Kalau kita mengamati perdebatan publik yang juga tercermin dalam liputan media massa tanah air, sorotan utama pada hampir seluruh pembicaraan tentang “demokrasi kita” menguatnya pengaruh kapital (politik uang) dalam perebutan jabatan-jabatan politik dalam negeri, mulai dari pemilihan kepala desa, bupati/walikota, gubernur sampai tingkat presiden.
Situasi itu dengan gamblang bisa kita hubungkan bahwa telah terjadi kecenderungan liberalisasi politik, demokrasi semakin menjauh dari falsafah hidup kebangsaan Indonesia, yaitu Pancasila, khususnya sila ke empat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” – Kondisi tersebut merupakan bagian dari perubahan besar dan mendasar yaitu pergeseran nilai hidup dalam Masyarakat Indonesia, dari yang sebelumnya bersifat kolektif (kebersamaan) menjadi semakin individualistik.
Kehidupan bersama sebenarnya sudah mengakar pada budaya politik lokal bangsa-bangsa (nations) hidup dan berkembang sebelum adanya Bangsa Indonesia dimana pengorganisasiannya diwadahi dalam Negara RI. Bangsa atau komunitas merupakan kumpulan individu yang secara turun-temurun hidup bersama dalam satu wilayah terbatas, memiliki tatanan kehidupan yang terbukti mampu menjamin keberlanjutan dan kesejahteraan bersama.
Bangsa-bangsa dan komunitas-komunitas yang masih menjalankan sebagian atau seluruhnya dari sistem nilai dan ideologi tersebut ditopang oleh pranata sosial, budaya, ekonomi dan politiknya yang khas, kemudian kita kenal sebagai Masyarakat Adat. Masyarakat Adat adalah mereka yang secara tradisional dan turun-temurun sudah tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural, religius yang erat dengan lingkungan ekosistem lokalnya. Setiap komunitas masyarakat adat memiliki kekhasan sendiri, baik dalam sistem politik, sosial budaya dan sistem pengelolaan sumberdaya sendiri.
Sejatinya, hak asal usul Masyarakat Adat atas wilayah adat sampai mengatur kehidupan sendiri bersama komunitas (community-based self-governance) dijamin dalam konstitusi kita sebelum amandemen, yaitu pada Pasal 18 UUD 1945, sesudah amandemen menjadi Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3). Mengacu pada pasal-pasal ini, Republik Indonesia sebagai negara merdeka yang diakui secara internasional, telah lebih dahulu mengakui dan secara hukum melindungi hak-hak asal-usul, termasuk komunitas masyarakat adat.
Sayangnya, dalam realitas perjalanan kita sebagai bangsa merdeka menunjukkan hal sebaliknya. Hak Masyarakat adat untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri berdasarkan hak asal-usul itu secara sistematis dihilangkan oleh pemerintah (sebagai penyelenggara negara) dengan berbagai instrumen yang mengatas-namakan negara.
Pertama, dengan menerapkan (memaksakan) konsep tanah negara dan hutan negara sebagai interpretasi sepihak atas Pasal 33 UUD 1945, pemerintah mengambil-alih secara paksa wilayah-wilayah adat dan sumberdaya di dalamnya.
Ke dua, dengan menerapkan penyeragaman konsep desa secara membabi buta, pemerintah telah menghancurkan otonomi pemerintahan adat lokal (community-based self governance).
Ke tiga, dengan menerapkan konsep pembinaan teritorial TNI (dulu ABRI) sampai ke tingkat desa secara berlebihan. Pemerintah berhasil mengontrol dan mematikan inisiatif-inisiatif komunitas masyarakat adat dalam membangun dirinya sendiri.
Ke empat, dengan perubahan demokrasi Pancasila “permusyawaratan perwakilan” menjadi demokrasi liberal yang dikendalikan oleh partai-partai politik bersifat oligarki. Masyarakat adat pada perjalanannya menjadi sangat minoritas dalam jumlah pemilih sehingga kehilangan kesempatan mengutus perwakilannya sebagai representasi politik dalam Negara RI.
Masyarakat adat, sebagaimana diekspresikan dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara pada bulan Maret tahun 1999 sangat yakin bahwa secara keseluruhan sistem politik dan hukum kita terkini sama sekali tidak berpihak, apalagi melindungi hak-hak adat. Ada yang sangat salah dengan negara ini sehingga harus ditata-ulang, khususnya dalam hubungan ‘Negara’ dengan masyarakat adat. Perubahan radikal hanya bisa dilakukan jika kita mau merubah pandangan pertama-tama tentang masyarakat adat yang selama ini dikampanyekan penguasa “ilmu” dan modal global sebagai kumpulan orang terbelakang, terasing dan tuna-budaya.
Pada dasarnya masyarakat adat telah memiliki sistim demokrasi sendiri, lengkap dengan mekanisme pertahanan sendiri terhadap berbagai ancaman dan perusakan dari luar, juga pengaturan penggunaan sumber daya untuk menjaga kepentingan bersama atas sumber daya alam dalam jangka panjang. Mereka pun pada tingkat yang berbeda-beda telah berinteraksi dan beradaptasi dengan dunia luar. Hanya saja mekanisme adaptasi dan pertahanan diri itu terkacau-balaukan oleh gempuran sangat keras dan terus menerus disertai dengan pengurasan kekuatan masyarakat adat.
Celakanya, tindakan-tindakan tersebut difasilitasi, didorong bahkan dilakukan oleh birokrasi pemerintah bersama institusi pemerintah lainnya. Gempuran yang sangat keras terhadap Masyarakat Adat adalah penghancuran sistim politik lokal yang dikenal dengan demokrasi deliberatif, pengambilan keputusan bersama melalui musyawarah-mufakat.
Bagi Masyarakat Adat, keputusan paling mulia adalah keputusan yang diambil secara musyawarah dimana keputusan diambil berdasarkan akal paling sehat hasil melalui pergulatan pemikiran seluruh kalangan warga adat. Sementara keputusan yang paling rendah nilainya adalah keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak dimana keputusan diambil atas kepentingan pragmatis warga yang paling banyak. Kepentingan pragmatis warga yang paling banyak inilah yang kemudian menjadi persoalan demokrasi kita hari ini.
Kedaulatan rakyat dikerangkeng dalam nilai pragmatisme individual warga negara. Di masa lalu, pemerintah berusaha keras “mematikan” perangkat-perangkat demokrasi di komunitas Masyarakat Adat, sebaliknya di sisi yang lain pemerintah malah melegitimasi kekuasaan-kekuasaan di luar Masyarakat Adat untuk masuk dan menguasai Masyarakat Adat dengan membuat atau membiarkan hidup lembaga-lembaga adat buatan pemerintah atau lembaga-lembaga adat yang merepresentasikan kekuasaan-kekuasaan feodal lama di tengah-tengah Masyarakat Adat (Kekuasaan lama pada zaman kejayaannya juga pernah menindas Masyarakat Adat)
Negara harus berubah – kalau ingin bangsa ini selamat dan masih dalam persatuan yang berdaulat. Pada saat kita menyongsong liberalisasi perdagangan dan investasi global, ini sangat penting. Negara harus memulihkan hak-hak adat dan menegakkan otonomi lembaga-lembaga adat sehingga mereka mampu mempertahankan diri dan jika dibutuhkan mampu melakukan ‘perlawanan’ terhadap berbagai pelanggaran hak politik, sosial, ekonomi dan budaya mereka.
Intervensi negara terhadap sistem politik Masyarakat Adat harus dikurangi seminimal mungkin sehingga kekuatan adat yang masih dimiliki oleh sebagian besar rakyat Indonesia bisa difungsikan untuk menata kembali struktur dasar ‘negara-bangsa’ Indonesia. Negara harus menjamin kepastian hukum atas hak-hak adat sebagai prasyarat bagi pembangunan bangsa yang mengandalkan kekuatan masyarakatnya, termasuk kekuatan untuk menentukan pilihan pembangunan terbaik bagi dirinya sendiri sesuai kemampuan dan cita-cita mereka tentang masa depan yang lebih baik.
Agenda ke depan. Gerakan masyarakat adat menuju otonomi asli (kedaulatan rakyat) sebagai bagian dari gerakan sosial harus memastikan bahwa sistem politik kita menganut demokrasi partisipatif (participatory democracy) yang menjamin keterlibatan langsung warga Masyarakat Adat dalam seluruh proses pembuatan kebijakan dan hukum yang mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung kehidupannya.
Jalan ke arah ini masih mungkin diupayakan, termasuk dengan memanfaatkan “ruang politik terbatas” yang tertuang dalam UU Partai Politik dan UU Pemilu yang baru saja disahkan DPR RI semata-mata untuk menjadi pijakan awal melakukan perubahan tatanan politik yang lebih mendasar.
Sistem politik baru (masih berupa cita-cita) harus mengakomodasi keragaman sistem-sistem politik yang sudah tumbuh dan berkembang di masyarakat, termasuk membebaskannya dari intervensi luar secara berlebihan (biasanya birokrasi dan DPP/DPW parpol). Diperlukan perubahan mendasar terhadap sistem PEMILU agar memungkinkan keikut-sertaan partai politik lokal dan calon independen dari Masyarakat Adat (tanpa partai politik) bersaing memperebutkan posisi di DPR, DPRD (kabupaten dan provinsi). Untuk mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan di samping presiden, bupati dan gubernur juga harus dipilih secara langsung oleh rakyat yang hidup di wilayah pemilihan itu.
Untuk tingkat nasional atau pusat, perlu mempertimbangkan kembalinya utusan khusus bagi golongan-golongan yang tidak memungkinkan mereka memasuki arena politik demokrasi liberal ini. Juga perlu dipikirkan agar utusan-utusan golongan tersebut memiliki hak politik kolektif yang kuat dalam menentukan masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang beragam baik suku maupun agamanya.
Dengan keyakinan bahwa perubahan mendasar hanya akan terjadi kalau dimulai dari “desa/kampung” maka posisi dan peran masyarakat adat – penduduk pedesaan lainnya menjadi sangat penting, antara lain dengan terus-menerus membangun otonomi asli yang berakar pada budaya politik lokal dan kearifan adat. Menerapkan demokrasi partisipatif dalam pengambilan keputusan bersama di tingkat komunitas. Menumbuh-suburkan keberanian politik pemimpin-pemimpin lokal “merebut” hak politik komunitas adatnya untuk membangun kesepakatan-kesepakatan bersama di kalangan Masyarakat Adat yang terkait dengan “posisi Masyarakat Adat terhadap negara, modal dan nilai-nilai baru”. Dari kepemimpinan politik tingkat komunitas inilah Masyarakat Adat kemudian memperkuat dirinya memimpin perubahan pada tingkat yang lebih luas tingkat kabupaten, baru kemudian memasuki arena advokasi di tingkat provinsi, nasional dan internasinal.
Indonesia sebagai negara-bangsa, bangunan utamanya adalah komunitas-komunitas Masyarakat Adat, perlu secara pro aktif mendorong dan mengambil kepemimpinan dalam perumusan instrumen-instrumen hukum internasional yang melindungi hak-hak Masyarakat Adat. Kenapa kita tidak memulai proses pemulihan martabat dan harkat bangsa ini dengan menempatkan keragaman adat kita sebagai warisan yang luhur, sebagai sumber ikatan kebersamaan kita sebagai bangsa? Bhinneka Tunggal Ika! ****
[1] Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) periode 2007-2012 dan 20012-2017