Rampi Luwu Utara — Indonesia adalah negeri yang kaya. Tidak hanya hasil bumi saja tapi juga kaya dengan seni dan budaya. Keanekaragaman seni dan budaya di Indonesia menjadi ciri khas dari masing-masing suku Indonesia. Salah satunya dari Komunitas Adat Rampi, Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan.
RAMPI adalah salah satu komunitas adat yang masih melestarikan pembuatan Baju Adat Rampi terbuat dari kulit pohon beringin. Masyarakat biasa membuat baju dari kulit pohon yang diambil dari hutan dikemas dan diolah secara tradisional dijadikan selimut ataupun baju untuk digunakan sehari-hari maupun menyambut tamu. Dalam menyambut tamu diserahkan ayam jantan putih, telur dan beras sebagai simbol kejantanan. Keperkasaan untuk mengayomi dan melindungi masyarakat agar masyarakat hidup makmur dan sejahtera.
Komunitas Rampi berada di Kabupaten Luwu Utara Propinsi Sulawesi Selatan merupakan satu kecamatan yang berada di daerah pegunungan. Untuk menjangkau daerah ini dapat ditempuh lewat udara (pesawat) kendaraan roda dua atau jalan kaki selama 3-4 hari dengan jarak 84 KM dari Kota Masamba.
Mengenal singkat Komunitas adat Rampi, secara sosiologis Masyarakat Rampi masih dapat digolongankan dalam kehidupan yang homogen. Ikatan kekerabatan antar desa tetangga masih sangat kental, hal ini terlihat pada hubungan komunikasi antar sesama masyarakat Rampi. Secara ekonomi mata pencaharian masyarakat Rampi dominan bertani.
Peran Lembaga Adat yang dipimpin oleh Tokei Tongko Rampi masih dipegang teguh oleh masyarakat Rampi dalam menyelesaikan berbagai persoalan sosial kemasyarakatan. Mereka memberlakukan aturan adat berkaitan dengan pranata sosial seperti melakukan perzinahan di denda 3 ekor kerbau dipotong lalu di makan bersama lalu dilakukan Powahe Lori atau potong 1 ekor dari 3 ekor kerbau lalu dimakan bersama, kemudian dilakukan mencuci aib atau cuci tanah, lalu dilakukan kembali pehilu atau disebut garing untuk pengikat tangan (supaya tidak mengulangi lagi perbuatannya). Pelanggaran adat lainnya disebut peruhe atau pebamba (dicakar atau merampas suami atau istrinya) akan didenda 1 ekor kerbau pada orang yang suami atau istrinya dirampas (direbut).
Hal ini bisa menimpa seseorang apabila melakukan kelalaian atau pelanggaran adat, hukuman ini merupakan peringatan untuk menyadarkan seseorang atas kesalahan yang dilakukannya sesuai dengan pelanggarannya. Aturan di atas berlaku kepada seluruh masyarakat adat Rampi dengan maksud tidak mengulangi lagi pelanggaran tersebut dengan istilah Powahe Lori harus bicara dulu atau mendapatkan ijin, segala yang akan dipakai atau dimakan harus bersih dari segala hal, dan harus bisa menyampaikan apa adanya (jujur). Aturan adat ini masih berlaku di masyarakat adat Rampi sampai sekarang ini.
Pesta adat Mogombo atau disebut musyawarah adat warga Rampi begitu sakral tentang penetapan pengesahan aturan Adat Masyarakat Kecamatan Rampi. Hajatan warga di kawasan wilayah pegunungan ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Ritus sakral ini dilakukan oleh Komunitas Rampi sekali dalam setahun.
Ketua panitia kegiatan Mogombo Ada’ Rampi Albert Lumeno menjelaskan acara ini juga secara perlahan dan pasti mulai diterima bukan saja warga Rampi, tetapi sebagai bagian budaya masyarakat adat Luwu. Dalam memeriahkan acara adat ini masyarakat adat Rampi menyiapkan berbagai kesenian dan tarian adatnya. Termasuk, juga mempersiapkan sebanyak delapan ekor kerbau untuk disembelih pada tanggal 30 Agustus 2016 lalu saat pembukaan berlangsung.
“Kami berharap dari kegiatan adat Mogomba ini akan mempersatukan warga Rampi yang berada di mana saja dan terus menjunjung nilai-nilai adat istiadat sehingga kelestarian budaya Rampi terus terjaga,” kata Albert. ***Andre Tandigau
pembahasan yang sangat menarik, lengkap dan juga jelas…
terimakasih atas ilmunya