desa yang hadir dalam diskusi ini akhirnya sepakat bahwa pengelolaan hutan di Mentawai berskema hutan adat. Dengan kesepakatan tersebut seluruh kepala desa melalui forum komunikasi para kepala desa yang sudah dibentuk akan mendatangi DPRD Mentawai untuk berdiskusi dan menyatakan sikap untuk mendorong penetapan Ranperda PPMHA.
Menindak lanjuti hasil Rapat kerja (Raker) tersebut Kementrian LHK pada pertemuan lanjutan di Kantor AMAN Mentawai pada Jumat, 3 Juni lalu akan melakukan verifikasi komunitas adat dan wilayah adat di Mentawai.
Peta wilayah adat dan komunitas masyarakat adat yang tergabung di AMAN Kepulauan Mentawai serta data sosial yang telah didapatkan melalui kajian etnografinya akan diverifikasi oleh Kementerian LHK. ***Patris Sanene