Jakarta 23 /6 /2016 – Membahas Satgas Masyarakat Adat sangat penting demi melindungi hak-hak masyarakat adat. Satgas masyarakat adat memiliki peranan utama dalam proses damai antara negara dengan masyarakat adat. Masyarakat adat meminta pemerintah segera membentuk Satgas Masyarakat Adat agar dapat berperan menyelesaikan kasus kriminalisasi yang banyak terjadi terhadap masyarakat adat, khususnya di Papua, sebab pemerintah pusat tidak memberi perhatian secara sungguh-sungguh terhadap penyelesaian pelanggaran HAM di sana.
Contohnya dampak dari pemberian izin konsesi terhadap Merauke Integreted Food and Energi Estate (MIFFE) telah mengancam ketahanan pangan orang Papua di Merauke. Sebenarnya banyak suku dan kampung menolak kehadiran MIFFE di wilayah adat mereka antara lain Kampung Zenegi, Kaliki, Boepe, Yeinan, Poo, Bupul. Kesepakatan alih lahan terjadi karena aksi tipu-tipu orang perusahaan. Kini mereka kesulitan mendapat pangan lokal beberapa diantaranya bahkan mengalami intimidasi.
Selain bertugas mengawal Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA) Satgas juga bertugas, mengidentifikasi merekomendasikan penyelesaian dan membentuk lembaga permanen khusus masyarakat adat.
Menurut Noer Fauzi Rachman Staf Khusus Kepala Staf Presiden aliran draf sudah diserahkan Ibu Menteri KLHK ke Menteri Sekretaris Kabinet. Setelah naik ke Seskab, baru sampai kepada presiden untuk ditandatangani. “Memang ada proses yang berlangsung di dalam aliran itu, mulai dari diskusi dengan teman AMAN, KLHK. Naskah itu sudah dinaikkan Ibu Siti, tapi belum sampai ke meja presiden. Nanti kalau sudah diproses di Seskab itu ada proses lagi untuk bisa sampai ke presiden,” Noer Fauzi menjelaskan.
Sementara Dwiyanto Staf Seskab mengatakan,” Karena sudah dibahas substansinya dan kita minta penyempurnaannya, tapi ternyata izin prakarsa belum berjalan. Jadi substansi kita bahas, dan KLHK membuat surat pada presiden untuk izin prakarsa. Begitu presiden setujui ini ditindaklanjuti, substansinya sudah matang.
Kalau proses itu tidak sulit sepanjang dilalui, yang penting substansinya. “Ini ada perintah dari pimpinan untuk bahas, tapi dalam subtansi banyak persoalan dan dikomentari kementerian lain, itu sudah ada struktur di tingkat Eselon I untuk selesaikan konflik adat misalnya. Ternyata konflik dalam kawasan hutan adat urusan Eselon II yang punya kewenangan. Maka kita pahami ini tidak sempurna dan perlu dibahas lebih lanjut. Itu tak di tempat kita, agar KLHk memfasilitasi pembahasan. Kalau substansi tidak bertentangan, saya kira proses ke presiden bisa lebih cepat,” ujarnya
Pada satu kesempatan diskusi mengenai Satgas Masyarakat Adat Prof. Maria SW Sumardjono mengatakan,” tata cara Peraturan Presiden (Perpres) 3 Kementerian dan satu badan, melampirkan bahwa pengakuan hutan adat tidak membedakan antara di dalam hutan maupun di luar hutan. Silahkan buat Perda atau surat bupati. Di Provinsi Papua sudah ada 8 Surat Bupati (SK) tinggal menindak lajuti.
Dalam buku temuan Inkuiri Nasional yang diluncurkan pada tanggal (16/3/2016) lalu kepada sejumlah instansi pemerintah merekomendasikan aparat TNI/Polri perlu ditarik dari wilayah masyarakat hukum adat. Komnas HAM mengambil sikap jelas menolak MIFEE di Merauke, merekomendasikan Kementerian Pertanian untuk mengkaji ulang dan merevisi peraturan, kebijakan pertanian – perkebunan skala luas, termasuk proyek MIFEE yang mengakibatkan pelanggaran hak masyarakat hukum adat.
Dalam temuan dan analisis, beberapa karakteristik khusus di daerah-daerah tertentu seperti di Papua, selain mengkritisi MIFEE, secara tegas mengkritisi pendekatan keamanan NKRI di Papua, walaupun selama puluhan tahun orang asli Papua diperdayai secara sistematis juga menjadi korban pelanggaran HAM. Mereka selalu disalahkan dan distigmatisasi sebagai separatis. **** Ferddy Siwele