Jakarta – Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (JIKALAHARI), Indonesian Center For Environmental Law (ICEL) dan Indonesian Corruption Watch (ICW) mendesak Presiden Jokowi untuk memerintahkan Kapolri, Jenderal Polisi Tito Karnavian, agar segera melakukan Gelar Perkara Khusus terhadap penghentian 15 perusahaan yang diduga melakukan kejahatan pembakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 lalu.
“Presiden harus turun tangan, sebab putusan SP3 bertentangan dengan komitmen Presiden Jokowi yang secara tegas memerintahkan penegakan hukum terhadap pembakar hutan dan lahan,” kata Woro Supartinah.
Gelar Perkara Khusus, merujuk pada pasal 71 Peraturan Kapolri (Perkap) No 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana dapat dilakukan dengan syarat utama adanya persetujuan khusus dari Presiden/Menteri Dalam Negeri/Gubernur. Selain itu Gelar Perkara Khusus untuk SP3 15 Perusahaan ini telah memenuhi syarat untuk dilakukan karena telah menjadi perhatian publik secara luas, dan karhutla sendiri telah berdampak massal.
Emerson Yuntho, dari ICW menyebutkan Praktek pemberian SP3 yang dilakukan oleh aparat penegak hukum termasuk Kepolisian seringkali tidak dapat dipertanggungjawabkan dan kontroversial. Prosesnya penghentiannya seringkali diam-diam dan tertutup, dasar pertimbangannya tidak kuat, ahli yang dilibatkan juga yang mendukung upaya penghentian dan dokumen terkaitnya juga sulit diakses. Bukan tidak mungkin ada pula intervensi dari pimpinan atau pihak tertentu dibalik penghentian perkara ini. Dalam kasus SP3 15 perusahaan pembakar hutan di Riau lebih kuat kesan faktor non penegakan hukum dibalik penghentian perkara ini.
Sementara itu Hariz Azhar, Koordinator KontraS menilai ada kondisi yang bertentangan antara statement Kapolri dengan kondisi riil di lapangan. “ Kami menilai akses terhadap dokumen SP3 juga tidak menjanjikan untuk dilakukannya praperadilan, dan saran Kapolri terlihat sebagai omong kosong dan hanya sebuah bola liar yang digelindingkan dalam kasus SP3 ini”.
KontraS sendiri mencatat, telah terjadi pelanggaran hak hidup, hak atas kesehatan, hak atas lingkungan yang baik dan sehat, hak atas pekerjaan, hak atas kebebasan bergerak, hak atas informasi, dan sejumlah hak lainnya dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, tanpa ada satupun pihak yang berhasil dimintai pertanggung-jawabannya oleh negara.
Tidak tersedianya akses pemulihan yang efektif bagi sejumlah korban pelanggaran HAM akibat pembakaran hutan dan lahan juga semakin menunjukan abainya negara dalam upaya memenuhi hak-hak konstitusional warga negaranya. Hal ini secara jelas menciderai rasa keadilan yang dimilik masyarakat, khususnya warga Riau yang menjadi korban kejahatan pembakaran hutan dan lahan.
ICEL mencermati kejanggalan dalam penerbitan SP3 salah satunya dalam keterangan penyidik yang menangani perkara, Ari Rahman (Wadirkrimsus Polda Riau) pada rapat pembahasan yang digelar Panja Karhutla DPR. Isna Fatimah, peneliti ICEL menyebut ada indikasi penerbitan SP3 dilakukan prematur, jika tidak bisa dikatakan cacat hukum. “ Pertama, terendus bahwa dalam berkas SP3, pasal yang dipersangkakan tidak ada. Ini mengindikasikan ada kecacatan kronis pada saat penyidikan.
Kedua, alasan ketidakcukupan bukti didasarkan pada keterangan ahli yang kredibilitas dan objektivitasnya diragukan karena merupakan pegawai pada Badan Lingkungan Hidup Provinsi Riau yang notabene mempunyai kewajiban mengawasi kegiatan usaha.
Ketiga, pernyataan penyidik bahwa belum ada tersangka pada saat SP3 kontraproduktif dengan pernyataan bahwa sumber api berasal dari lahan masyarakat dan wilayah yang terbakar dikuasai oleh masyarakat. Padahal alasan ini mengafirmasi bahwa telah terjadi kebakaran di wilayah izin yang bisa mengerucut pada kesimpulan bahwa pemegang izin dapat dituntut pertanggungjawaban pidana karena telah terjadi kebakaran di wilayah izinnya atau karena telah abai terhadap kewajiban mencegah kebakaran terjadi,”papar Isna,”Tentu ini baru asumsi karena perlu mengetahui peristiwa dan delik yang disangkakan. Mempelajari isi dokumen SP3 dan berkas perkara menjadi sangat penting untuk verifikasi pernyataan penyidik.”
ICEL juga meminta agar beriringan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kepolisian mengoptimalkan koordinasi untuk memonitor riwayat tersangka atau terlapor dalam bersentuhan dengan perkara hukum. ICEL mencatat diantara 7 kasus dengan terlapor perusahaan yang penyidikannya dihentikan di Riau, 2 perusahaan pernah tersangkut dugaan tindak pidana pembalakan liar pada tahun 2008, 2 perusahaan masuk tahap P19 untuk kasus kebakaran hutan dan lahan juga pada 2014, dan 3 perusahaan sudah dijatuhi sanksi administrasi. Lagi-lagi peran audit kepatuhan perusahaan-perusahaan ini sangat krusial.
Atas dasar diatas, maka Koalisi Anti Mafia Karhutla mendesak:
1. Presiden RI untuk memerintahkan Kapolri untuk Menggelar Perkara Khusus atas Penerbitan SP3 15 Perusahaan untuk memastikan berjalannya upaya penegakan hukum terhadap korporasi pelaku kejahatan pembakaran hutan dan lahan.
2. Mendesak Panja Karhutla DPR perlu segera mengundang jajaran Polda yang bertugas pada saat SP3 diterbitkan untuk membuka dokumen SP3, Surat Pemberitahuan Dimulai Penyidikan dan berkas perkara lain terkait penyidikan.
3. KLHK dan Pemerintah Daerah untuk melakukan audit kepatuhan dan audit terhadap perijinan yang telah dikeluarkan.
4. Memastikan tersedianya akses terhadap pemulihan yang efektif bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM akibat dari kasus kejahatan pembakaran hutan dan lahan.