Ritus Budaya dan Bertenun
Sintang 19/10/2016 ― Komunitas Adat Kampung Umin yang masih hijau ini terletak sekitar 45 Km dari Kota Kabupaten Sintang. Penduduk komunitas ini adalah Dayak Desa yang merupakan bagian dari rumpun Iban, sehari-hari warga berkomunikasi menggunakan bahasa Desa. Warga komunitasnya masih menjunjung tinggi hukum adat dan budaya warisan leluhur secara turun-temurun hingga saat ini.
Kasim (90 tahun), tokoh adat Kampung Umin menceritakan bahwa dahulu ada tiga nama yaitu Umin Ngelai, Letang dan Duwan. Saat ini Umin Ngelai telah pindah ke Ngelai, Umin Letang pindah Ke Letang dan Umin Duwan Pindah Ke Duwan ketiganya pernah bermukim bersama di (Tembawai/Tembawang) mereka seketurunan. Komunitas Kampung Umin memiliki cara bertahan hidup dengan cara berladang gilir balik, mencari binatang, sayur-sayuran dan buah-buahan ke hutan.
“Penghasilan dari karet belum cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, maka budaya menenun kain bertahan, jumlah penenun saat ini sebanyak 120-130 orang,” papar pak Kasim.
Bertenun biasanya dilakukan oleh ibu-ibu setelah balik dari ladang atau mengisi hari libur. Selain kain tenun Komunitas Umin juga memiliki ritual-ritual adat memanggil roh (ngamik semengat), membuat kayu kecil menyerupai muka manusia (Pentik) yang nanti akan ada sesajen berupa ayam kampung yang telah disembelih, telur ayam, beras kuning, daun selasih, besi dan pucuk pinang muda. “Ritual ini biasanya diadakan dari pukul 21:00 – 06:00 WITA,” tambah pak Kasim.
Tawai (50 tahun), Masyarakat Komunitas Adat Kampung Umin mengatakan budaya yang paling meriah adalah gawai tahunan. Gawai merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan (Betara) setelah bekerja setahun mulai dari proses membuka lahan, membersihkan, menanam hingga memanen. “Dalam acara gawai tersebut ada ritus membawa anak mandi ke sungai (ngemaik anak manik) tujuannya untuk membersihkan anak-anak dari kesialan (mali sibal),” jelasnya.
Sebelum ngemaik anak manik ke sungai didahului dengan ritual berkomunikasi kepada sang pencipta (bekejang/bekana). Bekejang dilakukan untuk mandikan anak ke sungai, motong gigi dan rambut anak. Dalam melaksanakan ritual Bekejang disediakan mangkok yang sudah diberi makan (disengkelan) menggunakan darah babi dan darah ayam. Artinya anak yang akan dimandikan bisa bersatu dengan semua orang. Ada lima atau tujuh buah piring diisi dengan beras diibaratkan sebagai burung Kenyalang (simbol raja udara).
Harapannya agar si anak bisa seperti burung Kenyalang terbang tinggi mencari pohon yang banyak buahnya, sehingga hidupnya kelak akan aman, tentram dan tidak berkekurangan.“Selesai Bekejang semua peserta yang ikut upacara adat wajib minum tuak, dengan cara satu mangkok keliling sampai habis, artinya semua peserta membagikan rezeki untuk si anak,” ungkap Tawai.
Rajah (70 tahun) Pemangku Adat Dayak Desa menjelaskan setelah Bekana dilakukan adat numbuk ketan (Begendang) untuk sesajen yang akan diberikan ke dalam sungai dan darat. Menumbuk pulut tidak boleh lebih dari tujuh tumbukan, halus atau tidak tetap tak boleh dibalik. Kemudian dilakukan upacara meminta kepada Tuhan (sengkelan) agar segala sesuatu yang digunakan, sesajen mau pun keperluan untuk mandikan anak ke sungai mendapatkan berkat. Selesai Sengkelan dilakukan Bedarak memberi makan roh-roh yang ada di sungai dan darat, harapannya supaya makhluk-makhluk baik atau jahat tidak mengganggu anak tersebut.
“Seluruh keluarga ikut mengantar anak yang akan dimandikan dan diiringi dengan suara musik tradisional berupa gong/tawak, ketebung, biasanya arak-arakan berlangsung meriah karena seluruh masyarakat ikut mengelilingi sungai,” jelasnya.
Sebelum anak-anak dimandikan didahului dengan menembakkan senapang lantak berisi bubuk mecia (sendawa). Yang yang menembakkan senjata adalah bapak/keluarga laki-laki dari si anak. Tujuannya agar ketika si anak tidur dan mendengar suara guntur dia tidak terkejut. Setelah itu sesajen akan dibuang ke sungai dan daratan sekitar, dan membuang seekor anjing ke sungai karena anjing merupakan ternak yang memiliki penciuman tajam, setia menemani tuannya ketika mencari binatang di hutan.
Selesai dimandikan dilanjutkan dengan meneteskan air bunga di dahi bayi, agar hidup sehat, umur panjang dan banyak rezeki. Kemudian menombak seekor babi, artinya si anak diharapkan terhindar dari seluruh pantangan yang ada selama dirinya dalam kandungan, dari perbuatan kurang menyenangkan dari bapak dan mamanya ketika dirinya masih dikandung.“Ketika menombak babi si anak digendong di belakang (diamin) oleh seorang ibu atau bapak sianak yang baru dimandikan. Syaratnya harus masih lengkap artinya jika digendong bapak, istrinya masih hidup, jika digendong ibu suaminya masih hidup,” tambah Rajah *** Paulus Ade Sukma Yadi