Penyelesaian Tapal Batas Marga Malagifik – Marga Ligit Secara Adat
Siwis 17/11/2016 – Sidang adat terbuka untuk menyelesaikan masalah tapal batas antara marga Malagifik dan marga Ligit berlangsung di Balai Wobik, Kampung Siwis, Distrik Klaso, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. Acara dimulai tepat pukul 9:00 Waktu Indonesia Timur ( WIT). Sidang adat terbuka ini dihadiri para tamu dan undangan, antara lain Kepala Distrik Saengkeduk, anggota kepolisian, Dewan- Dewan Adat, tokoh masyarakat, kaum terpelajar, Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Induk Kabupaten Sorong, Kepala Kampung Siwis dan LMA Tingkat Distrik Mega.
Dalam menyelesaikan masalah tapal batas utusan Polsek Distrik Mega menghimbau kedua belah menjaga kekerabatan dan keharmonisan. Jangan bertindak emosional, saling menghargai satu sama lain, karena semua bersaudara, sebagai Masyarakat Adat Suku Moi, Kabupaten Sorong dan Sorong kota.
Hal senada juga disampaikan oleh Kepala Distrik Saengkeduk Bapak Ham Yesyan SE yang juga mewakili kedua kepala distrik meminta dan seluruh tamu, para undangan ikut menjaga keamanan bersama, agar tidak terjadi hal –hal yang tidak diinginkan.
“Dulunya orang tua- tua hidup bersama, makan sama, tidak ada konflik yang mereka bangun di jaman dulu. Tapi saat ini dunia semakin kejam, kedatangan perusahan membuat masyarakat adat – Suku Moi hidup saling bertentangan antara marga dengan marga,” kata Ham Yesyan.
Para hadirin menyimak dan mengikuti jalannya sidang adat dengan seksama, mereka menanti keputusan siapakah sesungguhnya yang akan berkuasa atas Tanah dan Hutan Adat, Malagifik atau Ligit. Penelusuran berbagai informasi nenek moyang dari kedua belah pihak dimulai sejak pagi hingga pukul 12:00 WIT, namun belum juga menemukan titik temu.
Dengan bijak Bapak Melkianus Osok sebagai Wakil Lembaga Masyarakat Adat Suku Moi ( LMA) Induk, menyampaikan pada seluruh hadirin, undangan serta para warga yang antusias mengikuti proses penyesaian sengketa sidang adat tapal batas, sidang adat diskors.
Sesudah skors dicabut pimpinan sidang memberikan waktu masing-masing pihak satu jam, untuk menjelaskan sejarah nenek moyang serta asal-usulnya. Keluarga Malagifik mempercayakan Bapak Yance Malagifik sebagai juru bicara menyampaikan sejarah wilayah adat dan hutan yang berada di kawasan hutan Kladimkem sejak leluhur marga Malagifik. Pihak Malagifik menyampaikan bahwa batas antara wilayah Malagifik dengan marga – marga terdekat antara lain Siwele, Malak, Ulimpa dan Migisubu. Pendapat ini sama dengan pendapat Dewan Adat.
Pihak Marga Ligit diwaliki langsung oleh tetuanya Simson Ligit menjelaskan batas- batas wilayah dan Hutan adat yang berada di Kampung Sambatie, batas-batas tanah antara pihak Malagifik, Ligit sama persis dengan batas wilayah Malagifik. Para tamu, undangan dan Dewan Adat juga sepakat bahwa wilayah adat kedua belah pihak sama.
Wakil Sekretaris LMA Melkianus Osok sebagai salah satu penengah sengketa antara Malagifik dan Ligit dari mendengar penjelasan kedua belah pihak, mengatakan wilayah keduanya sama. Melkianus Osok menyerah, kasus penyelesaian tapal batas tanah belum menemukan titik temu. Kemudian LMA Induk dan LMA tingkat Distrik menskor lagi sidang selama waktu 30 menit dan meminta Dewan Adat melakukan sidang tertutup.
Hasil sidang adat tertutup kemudian diumumkan oleh salah satu dewan Bapak Orgenes Ulim, bahwa Malagifik dan Ligit sejak nenek moyang mereka berdua sudah hidup bersama, makan bersama, sejak jaman dulu, tidak bisa dipisahkan. Hasil ini sama dengan yang disampaikan sebelumnya .
“Urusan batas tanah antara Marga Malagifik dan Ligit sama, maka kami selaku Masyarakat Adat Suku Moi mempunyai tradisi sejak dahulu hingga sekarang dan harus dijalankan sesuai aturan adat Suku Moi yaitu sumpah adat cuci mulut di depan seluruh warga Adat Suku Moi sebagai saksi sesuai aturan sumpah adat Suku Moi bahwa kedua belah pihak telah bersepakat.
Pihak Ligit Malagifik menyiapkan lima lembar kain Timor dan pohon kayu dalam bahasa Masyarakat Adat Suku Moi disebut pohon kwing sangat sakral agar tak terulang kembali.**** Ferddy Siwele